BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Penemuan Hukum
Penemuan
hukum adalah salah satu wadah yang dapat digunakan oleh hakim untuk mengisi
kekosongan hukum,atau menafsirkan suatu kaidah praturan perundang unmdangan
yang tidak atau kurang jelas.Semakin dinamisnya kehidupan masyarakat yang
menyebabkan kaidah hukum selalu tertinggal, sehingga hakim hakim dituntut
menghidupkan seiring dengan perubahan dan rasa keadilan masyarakat,
1. Pengertian dalam Arti Sempit
Pengertian
penemuan hukum dalam arti sempit, adalah “jika peraturan sudah ada dan sudah
jelas, dimana hakimtinggal menerapkan saja” (Achmad Ali,19888:81) dalam
penerapannya hakim, tetap dianggap melakukan penemuan, yaitu menemukan
kecocokan antara maksud atau bunyi peraturan undang undang dengan kualifikasi
peristiwa atau kasus konkretnya.
Sadikno
Mertokusumo (1993;5) memberiakan gambaran tentang penemuan hukum dalam arti
sempit sebagai “suatu penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalm memeriksa
dan memetus suatau perkara” penemuan hukum olehhakim hakim ini dianggap yang
mempunyai wibawa. Ilmuan hukum pun mengadakan penemuan hukum. Hanya saja kalau
hasil penemuan hukum itu adalah hukum maka hasil penemuan hukum oleh ilmuan
hukum bukanlah hukum, melainkan ilmu atau doktrin.
Pandangan
Sudikno diatas ditunjuknya, bahwa kendati yang dihasilkan oleh ilmuan hukum itu
bukanlah hukum karna ia hanyalah doktrin, tetapi tetap dianggap sebagai
penemuan hukum dalam arti sempit. Doktrin yang dijadikan pertimbangan atau diikuti
oleh hakim dalam putusannya, menjadi hukum, kendati doktrin itu sendiri hanya
merupakan sumber hukum. Bahkan seorang yang menyatakan bahwa suatu ketentuan
undang-undang itu sebenarnya sudah lengkap, tetapi menurut Achmad Ali
(1996;157) mereka itu sebenarnya telah menafsirkan undang undang.
Penafsiran
atau interpretasi itu sendiri merupakan salah satu metode dalam penemuan hukum.
Penemuan hukum dalah arti sempit,dibedakan pula atas penemuan hukum perkara
pendata, dalam perkara tata usaha negara, dengan menggunakan metode sumbsumptie.
Proses penerapan metode sumbsumptie,
pertama tama melihat terlebih dahulu gejala-gejala penyakitnya, kemudian
mendiagnotis penyakit apa yang diderita pasien berdasarkan gejala-gejala tadi,
selanjutnya menentukan jenis obatnya.
2. Pengertian dalam Ilmu Luas
Penemuan
hukum adalah arti luas ,posisi hakim bukan lagi sekedar menerapkan peraturan
peraturan hukum yang sudah jelas dengan menyocokannya pada kasus yang
ditangani, melainkan sudah lebih lias. Hakim dalam membuat keputusan, sudah
memperluas makna suatu ketentuan undang-undang yang dibagi atas kontruksi hukum
dan interpretasi.
Untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan penemuan
hukum dalam arti luas, penulis kutip dua pendapat pakar hukum yang darinya
dapat memberikan gambaran makna dari penemuan hukum (Sudikno
Mertokusumo,1993;4), sebagai berikut.
a.
Van
Eikema Hommes menyatakan bahwa menemukan hukum lazimnya diartikan sebagai
proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugasa-petugas hukum ainnya yang
diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa konkret. Ini merupakan
proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum
dengan mengingat peristiwa konkret
b.
Paul
Scholten menyatakan bahwa menemukan
hukum adalah suatu yang lain dari pada hanya menerapkan peraturan-peraturan pada
peristiwanya. Kadang kadang, dan bahkan sangat sering terjadi bahwa
peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan
jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtsvervijining.
Penemuan
hukum merupakan kegiatan atas berprosesnya hukum dipengadilan dan hakim sebagai
aktornya. Undang-undang sebagaimana manusia, sehingga ia harus diketahui oleh warga
masyarakat untuk memenuhi asas “setiap orang tahu akan hukum” menjelaskan hukum
positif dapat berlaku dan diterima baik oleh masyrakat.
Demikian pula menafsirkan
undang-undang untukmenemukan hukumnya, sebetulnya bukan hanya dilakukan oleh
ilmuan hukum, melainkan juga justisiable yang mempunyai kepentingan dengan
peristiwa yang diperkarakan dipengadilan sebagai pusat berprosesnya hukum
seperti polisi, jaksa, dan pengacara yang juga melakukan interpretasi.
B.
Penafsiran
Hukum
a.
Macam-Macam
Cara Penafsiran
Penafsiran atau interpretasi peraturan undang-undang
ialah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang
sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang.
1. Cara Penafsiran
:
a. Dalam
pengertian subyektif dan obyektif.
Dalam
pengertian subyektif, apabila ditafsirkan seperti yang dikehendaki oleh pembuat
undang-undang.
Dalam
pengertian obyektif, apabila penafsirannya lepas dari pada pendapat pembuat undang-undang
dan sesuai dengan adat bahasa sehari-hari.
b. Dalam
pengertian sempit dan luas.
Dalam
pengertian sempit (restriktif), yakni apa bila dalil yang ditafsirkan diberi pengertian
yang sangat dibatasi misalnya mata uang (pasal 1756 KHU Perdata) pengertiannya hanya
uang logam saja dan barang diartikan benda yang dapat dilihat dan diraba saja.
Dalam
pengertian secara luas (ekstentif), ialah apabila dalil yang ditafsirkan diberi
pengertian seluas-luasnya.
2.
Metode
Penafsiran
Di
dalam Ilmu Hukum metode penafsiran adalah penafsiran menurut :
1. Tata
bahasa dan arti kata-kata/istilah (grammaticaleinterpretatie,
taalkundigeinterpretatie).
2. Sejarah
(historischeinterpretatie) yang
meliputi penafsiran sejarah hukum (rechtshistorischeinterpretatie)
dan penafsiran sejarah pembuatan undang-undang (wetshistorischeinterpretatie).
3. Sistem
dari peraturan/undang-undang yang bersangkutan (sistematische, dogmatische, dananalogischeinterpretatie).
4. Keadaan
masyarakat (sosiologische,atauteleologischeinterpretatie).
5. Otentik
(penafsiranresmi,
authentiekeinterpretatie, officieeleinterpretatie).
6. Perbandingan.
3.
Penjelasan
Tentang Berbagai Macam Metode Penafsiran
1. Penafsiran
Gramatikal (Tata Bahasa)
Penafsiran gramatikal atau taalkundig adalah
penafsiran menurut tata bahasaatau kata-kata.
Kata-kata dan bahasa merupakan alat bagi
pembuat undang-undang untuk menyatakan maksud dan kehendaknya. Kata-kata itu harus
singkat,jelas, dan tepat. Untuk mempergunakan kata-kata itu tidak mudah. Oleh sebab
itu apabila hakim ingin mengetahui apa yang dimaksud oleh undang-undang atau apa yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang,
hakim harus menafsirkan kata-kata di dalam undang-undang yang bersangkutan.
Ia harus mencari arti kata-kata itu dalam
kamus atau minta penjelasan-penjelasan dari para ahli bahasa. Ini pun sering tidak
cukup dan hakim harus mencari jalan lain. Di samping arti kata-kata itu sendiri
dalam penafsiran kata-kata itu harus dihubungkan pula dengan susunan kalimat-kalimat
dan dengan peraturan-peraturan lain. Pada hakikatnya penafsiran mengenai arti
kata hanya merupakan penafsiran yang pertama
saja dan harus dilanjutkan dengan cara penafsiran yang lain.
2. Penafsiran
Historis atau Sejarah.
Penafsiran
cara ini adalah meneliti sejarah dari pada undang-undang yang bersangkutan.
Tiap ketentuan perundang-undangan tentu mempunyai sejarah dan dari sejarah perundang-undangan
ini hakim mengetahui maksud dari pembuatnya.
Penafsiran historis di bagi dua yaitu :
a. Fockema
Andre, membagi penafsiran ini dalam dua bentuk :
·
Penafsiran asal-usul, ialah asal-usul sampai
timbulnya undang-undang yang baru.
·
Penafsiran menuurut sejarah pembuatan suatu
undang-undang.
b. Van
Bemmelen, membedakan pengertian ini dengan dua macam istilah :
·
Historischeinterpretatieuntukpenafsiranasal-usul.
·
Penafsiran legislative untuk wetshistorischeinterpretatie.
Yang
lazim penafsiran historis dibagi dua :
1. Penafsiran
menurut sejarah pembuatan undang-undang (wetshistorischeinterpretatie).
2. Penafsiran
menurut sejarah hukum (rechtshistorischeinterpretatie).
Ø Penafsiranwetshistorischini
juga dinamakan penafsiran sempit dan hanya menyelidiki “apakah maksud pembuat undang-undang
dalam mentepakan peraturan perundang-undangan itu atau siapa yang membuat rancangan
untuk undang-undang, apa dasar-dasarnya, apa yang diperdebatkan dalam
siding-sidang DPR dans ebagianya sehingga undang-undan gitu dapat ditetapkan secara
resmi”.
Apabila
penelitian tersebut telah menunjukan bahwa peraturan perundang-undangan itu mengambil
asa-asa dari sitem hukum terdahulu atau dari sistem hukum lain, maka hakim
menafsirkan menurut sejarah terbentuknya undang-undang terlebih dahulu dan kemudian baru diadakan penelitian menurut sejarah hukum.
Bagi hakim penafsiran Historis adalah untuk
kepentingan praktik, maka penafsiran menurut sejarah hukum (rechtshistorisch) dan penafsiran menurut sejarah penetapan peraturan
pembentukan undang-undang (wetshistorisch)
tidak ada perbedaan. Selanjutnya Scholten menyatakan bahwa mengetahui maksud dan
kehendak pembuat undang-undang belum cukup bagi hakim, sebab hakim harus menerapkan
peraturan-peraturan itu sesuai dengan asa keadilan masyarakats ekarang. Hukum itu
dinamis, selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dengan demikian
arti peraturan perundang-undangan belum tentu cocok dengan kenyataan.
Ø Penafsiran
menurut sejarah hukum (rechtshistorischeinterpretatie).
Penafsiran
ini dinamakan penafsiran yang luas, karena penafsiran wetshistorisch termasuk didalamnya. Penafsiran menurut sejarah hukum
ini menyelidiki apakah asal-usul peraturan itu dari suatu sistem hukum yang
dulu pernah berlaku atau dari sistem hukum yang lain.
3. Penafsiran
sistematis.
Yang
dimaksud penafsiran sistematis, ialah suatu penafsiran yang menghubungkan pasal
yang satu dengan pasal-pasal yang lain dalam satu perundang-undangan yang
bersangkutan atau pada perundang-undangan hukum lainnya.
4. Penafsiran
sosiologis atau teleologis.
Penafsiran
sosiologis ialah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Selain
itu, penafsiran sosiologis ialah waktu undang-undang gitu dibuat keadaan social
masyarakat sudah lain dari pada sewaktu undang-undang diterapkan kemudian,
karena hukum itu gejala social yang senantisa berubah mengikuti perkembangan masyarakat.
Begitu pula kehendak pembuat undang-undang sewaktu undang-undang itu disusun,
mungkin sekali sudah tidak sesuai dengan tujuan social sekarang.
Penafsiran sosiologis itu sangat penting sekali
bagi hakim, terutama kalau diingat banyak undang-undang yang dibuat jauh dari pada
waktu dipergunakan.
5. Penafsiran
otentik
Penafsiran
otentik atau penafsiran secara resmi ialah penafsiran yang dilakukan oleh pembuat
undang-undang itu sendiri atau oleh instansi yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
dan tidak boleh oleh siapapun dan pihak manapun.
Penafsiran ini bersifat subyektif.
Penafsiran yang dilakukan oleh pembuat undang-undang sebagai lampiran dan tambahan
lembaran negara di undang-undang yang bersangkutan.
6. Penafsiran
perbandingan.
Penafsiran perbandingan ialah suatu penafsiran
dengan membandingkan antara hukum yang lama dengan hukum yang berlaku saat ini,
antara hukum nasioanl dan hukum asing dan hukum colonial.
-
Hukum lama dengan hukum positf yang
berlaku saat ini ,mungkin hukum lama cocok untuk diterapkan lagi pada masa
sekarang ini. Umpamanya beberapa hukum dan asas hukum adat, yang menggambarkan unsur
kekeluargaan, dapat diambil dan untuk dijadikan hukum nasional.
-
Hukum nasional sendiri dengan hukum asing.
Pada hukum nasional terdapat kekurangan. Apabila ada keinginan untuk mengambil alih
hukum asing/negara lain apakah hukum asing itu cocok dan sesua idengan kepentingan
nasional. Umpamanya seperti hukum hak cipta.
-
Hukum colonial peninggalan penjajah,
karena asas konkordansi oleh negara merdeka
masih tetap dipergunakan. Dalam hal ini negara itu membandingkan hal-hal manakah
yang sudah tidak sesuai dengan hukum kepribadian nasional negara itu.
C.
Metode
Penemuan Hukum
1.
Metode
Interpretasi Hukum
Metode interpretasi atau penafsiran
hukum digunakan karena apabila suatu peristiwa konkret tidak secara jelas dan
tegas dianut dalam suatu peraturan perundang-undangan. Jenis metode disiapkan
dalam teori hukum, hakim bebas memilih, mana yang paling cocok dengan peristiwa
yang sedang ditanganinya.
Jenis- jenis metode interpretasi hukum:
ü Interpretasi
subsumptif, yaitu hakim menerapkan teks atau kata-kata suatu ketentuan
undang-undang terhadap kasus in-konkreto (fakta kasus) tanpa menggunakan
penalaran sama sekali dan hanya sekedar menerapkan silogisme dari ketentuan
tersebut. Disini hakim hanya menerapkan ketentuyan poasal undang-undang, yaitu
mencocokkan fakta kasus dengan ketentuan undang-undang yang dilanggar.
ü Interpretasi
gramatikal, yaitu menafsirkan kata –kata yang ada dalam undang-undang sesuai
dengan kaidah tata bahasa. Teks atau kata –kata dari suatu peraturan
perundang-undangan dicari maknanya yang oleh pembentuk undang-undang dicari
maknanya yang oleh pembentuk undang-undang digunakan sebagai simbol terhadap
suatu peristiwa.
ü Interpretasi
ekstensif, yaitu memperluas makna dari ketentuan khusus menjadi ketentuan umum
sesuai dengan kaidah tata bahasa, karena maksud dan tujuannya kurang jelas atau
terlalu abstrak agar menjadi jelas dan konkret, perlu di perluas maknanya.
ü Interpretasi
sistematis, yaitu menafsirkan undang-undang sebagai baian dari keseluruhan
sistem peraturan perundang-undangan.
ü Interpretasi
sosiologis atau teologis, yaitu menafsirkan makna atau substansi undang-undang
untuk diselaraskan dengan kebutuhan atau kepentingan warga masyarakat.
ü Interpretasi
historis, dibagi menjadi dua jenis, yaitu sebagai berikut:
·
Penafsiran menurut sejarah
undang-undang, mencari maksud dari pembuatan undang-undang saat diundangkannya
sebagai ukuran dalam menafsirkan suatu peritiwa hukum, dan sumbernya dilijhat
pada catatan pembahasannya di dewan perwakilan rakuyat (DPR)
·
Penafsiran menurut sejarah hukum,
mencari makna yang terkandung dari sejarah perkembangan hukum, seperti apa
tujuan hukum sehingga korupsi dilarang.
ü Interpretasi
komparatif, yaitu membandingkan anataraberbagai sistem hukum yang ada di dunia,
sehingga hakim bisa mengambil putusan yang sesuai dengan perkara yang
ditanganinya.
ü Interpretasi
restriktif, yaitu penafsiran yang sifatnya membatasi suatu ketentuan
undang-undang terhadap peristiwa konkret. Disini hakim membatasi perluasan
berlakunya suatu undang-undang terhadap peristiwa tertentu untuk melindungi
kepentingan umum.
ü Interpretasi
futuristis, yaitu menjelaskan suatu undang-undang yang berlaku sekarang (ius
constitutum) dengan berperdoman pada undang-undang yang akan di berlakukan (ius
constituendum)
2.
Metode
Konstruksi Hukum
Penalaran
logis untuk mengembangkan suatu ketentuan dalam undang-undang yang tidak lagi
berpegang pada kata-kata, tetapi tetap harus memperhatikan hukum sebagai suatu
sistem.
Jenis –jenis Metode konstruksi hukum :
ü Analogi
atau argumentum peranalogian, yaitu penemuan hukum yang mencari esensi dari
species ke genius, atau dari suatu peristiwa khusus ke peraturan yang bersifat
umum.
ü Argumentum
a’contrario, yaitu penalaran terhadap suatu ketentuan undang-undang pada
peristiwa hukum tertentu, sehingga secara a’contrario ketentuan tersebut tidak
boleh diberlakukan pada hal-hal lain atau kebalikannya.
ü Rechtsvervijnings
(pengkonkretan hukum, tetapi ada juga yang mengartikannya penyempitan atau
penghalusan hukum), yaitu mengkonkretkan suatu ketentuan dalam undang-undang
yang abstrak atau terlalu luas cangkupannya sehingga perlu dikonkretkan oleh
hakim.
ü Fiksi
hukum (fictie), yaitu penemuan hukum dengan menggambarkan suatu peristiwa
kemudian menganggapnya ada, sehingga peristiwa tersebut menjadi suatu fakta
baru. Bahwa fiksi sangat bermanfaat untuk memajukan hukum, yaitu untuk
mengatasi benturan antara tuntutan-tuntutan baru dan sistem yang ada yang tetap
diperlakukan sebagai bukan kenyataan. Akan tetapi, jika hasil penemuan hukum
oleh hakim yang menggunakan metode fiksi hukum, maka putusan itu sudah tergolong
hukum positif dan tidak boleh disebut lagi fiksi.
D.
Sejarah
Singkat Pengantar Ilmu Hukum
1. Istilah
Pengantar Ilmu Hukum tidak tercipta begitu saja, tetapi mempunyai sejarahnya
sendiri. Pengantar Ilmu Hukum berasal dari terjemahan bahasa Belanda. “Inleiding not rechhtswetenschap”. Istilah
ini dipakai pada tahun 1920 yaitu dimasukkan dalam HogerOnderwijs Wet, atau Undang-undang Perguruan Tinggi di negeri
Belanda.
2. Inleiding tot de
rechtswetenschapini adalah sebagai pengganti dari istilah
“Encyclopaedie der rechtswetenschap” yaitu suatu istilah yang semula
dipergunakan di negeri Belanda.
3. Sebenarnya
istilah Inleiding tot de
rechtswetenschap itu sendiri merupakan terjemahan dari “Einfuhrung in die Rechtswissenschaft”suatu istilah yang
dipergunakan di Jerman pada akhir abad ke 19 dan permulaan abad ke 20.
4. Di
Indonesia sendiri Inleiding tot de
rechtswetenschap telah dikenal sejak tahun1924 dengan didirikannya
RechtsHoge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia (Jakarta) di mana
dimasukkan dalam kurikulumnya.
5. Sedangkan
istilah Pengantar Ilmu Hukum, dipergunakan untuk pertaman kalinya di Perguruan
Tinggi/Universitas Gajah Mada yang berdiri pada tanggal 3 maret 1946. Tetapi
sebenarnya jauh sebelum itu tepatnya pada tahun 1942, istilah Pengantar Ilmu
Hukum sudah dipelajari berbagai terjemahan dari Inleiding tot de rechtswetenschap dan sampai sekarang dijadikan
mata kuliah dasar di setiap Perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
E.
Pengertian
Hukum Adat
a.
Pengertian Hukum Adat
Hukum adat
adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia
dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya
adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuhdan berkembang dan
dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan
ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adatmemiliki kemampuan
menyesuaikan diri dan elastis. Keberadaan hukum adat tidak pernah akan mundur
atau tergeser dari percaturan politik dalam membangun hukum nasional, hal terlihat
dari terwujudnyakedalam hukum nasional yaitu dengan mengangkat hukum
rakyat/hukum adatmenjadi hukum nasional terlihat pada naskah sumpah pemuda pada
tahun 1928 bahwahukum adat layak diangkat menjadi hukum nasional yang modern.
Pada era Orde Baru.
b.
Proses Terbentuknya Hukum
Hukum adat
pada umumnya memang belum/ tidak tertulis. Oleh karena itu dilihat dari mata
seorang ahli hukum memperdalam pengetahuan hukum adatnya dengan pikiran juga
dengan perasaan pula. Jika dibuka dan dikaji lebih lanjut maka akan ditemukan
peraturan-peraturan dalam hukum adat yang mempunyai sanksi dimana ada kaidah
yang tidak boleh dilanggar dan apabila dilanggar maka akan dapat dituntut dan
kemudian dihukum.
c.
Hukum Adat
Tidak Statis
Hukum adat
adalah suatu hukum yang hidup karena dia menjelmakan perasaan hukum yang nyata
dari rakyat sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam
keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.
Van Vollen
Hoven juga mengungkapkan dalam bukunya “Adatrecht” sebagai berikut :
Hukum adat
pada waktu yang telah lampau agak beda isinya, “hukum adat menunjukkan
perkembangan” selanjutnya dia menambahkan “Hukum adat berkembang dan maju
terus, keputusan-keputusan adat menimbulkan hukum adat”
d.
Unsur-unsur dalam Hukum Adat
·
Unsur Kenyataan
Adat dalam
keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat dan secara berulang-ulang serta
berkesinambungan dan rakyat mentaati serta mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari.
·
Unsur Psikologis
Setelah
hukum adat ini ajeg atau berulang-ulang yang dilakukan selanjutnya terdapat
keyakinan pada masyarakat bahwa adat yang dimaksud mempunyai kekuatan hukum,
dan menimbulkan kewajiban hukum (opinion yuris necessitatis)[10]
e.
Timbulnya Hukum Adat
Hukum adat
lahir dan dipelihara oleh putusan-putusan para warga masyarakat hukum terutama
keputusan kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan hukum itu atau
dalam hal bertentangan keperntingan dan keputusan para hakim mengadili sengketa
sepanjang tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, senafas, seirama,
dengan kesadaran tersebut diterima atau ditoleransi. Ajaran ini dikemukakan
oleh Ter Haar yang dikenal sebagai Teori Keputusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar