Menurut Dr. Abdul Wahab Khallaf
bahwa fiqih itu mencakup seluruh hukum syari’ah, yang berkaitan dengan berbagai
tindak manusia, ucapan atau perbuatan, seluruhnya diambil dari nash-nash yang
telah ada, disamping istimbath dalil-dalil syari’ah islam yang tidak terdapat
nashnya yang kemudian digolongkan didalam ilmu fiqh.[1]
Kaum
muslimin pada masa kemunduran dan keterbelakangannya hingga saat ini, terbiasa
menanyakan fqih tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan
individual muslim. Tetapi, tidak menanyakan fiqh tentang hal-hal besar yang
berkaitan dengan masa depan umat, keadaanya saat itu, dan misinya, seperti yang
kita lihat sekarang mereka tidak bertanya tentang totaliterisme penguasa yang
berkhianat atau penguasa yang bertangan besi yang bersikap despotic terhadap
rakyat yang tertindas.[2]
Dalam
ilmu fiqh ada salah satu cabang ilmu disebut Tarikh al-Tasyru, dan berisikan
sejarah serta pekembangan hukum Islam. Dalam buku-buku Tarikh al-Tasyri, biasa
diadakan pembabakan atau periodesasi hukum Islam atas dasar ciri-ciri khas dan
hal-hal yang menonjol pada suatu kurun waktu tertentu.
Sejalan
dengan perkembangan ilmu fiqh, sistematikanya dibagi kepada Tujuh periode yaitu
: (1) Periode Rasulullah, (2) Periode Sahabat, (3) Periode Imam-imam Mujtahid,
(4) Periode Taklid, (5) Periode Reformulasi Fiqh Islam, (6) Periode Kemunduran,
(7) Periode Kebangunan Kembali.[3]
A. Periode Rasulullah
1.
Masa
Mekkah dan Madinah
Periode
ini dimulai sejak diangkatmya Muhammad SAW menjadi Nabi dan Rasul sampai
wafatnya. Periode ini singkat hanya sekitar 22 tahun dan beberapa bulan saja.
Akan tetapi, sangat menentukan. Pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu fiqh selanjutnya
sangat besar sekali. Masa Rasulullah inilah yang mewariskan sejumlah nash-nash
hukum baik dari Al-Qur’an maupun Al-Sunnah, mewariskan prinsip-prinsip hukum
Islam baik yang tersurat dalam dalil-dalil kulli maupun yang tersirat dari
semangat Al-qur’an dan As-Sunnah.
Periode
Rasulullah ini dibagi menjadi dua masa yaitu : masa Mekkah dan masa Madinah.
Pada masa Mekkah, diarahkan untuk memperbaiki aqidah, karena akidah yang benar
inilah yang menjadi pondasi dalam hidup. Oleh karena itu dapat kita pahami
apabila pada masa itu Rasulullah memulai da’wahnya dengan mengubah keyakinan
masyarakat yang musyrik menuju masyarakat yang beraqidah tauhid, membersihkan
hati dan menghiasi diri dengan al-Akhlak al-Karimah. Masa Mekkah ini dimulai
sejak diangkatnya Nabi Muhammad SAW menjadi Rasul sampai beliau hijrah ke
Madinah yaitu dalam waktu kurang lebih selama dua belas tahun.
Di
Madinah, tanah air baru bagi kaum muslimin. Kaum muslimin bertambah banyak dan
terbentuklah masyarakat muslimin yang menghadapi persoalan-persoalan baru yang
membutukhkan cara pengaturan-pengaturan dalam hubungannya dengan kelompok lain
di lingkungan masyarakat Madinah, seperti kelompok Yahudi dan Nasrani. Oleh
karena itu, di Madinah disyariatkan hukum yang meliputi keseluruhan bidang ilmu
fiqh.
2. Sumber Hukum Masa Rasulullah
a.
Al-Qur’an
Al-Qur’an
diturunkan kepada Rasulullah tidaklah sekaligus. Al-Qur’an turun sesuai dengan
kejadian/peristiwa dan kasus-kasus tertentu serta menjelaskan hukum-hukumnya,
memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan atau jawaban terhadap permintaan
fatwa.
Contoh
kasus seperti : Larangan menikahi wanita musyrik. Peristiwanya berkenaan dengan
Martsad al-Ganawi yang meminta izin kepada Nabi untuk menikahi wanita
musyrikah, maka turun ayat :
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik
sebelum mereka beriman”. (Al-Baqarah : 221)
Adapun
untuk memberi jawaban atau fatwa, misalnya dalam ayat-ayat :
“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka
nafkahkan”. (Al-Baqarah : 215)
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid”.
(Al-Baqarah : 222)
“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang
dihalalkan bagi mereka”. (Al-Maidah : 4)
Tugas
Rasul yang berkaitan dengan Al-Qur’an ini adalah menyampaikan, menjelaskan dan
melaksanakannya, seperti dinyatakan dalam ayat :
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan
kepadamu dari tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan ( apayang diperintahkan
itu, berarti ) kamu tidak menyampaikan Amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir ”. (Al-Maidah : 67)
Pada
umumnya hukum-hukum dalam Al-Qur’an bersifat kulli dan umun, demkian pula
dalalahnya (penunjuknya) terhadap hukum kadang-kadang bersifat qat’i yaitu
jelas dan tegas tidak bisa ditafsirkan lain. Dan kadang-kadang bersifat dhani
yaitu memungkinkan terjadinya beberapa penafsiran.
Bidang
hukum yang lebih terperinci tentang peraturannya dalam Al-Qur’an adalah tentang
bidang al-Ahwal Asyakshiyah yaitu yang berkaitan dengan pernikahan.
b.
Al-Sunnah
Al-Sunnah
berfungsi menjelaskan hukum-hukum yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an.
Disamping itu juga menjadi penguat bagi hukum-hukum yang telah diteteapkan
dalam Al-Qur’an. Ada pula Hadits yang memberi hukum tertentu, sedangkan
prinip-prinsipnya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.
Penjelasan
Rasulullah tentang hukum ini sering dinyatakan dalam perbuatan Rasulullah
sendiri, atau dalam keputusan-keputusannya dan kebijaksanaannya ketika
menyelesaikan satu kasus, atau karena menjawab pertanyaan hukum yang diajukan
kepadanya, bahkan bisa terjadi bahwa diamnya Rasulullah dalam menghadapi
perbuatan sahabat yang secara tidak langsung menunjukkan kepada
diperbolehkannya perbuatan tersebut. Hal ini sesuai dengan ayat :
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Quran agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”.
(An-Nahl : 44)
Rasulullah
apabila dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa yang membutuhkan penetapan hukum,
beliau menunggu wahyu. Apabila wahyu tidak turun, beliau berijtihad dengan
berpegang kepada semangat ajaran Islam dan dengan cara musyawarah bersama
sahabat-sahabatnya. Bilamana hasil ijtihadnya salah, makan diperingatkan oleh
Allah bahwa ijtihadnya itu salah, serta ditunjukkan yang benarnya dengan
diturunkannya wahyu.
c.
Ijtihad pada Masa Rasulullah
Pada
zaman Rasulullah Ijtihad itu dilakukan oleh Rasulullah dan juga dilakukan oleh
para sahabat, bahkan ada kesan Rasulullah mendorong para sahabatnya untuk
berijtihad seperti terbukti dari cara Rasulullah sering bermusyawarah dengan
para sahabatnya . Ijtihad pada zaman Rasulullah ini tidak seluas pada zaman
sesuadah Rasulullah, karena banyak masalah-masalah yang ditanyakan kepada
Rasulullah kemudian langsung dijawab dan langsung diselesaikan oleh Rasulullah
sendiri. Di samping itu Ijtihad para sahabat pun apabila salah Rasulullah
mengembalikannya kepada yang benar.[4]
B.
Periode
Sahabat
Pada
masa ini dunia Islam sudah meluas, yang mengakibatkan adanya masalah-masalah
baru yang timbul oleh karena itu tiaklah mengherankan apabila pada periode
sahabat ini dibidang hukum ditandai dengan penafsiran para sahabat dan
ijtihadnya dalam kasus yang tidak ada nash-nya. Disamping itu juga terjadi
hal-hal yang tidak menguntungkan yaitu pecahnya masyarakat Islam menjadi
beberapa kelompok yang bertentangan secara tajam. Yang menurut Amer Ali pada
hakikatnya : “Permusuhan suku dan permusuhan padang pasir yang dikorbankan oleh
perselisihan dinasti”. Periode sahabat ini dimulai dari wafatnya Rasulullah
SAW, sampai akhir abad pertama hijriyah.
1. Sumber Hukum
Pada
periode sahabat ini ada usaha yang positif yaitu terkumpulnya ayat-ayat
al-Qur’an dalam suatu mushaf. Ide untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dari
satu mushaf datang dari Umar bin Khatab, atas dasar karena banyak para sahabat
yang hafal Al-Qur’an gugur dalam peperangan. Ide ini disampaikan oleh Umar
kepada khalifah Abu Bakar, pada mulanya Abu Bakar menolak saran tersebut,
karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi pada
akhirnya Abu Bakar menerima ide yang baik dari Umar ini. Maka beliau menugaskan
Zaid bin Tsabit untuk menumpulakan ayat-ayat
Al-Qur’an yang terpencar-pencar tertulis dalam pelapah-pelapah kurma,
kulit-kulit binatang, tulang-tulang dan yang dihafal oleh para sahabat. Mushaf
ini disimpan pada Abu Bakar, kemudian setelah Umar meninggal disimpan pada
Hafsah binti Umar. Kemudian pada zaman Usman bin Affan, Usman meminjam mushaf
yang ada pada Hafsah kemudian menugaskan lagi pada Zaid bin Tsabit untuk
memperbanyak dan membagikannya ke daerah-daerah Islam yaitu Madinah, Mekkah,
Kufah, Basrah dan Damaskus. Mushaf itulah yang sampai pada kita sekarang.
Adapun
hadits pada masa kini belum terkumpul pada satu kitab. Memang pekerjaannya
lebih sulit untuk mrnyimpulkan ayat-ayat Al-Qur’an karena : Ayat-ayat Al-Qur’an
waktu Nabi meninggal telah tertulis, hanya masih berpencar-pencar belum
disatukan. Nabi selalu minta untuk menuliskan Al-Qur’an dan melarang menuliskan
Hadits. Dengan demikian tidak ada bercampur antara ayat Al-Qur’an dan Hadits.
Disamping itu Al-Qur’an banyak dihafal oleh para sahabat. Bahkan banyak sahabat
yang hafal keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an.
Akibat
dari tertulis dan tidak terkumpulnya Hadits dalam satu mushaf pada permulaan
Islam, maka ulama-ulama Islam pada masa selanjutnya harus meneliti keadaan
perawi Hadits dari berbagai segi, sehingga menimbulkan pembagian Hadits serta
munculnya Ilmu Musthalah Hadits. Akibat dari timbulnya perbedaan pendapat
karena berbeda dalam menanggapi satu Hadits tertentu.
2. Ijtihad Sahabat
Seperti
telah dijelaskan bahwa pada masa sahabat ini Islam telah menyebar luas misalnya
ke negeri Persia, Irak, Syam, dan Mesir. Negara-negara tersebut telah memiliki
kebudayaan yang tinggi, mempunyai adat-adat kebiasaan tertentu,
peraturan-peraturan dan ilmu pengetahuan. Bertemunya Islam dengan kebudayaan di
luar Jazirah Arab ini mendorong pertumubuhan Fiqh Islam pada periode
selanjutnya. Bahkan juga mendorong ijtihad para sahabat.
Adapun
cara berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nash-nya dalam
Al-Qur’an, apabila tidak ada, dicari dalam Hadits, apabila tidak ditemukan baru
berijtihad dengan bermusyawarah diantara para sahabat. Inilah bentuk ijtihad
jama’i. Apabila mereka bersepakat terjadilah ijma sahabat. Keputusan musyawarah
ini kemudian menjadi pegangan seluruh umat secara formal. Khalifah Umar bin
Khatab misalnya mempunyai dua cara bermusyawarah, yaitu: “Musyawarah yang
bersifat khusus dan Musyawarah yang bersifat umum”. Musyawarah yang bersifat
khusus beranggotakan para sahabat Muhajirin dan Anshor, yang bertugas
memusyawarahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah.
Adapun musyawarah yang bersifat umum dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah
yang dikumpulkan di mesjid, yaitu apabila ada masalah yang sangat penting,
seperti kasus tanah di Irak yang dijadikan tanah Khardj.
Walaupun
demikian tidaklah menutup kemungkinan adanya ijtihad para sahabat dalam
masalah-maslah yang sifatnya pribadi, tidak berkaitan secara langsung dengan
kemasalahatan umum.Mereka menanyakan masalahnya kepada salah seorang sahabat
Nabi dan diberikan jawabannya. Dalam masalah-masalah ijtihadiyah termasuk dalam
hal-hal yang belum ada nash-nya para sahabat berijtihad, ada yang menggunakan
cara anologi dan ada yang berpegang kepada maslahat serta menolak kemafsadatan.
Jadi,
pada masa sahabat ini sudah ada tiga sumber yaitu Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan
Ijtihad sahabat. Ijtihad terjadi dengan ijtihad jama’i dalam masalah-masalah
yang berkaitan dengan kemaslahatan umum dan dengan ijtihad fardi dalam hal-hal
yang bersifat pribadi. Untuk bentuk ijtihad fardi ada kemungkinan terjadi
perbedaan pendapat dikalangan para sahabat, sebab :
Pertama :
Tidak semua ayat Al-Qur’an dan Sunnah itu qath’i dalalahnya atau penunjukkannya
kepada maksud tertentu, sehingga memberikan kemungkinan penafsiran-penafsiran
yang berbeda.
Kedua
: Hadits belum terkumpul dalam satu kitab tertentu dan tidak semua sahabat
hafal hadits. Oleh karena itu, seorang mufti di Mesir akan memberi fatwa sesuai
dengan pengetahuannya.
Ketiga : Milieu dimana para sahabat
berdomisili tidaklah sama. Keperluan-keperluannya berbeda dan penerapan
kemaslahatan juga bisa berlainan.
Diantara
tokoh-tokoh fiqh pada periode sahabat ini adalah di Madinah : Abu Bakar
Shiddieq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin
Tsabit. Abu Musa al-Asyari, Ubaiy bin Ka’ab, Abdullah bin Umar, dan Aisyah
Radiyallahu Anha.
Kemudian
disusul oleh murid-muridnya yang terkenal dengan nama tujuh fuqaha di Madinah
yaitu :
1). Abu Bakar bin Abdurahman bin Haris bin Hisyam.
2). Al-Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar Shiddieq.
3). Urwah bin Zubaer bin Awam al-Asadi.
4). Said bin Musayab.
5). Sulaeman bin Yasir
6). Khadijah bin Zaid bin Tsabit.
7). Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud.
Di
Mekkah: diantaranya sahabat Abdullah bin Abbas, kemudian disusul oleh
murid-muridnya antara lain, Ikrimah Abu Muhammad Atho bin Abi Rabbah dan
Mujahid bin Zuber.
Di
Kufah: Diantaranya sahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud yang kemudian disusul oleh
para muridnya seperti Alqomah bin Qois bin Abdillah, Msruk bin al-Ajda
Al-Hamdani, Al-Qodli Sureh Said bin Zubair, Asya’bi.
Di
Mesir: Abdullah bin Amr bin Ash, kemudian disusul oleh muridnya Yazid bin Abu
Habib dan Alaist bin Sa’ad.
Di
Yaman: Sahabat Muadz bin Jabal.
Yang
ditinggalkan oleh periode sahabat ini adalah :
1). Penafsiran para sahabat dalam ayat-ayat hukum.
2). Sejumlah fatwa sahabat dalam kasus-kasus yang
tidak ada nahs hukumnya.
3). Terpecahnya umat menjadi tiga golongan yaitu
Khawarji, Syi’ah, dan Jumhur Muslimin atau Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Golongan
Khawarji tidak mau menetapkan hukum berdasarkan hadits yang di riwayatkan oleh
Utsma, Ali, Muawiyah dan yang diriwayatkan para sahabat yang mendukung Ali atau
Muawiyah. Demikian pula halnya Syi’ah, tidak maju menerima hadits kecuali yang
diriwayatkan oleh Ahli Bait. Adapun Ahli Sunnah Waljama’ah mau menggunakan
semua hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dapat dipercaya dan adil
tanpa membedakan salah seorang sahabat Nabi dengan sahabat Nabi lainnya.
Dari
uraian singkat ini tampak bahwa : Pada periode sahabat ini Islam mulai mendapat
tantangan untuk menjawab masalah-masalah yang timbul pada masyarakat di luar
Jazirah Arab dan mendorong para sahabat untuk berijtihad, disamping menghadapi
perpecahan umat dalm tubuh masyarakatnya sendiri, akibatnya terus terasa dalam
waktu yang sangat lama, juga dalam batas-batas tertentu tampak adanya kepastian
dan kesatuan hukum untuk masalah-maslah yang berkaitan dengan kemaslahatan
umat. Di samping itu di kota-kota besar ada tokoh-tokoh besar sahabat Nabi dan
murid-muridnya yang memiliki otoritas hukum dan menjadi panutan masyarakat.
Akhirnya
dari sejarah, kita tahu bahwa masyarakat Islam ternyata sanggup melampaui masa
krisisnya dan terus berkembang menuju puncak-puncak kemajuan di bidang ilmu,
termasuk di bidang fiqh.[5]
C.
Periode
Imam Mujtahid dan Pembukuan Ilmu Fiqh
Periode
ini berlangsung selama kurang lebih 250 tahun, dimulai dari awal abad kedua
hijriahh samapai pertengahan abad ke empat hijriah.
1. Sumber Hukum
Ada
dua hal penting tentang Al-Qur’an pada masa ini :
Pertama
: (adanya kegiatan0 menghafal Al-Qur,an. Kedua
: memperbaiki tulisan Al-Qur’an dan memberi syakal terhadap Al-Qur’an.Hal
ini dirasa penting, sebab orang muslim non Arab bisa salah dalam membaca
Al-Qur’an maka Gubernur Irak waktu itu Ziyad bin Abihi meminta pada Abu
al-Aswad Aduali untuk memberi syakal. Maka Abu al-Aswad Aduali memberi syakal
di setiap akhir kata, yaitu : diberi satu titik di atas huruf sebagai tanda
fathah, adapun tanda kasrah dengan satu titik dibawah huruf, tanda domah dengan
satu titik di samping huruf dan tanda tanwin dengan dua titik. Kemudian
Al-Kholil bin Ahmad memperjelas bentuk tanda-tanda ini yaitu dengan alif di
atas huruf sebagai tanda fathah, ya di bawah huruf sebagai tanda kasrah dan
wawu di atas huruf sebgai tanda domah. Disamping itu yang diberi tanda bukan
hanya huruf akhir dari kata, akan tetapi seluruh huruf. Terakhir, Gubernur Irak
Al-Hajaj bin Yusuf atas perintah khalifah Abdul Malik bin Marwan meminta kepada
Nashr bin Ashim untuk menyempurnakannya, maka Nashr pun memberi tanda satu
titik atau dua titik pada huruf-huruf yang tertentu, seperti qof dengan dua
titik, fa dengan satu titik dan seterusnya.
Untuk
Hadits pun sebagai sumber hukum pada masa ini mulai dibukukan antara lain yang
sampai pada kitab Al-Muwatho yang disusun oleh Imam Malik pada tahun 140 H.
Kemudian pada abad ke 2 hijriyah dibukukan pula kitab-kitab musnad, antara lain
musnad Ahmad Ibnu Hanbal. Pada abad ke 3 hijriyah dibukukanlah Kutubu Sittah,
yaitu : Shahih Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Anasa’i, Aturmudzi, dan Ibn Majah.
Pada
masa ini seluruh cara berijtihad yang kita kenal sudah digunakan, meskipun para
ulama disetiap daerah memiliki warna masing-masing dalam berijtihadnya.
Misalnya, Abu Hanifah dan murid-muridnya di Irak selain Al-Qur’an, Sunnah, dan
Ijma lebih menekankan penggunaan Qiyas dan Istihsan, sedangkan Imam Malik di
Hizaz selain Al-Qur’an, Sunnah, Ijma lebih menekankan penggunaan Al-Maslahah
Almursalah.
Adapun
sebab-sebab berkembangnya ilmu fiqh dan gairahnya berijtihad pada periode ini
antara lain :
Pertama
: Wilayah Islam sudah sangat meluas ke Timur sampai ke Tiongkok, dan ke Barat
sampai ke Andalusia (Spanyol sekarang) dengan jumlah rakyat yang banyak sekali.
Kedua :
Para ulama pada masa itu telah memiliki sejumlah fatwa dan cara berijtihad yang
mereka didapatkan dari periode sebelumnya.
Ketiga : Seluruh kamu muslimin pada masa
itu mempunyai keinginan yang keras agar segala sikap dan tingkah lakunya sesuai
dengan Syari’ah Islam baik dalam ibadah mahdhah maupun dalam ibadah ghair
mahdhah (mu’amalah dalam arti luas).
Keempat
: Pada periode ini memang dilahirkan ulama-ulama yang memiliki potensi untuk
menjadi mujtahid.
2.
Yang
Diwariskan oleh Periode ini Kepada Periode Selanjutnya
Hal-hal
terpenting yang diwariskan oleh periode ini kepada periode berikutnya antara
lain :
1). Al-Sunnah yang telah dibukukan. Sebagian
dibukukan berdasarkan urutan sanad, hadits dan sebgain lain dibukukan
berdasarkan bab-bab fiqh. Disamping itu Al-Qur’an juga telah lengkap dengan
syakalnya.
2). Fiqh yang telah dibukukan lengkap dengan dalil
dan alasannya.
3). Dibukukannya ilmu ushul fiqh. Para ulama
mujtahid mempunya warna masing-masing dalam berijtihadnya atas dasar
prinsip-prinsip dan cara-cara yang ditempuhnya.
4). Adanya dua aliran yang menonjol pada periode ini
yang terkenal dengan Madrasah Al-Hadits dan Madrasah Al-Ra’yi. Madrasah
Al-Hadits kebanyakan terdapat di Hijaz dan Madrasah Al-Ra’yi umumnya terdapat
di Irak. Penamaan Madrasah Al-Hadits atau Ahlul Hatdits tidaklah berarti mereka
tidak mempergunakan Al-Ra’yi demikian pula penamaan Madrasah Al-Ra’yi tidak
berarti bahwa mereka tidak mempergunakan Hadits. Penanaman ini disebabkan
karena Madrasah Al-Ra’yi atau Ahlul Ra’yi di Irak menitikberatkan tinajuaannya
kepada maksud-maksud dan dasar-dasar syara dalam pengambilan hukum mereka
berkesimpulan bahwa hukum-hukum syara itu bisa dipahami maksud-maksudnya dan
bertujuan untuk mewujudlkan kemaslahatan manusia. Oleh karena itu, hulkum syara
berdasar pada prinsip yang sama dan maksud yang sama, maka tidak mungkin
terjadi pertentangan diantara ketentuan-ketentuannya. Atas dasar konsep inilah
mereka memahami nash yang ada, menguatkan nash atas nash yang lain dan
memberikan hukum terhadap kasus-kasus, kadang-kadang dengan menakwilkan bunyi
lahir suatu nash. Oleh karena itu mereka memperluas daerah ijtihad Bir-Ra’yi.
Bahkan sering memberikan hukum terhadap sesuatu hal yang belum terjadi yang
sering disebut Fiqh Iftirodi atau Fiqh Takdiri.
Adapun
Madrasah Al-Hadits di Hijaz, mereka lebih mengarahkan perhatiannya kepada
Hadits dan fatwa sahabat. Mereka melihat kepada kata-kata yang adapada hadits
tersebut serta menerapkannya terhadap kejadian-kejadian yang timbul tanpa
membahas illat hukum dan prinsip-prinsipnya.
Apabila
terhadap perbedaan antara ketetapan nash dan akal pikiran, mereka memegang
kepada nash. Oleh karena itu, mereka segan sekali melakukan ijtihad Bir-Ra’yi
kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa.
Fuqaha
Irak memahami nash ini dari sisi pengertiannya yang rasional dan dari sisi
tujuan nash tersebut, yaitu tujuan pembayaran zakat bagi fakir miskin. Oleh
karena tujuan zakat untuk memberi manfaat kepada fakir miskin, maka ulama-ulama
ahli Ra’yi membolehkan pembayaran dengan seekor kambing, misalnya denga uang
seharga seekor kambing.
Fuqaha
Hijaz atau Ahlu Al-Hadits memahami nash tersebut sesuai dengan kata-katanya
sendiri. Bagi mereka yang wajib dikeluarkan sebagai zakat itu adalah seekor
kambing bukan barang lain dan bukan pula harganya.
Adapun
sebab-sebab timbulnya dua aliran ini antara lain adalah :
1). Lingkungan Irak lain dengan lingkungan Hijaz.
Seperti diketahui di Irak telah berlaku satu sistem hukum yang meliputi baik
hukum publik maupun hukum sipil. Dismping itu masyarakat Irak lebih terbuka
ketimbang masyarakat Hijaz.
2). Hadits-hadits dan fatwa sahabat lebih banyak
tersebar di Hijaz ketimbang di Irak.[6]
D.
Periode
Taklid
Akhir
dari masa gemilang ijtihad pada periode imam mujtahid ditandai dengan telah
tersusunnya secara rapi dan sistematis kitab-kitab fiqh sesuai dengan aliran
berpikir mazhab masing-masing. Dari satu segi, pembukuan fiqh ini ada dampak
positifnya yaitu kemudahan bagi umat Islam dalam beramal, karena semua masalah
agama telah dapat mereka temukan jawabannya dalam kitab fiqh yang ditulis para
mujtahid-mujtahid sebelumnya. Tetapi dari segi lain terdapat dampak negatifnya
yaitu terhentinya daya ijtihad, karena orang merasa tidak perlu lagi berfikir
tentang hukum, sebab semua telah tersedia jawabannya.
Kegiatan
ijtihad pada masa ini terbatas pada usaha pengembangan, pensyarahan, dan
perincian kitab fiqh dari imam mujtahid yang ada (terdahulu) dan tidak muncul
lagi mendapat atau pemikiran baru.
Kitab
fiqh yang dihasilkan para mujtahid terdahulu diteruskan dan dilanjutkan oleh
pengikut mazhab kepada generasi sesudahnya, tanpa ada maksud untuk memikirkan
atau mengkajinya kembali secara kritis dan kreatif meskipun situasi dan kondisi
umat yang menjalankannya sudah sangat jauh berbeda dengan kondisi disaat fiqh
itu dirumuskan oleh imam mujtahid. Karena itu sudah mulai banyak
ketentuan-ketentuan fiqh lama itu yang tidak dapat di ikuti untuk diterapkan
secara praktis. Selain itu sangat banyak masalah fiqh yang tidak dapat
dipecahkan hanya dengan semata membolah-balik kitab-kitab fiqh yang ada itu. Jika
pada masa imam mujtahid, fiqh yang disusunnya itu berjalan secara praktis
dengan daya aktualitas yang tinggi, maka pada masa berikutnya fiqh dalam
bidang-bidang tertentu sudah kehilangan daya aktualitasnya.[7]
E.
Periode
Reformulasi Fiqh Islam
Dalam
satu segi, umat Islam menginginkan kembali kehidupannya diatur oleh hukum
Allah. Tetapi dari segi lain, kitab-kitab fiqh yang ada pada waktu ini-yang
merupakan formulasi resmi dari hukum syara’-belum seluruhnya berbeda dengan
kondisi ulama mujtahid ketika mereka memformulasikan kitab fiqh itu.
Keadaan
demikian itu mendorong para pemikir Muslim untuk menempuh usaha reaktualisasi
hukum yang dapat menghasilkan formulasi fiqh yang baru, sehingga dapat menuntun
kehidupan keagaamaan dan keduaniaan umat Islam sesuai dengan persoalan
zamannya.[8]
F.
Periode Kemunduran
Periode
ini dimulai dari pertengahan abad ke empat hijriyah sampai kurang lebih abad ke
tiga belas hijriyah yaitu pada masa pemerintah Turki Usmani memakai kitab
undang-undang yang dinamai majalah Al-Ahkam Al-Adliyah. Dalam undang-undang
tersebut materi-materi fiqih disusun dengan sistematis dalam satu kitab
undang-undang hukum perdata.
1.
Faktor-faktor
yang Menyebabkan Kemunduran
Pada
periode ini umat islam mengalami kemunduran di bidang politik, pemikiran, mental,
dan kemasyarakatan yang megakibatkan pula kemunduran dalam bidang fiqh :
1). Kemunduran di bidang politik, misalnya
terpecahnya dunia islam menjadi beberapa wilayah kecil yang masing-masing
keamiran hanya sibuk saling berebut kekuasaan, saling memfitnah, dan berperang
sesama muslim yang mengakibatkan ketidakamanan dan ketidaktentraman masyarakat
muslim. Kondisi yang semacam ini pada gilirannya menyebabkan kurangnya
perhatian terhadap ilmu dan pemikiran tentang fiqih.
2). Dengan dianutnya pendapat madzhab tanpa pikiran
yang kritis serta dianggapnya sesuatu yang mutlak benar, menyebabkan orang
tidak mau meneliti kembali pendapat-pendapat tersebut. Orang merasa cukup
mengikuti madzhab tersebut bahkan mempertahankannya dan membelanya tanpa
mengembalikan kepada sumber pokok Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini diperkuat
lagi oleh penerapan satu madzhab tertentu bagi suatu wilayah kekuasaan
tertentu. Misalkan pemerintah Turki termasuk para hakim-nya menganut dan
membantu madzhab Hanafi. Kekuasaan disebelah barat mengokohkan madzhab maliki
dan disebelah timur madzhab syafi’i.
3). Dengan banyaknya kitab-kitab fiqih, para ulama
dengan mudah bisa menemukan jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah yang
dihadapi. Hal ini tentu saja bermanfaat, akan tetapi apabila membacanya tanpa
kritis dan tanpa membandingkan dengan pendapat madzhab-madzhab lain serta tanpa
memperhatikan kembali Al-Qur’an dan As-Sunnah, membawa akibat kehilangan
kepercayaan terhadap potensi yang besar yang ada pada dirinya. Tidak menghargai
hasil ijtihad ulama-ulama lain dan merasa pendapat sendiri yang mutlak benar
dalam masalah-masalah ijtihadiyah, sudah tentu akan mengarah kepada sikap yang
tertutup dengan segala akibat-akibatnya.
4). Dengan jatuhnya Cordoba sebagai pusat kebudayaan
islam di Barat tahun 1213 M dan kemudian jatuhnya Baghdad sebgai pusat
kebudayaan islam di Timur tahun 1258 M, maka berhentilah denyut jantung
kebudayaan islam baik di Barat maupun di Timur. Ditambah lagi dengan kehancuran
masyarakat Islam masa itu. Ulama-ulama dibagian timur berusaha mencoba untuk
menyelamatkan masyarakat yang sudah hancur itu dengan melarang berijtihad untuk
menyeragamkan kehidupan social bagi seluruh rakyat, dengan demikian diharapkan
timbulnya ketertiban social. Namun rupanya usaha ini tidak banyak menolong,
karena nasib suatu masyarakat tidak hanya tergantung kepada keseragaman
kehidupan social tetapi juga kepada hasil kekuatan dan kreativitas perorangan.
2.
Klasifikasi
Mujtahid
Kerja
ulama pada masa ini masih sekitar ijtihad para imam-imam mujtahid yang
sebelumnya, hal ini tidak mengandung arti tidak ada sama sekali ulama yang
memiliki kemampuan berijtihad, hanya saja mereka dalam berijtihadnya masih
mengikatkan dirinya dengan madzhab yang ada. Atas dasar masalah ini lalu
muculah istilah-istilah seperti mujtahid mutlak, mujtahid fi al-madzhab, dan
lain sebagainya.
1). Mujtahid mutlak, yaitu mujtahid yang mempunyai
metodelogi yang mandiri dalam istimbath hukum, mereka inilah imam-imam madzhab.
Seperti Abu Hanafi, Maliki, Al-Syafi’I, dan Ahmad Ibnu Hambal.
2). Mujtahid muntasib, yaitu para mujtahid yang
mengikuti pendapat para imam adzhab dalam usul atau metode berijtihad, akan
tetapi hasil ijtihad ada yang sama dan ada yang berbeda dengan pendapat imam
madzhab seperti al-munzani dalam madzhab Al-Syafi’i.
3). Mujtahid fi al-mazhab yaitu mujtahid yang
mengikuti imam madzhab baik dalam usul atau dalam furu hanya beda dalam
penerapannya. Jadi, hanya memperluas atau mempersempit penerapan suatu yang
telah ada dalam madzhab seperti Al-Ghazali dalam madzhab syafi’i.
4). Mujtahid fi al-masail, yaitu mujtahid yang
membatasi diri hanya berijtihad dalam hal-hal yang belum di ijtihadkan oleh
imam-imam mereka, seperti al-karhi dikalangan madzhab Hanafi dan Ibnu Arabia
dikalangan madzhab Maliki.
5). Ahlu takhrij, yaitu fuqaha yang kegiatannya
terbatas menguraikan dan memperjelas pendapat-pendapat yang samar dan janggal
yang ada dalam madzhabnya seperti al-jashosh dalam madzhab Hanafi.
6). Ahli tarjih, yaitu fuqaha yang kegiatannya hanya
menarjih atau menguatkan pendapat-pendapat yang berbeda yang ada dalam
madzhabnya.[9]
G. Periode Kebangunan Kembali
1.
Tanda-tanda
Kemajuan
a.
Dalam
bidang Perundang-undangan
Periode
ini dimulai dengan masa berlakunya majalah al-ahkam al-adliyah yaitu kitab
undang-undang hukum perdata isalam pemerintah Turki Usmani pada tahun 1992 H
atau tahun 1876 M. Baik bentuk da isi kitab fiqih dari satu madzhab tertentu.
Bentuknya adalah bentuk da nisi madzhab tertetu saja.
b.
Bidang
Pendidikan
Diperguruan-perguruan tinggi agama di Mesir,
Pakistan maupun di Indonesia dalam cara mempelajari fiqh tidak hanya dipelajari
satu madzhab tertentu, tetapi dipelajari madzhab yang lain secara muqoronah
atau perbandingan, bahkan juga dipelajari system hukum adat dan system hukum
romawi. Dengan demikian diharapkan bahwa wawasan hukum dikalangan mahasiswa
islam menjadi lebih luas juga lebih mendekatkan hukum islam dengan hukum
keluarga tetapi juga berbagai bidang hukum lainnya. Pendekatan ini akan lebih intensif
lagi apabila fakultas hukum diajarkan hukum islam, sehingga terjadi perpaduan
yang harmonis sesuai dengan kebutuhan waktu dan tempat khususnya di Indonesia.
Satu
hal yang rasanya perlu mendapat tekanan disinilah mempelajari ushul fiqh
haruslah mendapat perhatian yang lebih besar lagi untuk memungkinkan ilmu fiqih
berkembang lebih terarah sebab ushul fiqih itulah cara pemikiran hukum dalam
islam.
c.
Dibidang
Penulisan Buku-buku dalam Bahasa Indonesia dan Penerjemahan
Seperti
kita ketahui ajaran islam pada umunya dan fiqh pada khusunya tertulis dalam
puluhan ribu kitab yang berbahasa Arab. Sudah jarang tentu orang-orang
Indonesia hanya sedikit yang bisa membaca dengan benar tulisan dalam bahasa
arab. Tapi sekarang telah tampak kegiatan penulisan ushul fiqh dan fiqh dalam
Bahasa Indonesia. Demikian halnya dengan penerjemahan menampakan kegiatan yang
meningkat meskipun masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan kitab-kitab
yang baik untuk diterjemahkan kedalam Bahasa yang dimengarti. Oleh karena itu,
untuk mejadi seorag yang ahli dalam bidang fiqh tetap harus kembali membaca dan
melihat kitab-kitab yang aslinya dalam Bahasa arab.
2. Penilaian Dunia Internasional
Terhadap Dunia Syari’ah Islam
Pada
bulan Agustus 1932 berlangsung konferensi perbandigan hukum internasional di
Den Haag, Negeri Belanda. Dalam konferensi tersebut Prof. Dr. Ali badawi
berbicara tentang hubungan antara agama dengan hukum, sebagai jalan untuk
sampai kepada pembicaraan tentang Syari’ah Islam. Akhirnya konferensi tersebut
memutuskan agar dalam konferensi selanjutnya diadakan bagian khusu bagi
Syari’ah islam sebagai salah satu sumber dalam perbandingan hukum.
Pada
bulan Agustus 1937, diadakan lagi siding. Yang berbicara tentang Syar’ah islam
waktu itu adalah Mahmud Syalut dengan judul :”Pertanggung Jawaban Pidana dan
Perdata dalam Islam”. Serta Prof. Dr. Abdrahman Tag judul :” System Hukum
Romawi dan System Hukum Islam”.
Maka
hasil dari konferensi memuskan Antara lain:
1). Hukum islam sebagai salah satu sumber hukum
perundang-undangan umum.
2). Hukum islam berdiri sendiri, tidak mengambil
dari hukum romawi.
3). Hukum islam adalah hukum yang hidup dan dapat
berkembang.
Pada
bulan Juli 1951 di Den Haag diadakan pula konferensi pengacara-pengacara yang
dihadiri 53 negara. Keputusan yang terpenting tentang hukum Islam adalah:
mengingat adanya fleksibilitas didalam hukum Islam dan kedudukannya yang sangat
penting maka satuan pengacara mengambil hukum islam menjadi bahan perbandingan.
Pada
bulan Juli 1951, Fakultas Universitas Paris mengadakan pembahasan tentang hokum
Islam dalam kegiatan dengan nama “Pecan Hukum Islam”.
Pada
akhirya seminar tersebut memutuskan:
1). Tidak diragukan lagi bahwa prinsip-prinsip hukum
Islam mempunyai nilai-nilai dari segi hukum.
2). Perbedaan pendapat dan madzhab mengandung
kekayaan pengetahuan hukum yang menakjubkan. Oleh karena itu, hukum islam dapat
memenuhi kebutuhan hidup modern.
[1]
Bakry Nazar, Fiqih
Dan Ushul Fiqih, Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 1994 hal.81
[2] Al-Qaradhawi
Yusuf, Fiqih Praktis, Jakarta: Gema
Insani Press 2002 hal.7
[3]
Djazuli A, Ilmu Fiqih, Jakarta: Kencana 2010 hal. 139
[4] Ibid. hal. 140
[5]
Djazuli A, Ilmu Fiqih, Jakarta: Kencana 2010 hal.145
[7]
Syarifudin Amir, Ushul Fiqih 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu 1997 hal.32
[8] Ibid hal. 32