A.
Objek
Bahasan Ilmu Fiqh
Dari pengertian Fiqh yang telah dikemukakan pada sebelumnya,
Objek bahasan ilmu fiqh adalah setiap perbuatan mukallaf serta dalil dari
setiap perbuatan tersebut (dalil Tafshili) yang memiliki nilai dan telah
ditetapkan hukumnya. Nilai perbuatan itu bisa berbentuk wajib misalnya dalam
melaksanakan shalat dan puasa, sunnah misalnya bersedekah kepada orang yang
membutuhkan, mubah misalnya melangsungkan berbagai transaksi yang dibolehkan
secara syara’, makruh misalnya menjatuhkan talak tanpa sebab dan haram misalnya
berzina, mencuri, dan membunuh seseorang tanpa sebab yang dibenarkan syara’.
Contoh
sederhana diantaranya : shalat itu wajib dalilnya “ aqimu al-shalah”. jual
beli itu boleh, dalilnya “ahalla Allah Al-bay”. Jadi, melakukan shalat
itu (maksudnya yang lima waktu) adalah wajib, melakukan jual beli itu boleh.”Aqimu
Al-shalah” dan “Ahalla Allah al-bay”disebut dalil tafshili.
Artinya, menunjuk kepada satu perbuatan tertentu, yaitu perbuatan shalat dan
perbuatan jual beli ini menjadi objek pembahasan Fiqh.
Yang menjadi
bidang bahasan ilmu fiqh hanya mencakup hukum yang berkaitan dengan masalah ammaliyah.
Pengetahuan terhadap fiqh bertujuan agar hukum tersebut dapat dilaksanakan para
mukallaf dalam kehidupannya sehari-hari. Sekaligus untuk mengetahui niai dari
perkataan dan perbuatan para mukallaf tersebut.
Seorang ahli fiqh membahas tentang bagaimana seorang mukallaf
melaksanakan Shalat, puasa, naik haji dan lain-lain yang berkaitan dengan fiqh
‘ibadah mahdhah, bagaimana melaksanakan kewajiban-kewajiban rumah
tangganya, apa yang harus dilakukan terhadap harta anggota keluarga yang
meninggal dunia dan sebagainya.yang menjadi objek pembahasan Al-Ahwal Syakhsyiah (hukum keluarga), mereka juga membahas bagaimana cara
melakukan muammalah (hukum perdata), seperti jual beli, sewa-menyewa, patungan
dan lain sebagainya. Maksiat apa saja yang dilarang serta sanksinya apabila
larangan itu dilarang, atau bila kewajiban tidak dilaksanakan oleh seorang
mukallaf dan lain-lain pembahasan yang berkaitan dengan Fiqh Jinayah (hukum
pidana), kelembaga mana saja seorang mukallaf bisa mengadukan masalahnya
apabila dia merasa dirugikan dan atau diperlakukan secara tidak adil, dan lain
sebagainya yang berkaitan dengan Ahkam Al-qadh’a (hukum acara), dan bagaimana
perbuatan mukallaf didalam melakukan hubungan hukum dengan masyarakat,
lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat yang berhubungan dengan Fiqh Siyasah.
B.
Metodologi
Ilmu Fiqh
Metodologi Ilmu Fiqh adalah Ushul Fiqh, oleh karena itu apabila
kita mempelajari fiqh tanpa ushul fiqh tidak akan tahu bagaimana caranya mengeluarkan hukum dari
dalil-dalilnya itu dan bagaimana mengembalikan hukum fiqh kepada sumber
asalnya.
1.
Ushul Fiqh
Objek kajian Ushul Fiqh adalah:
a.
Pembahasan
dalil syara’ secara global
Dalil dalam
bahasa arab adalah sesuatu yang menunjukan hal-hal yang dapat ditanggap secara
indrawi atau secara ma’nawi.
Adapun menurut
istilah para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang dipergunakan sebagai petunjuk
pandangan yang sehat untuk menetapkan hukum syara’ tentang amal perbuatan
manusia secara qath’i (pasti) atau zhanni (dugaan keras).
Dalil syara’
(sumber-sumber hukum) jumlahnya sangat banyak, dari jumlah yang banyak itu ada
sebagian yang telah disepakati oleh para ushul fiqh dan ada pula yang sebagian
yang belum mereka sepakati.
Ada 4 macam
dalil yang berturut-turut adalah sebagai berikut:
·
Al-Qur’an
·
As-Sunnah
·
Al-Ijma’ dan
·
Al-Qiyas
b.
Pembahasan
tentang hukum dalam ilmu ushul fiqh adalah secara umum, tidak dibahas secara
terperinci hukum bagi setiap perbuatan.
c.
Pembahasan
tentang kaidah yang digunakan sebagai jalan untuk memperoleh hukumdari
dalil-dalilnya antara lain mengenai macam-macamnya kehujjahannya dan
hukum-hukum dalam mengamalkannya.
d.
Pembahasan
tentang ijtihad .
Tujuan ushul fiqh adalah mengatur ijtihad dan membimbing
fuqaha dalam upaya mendeduksi hukum dari sumber-sumbernya. Selain itu ushul
fiqh bertujuan untuk membantu fuqaha untuk memperoleh pengetahuan memadai
tentang susmber-sumber syariah dan tentang metode-metode deduksi dan inferensi
fiqh.
Pembagian fiqh menurut objeknya adalah sebagai berikut .
1.
Hukum-hukum
yang mengatur hubungan manusia dengan sang pencipta, seperti shalat, puasa,
haji, zakat, dan lainnya yang disebut sebagai ibadah mahdhah.
2.
Hukum-hukum
yang mengatur pembentukkan dan pembinaan rumah tangga, seperti masalah
perkawinan, talak, rujuk, nafkah, nasab, dan waris yang disebut al-ahwal
asy-syahsiyah.
3.
Hukum-hukum
yang mengatur hubun.gan manusia satu sama lain, baik yang menyangkut harta
kekayaan maupun hak-hak, yang disebut al-mu’amalah
4.
Hukum-hukum
yang mengatur hubungan hakim (penguasa)dan rakyatnya secara timbal balik. Hal
ini disebut oleh sebagian ulama al-ahkam ash-shulthaniyah atau as-siyasah
asy-syar’iyah.
5.
Hukum-hukum
yang mengatur sanksi hukum bagi penjahat (‘uqubah), yakni mengatur
ketertiban dan ketentraman manusia. Tergolong ke dalam kajian Hukum Pidana
Islam atau al-jinayah.
6.
Hukum-hukum
yang mengatur hubungan negara dengan negara, seperti masalah perjanjian,
perdamaian dan peperangan, yang disebut as-Siyar atau as-siyasah ad-dauliyah,
al-huquq ad-dauliyah.
7.
Hukum-hukum
yang mengatur norma-norma (ad-akhlaq), masalah baik buruk dan sebagainya
yang disebut al-adab.
Adapun
objek pembahasan ushul fiqh adalah
segala sesuatu yang berkaitan dengan metode yang digunakan oleh faqih (ahli hukum Islam) di dalam
mengeluarkan hukum dari dalilnya. Jadi, ushul
fiqh membahas dan menjelaskan cara-cara ber-istinbath: Bagaimana caranya menetapkan hukumdari dalil-dalilnya.
Dari
objek pembahasan tersebut, bisa diuraikan lebih jauh seperti diteukan dalam
kitab-kitab ushul fiqh. Oleh karena ushul fiqh berbicara tentang bahgaimana
mengeluarkan hukum, maka di dalam ushul
fiqh dibicarakan tentang hukum baik takrif-nya
maupun pembagiannya, yaitu hukum taklifi
dan hukum wad’i. Hukum taklifi, pada prinsipnya, terdiri dari: al-ijab,
al-nadb, al-tahrim, al-karahah,dan
al-ibadah. Sedangkan yang dibicarakan dalam hukum wad’i terdiri dari:
sebab, syarat, al-mani, syah, syah, dan
bathal. Dan ada pula yang memasukkan dalam bab
ini tentang azimah dan rukhshah.
Bagaimana
caranya hukum itu dikeluarkan dari dalil-dalilnya? Inilah inti dari pembahasan ushul fiqh. Didalam bagian ini, dibahas
tentang dalil-dalil hukum, seperti hal-hal sekitar Al-Qur’an, al-sunnah, Ijma’,
Qiyas, Istihsan, al-Mursalah, al-‘Urf, al-Istishhab, “Syara’ umat sebelum
kita’, mazhab Shahabi, saddu al-dzari’ah,
dan lain sebagainya yang berkaitan dengan dalil-dalil syara.
Adapun
dalam hal yang berkaitan dengan cara mengeluarkann hukum dalil, dibahas tentang
kaidah bahasa:
1.
Tinjauan tentang jelas dan tidak
jelasnya satu kata yang menunjukan kepada maksud tertentu, seperti ada kata
yang dhahir, nash, mufashar, muhkam, dan
adapula yang khafi, musykil, mujmal, dan
mutasyabih.
2.
Tinjauan tentang cara memahami kata-kata
dalam satu nash, apakah dengan
manthuq-nya atau dengan mahfum-nya (dengan tersurat atau yang tersirat).
3.
Tinjauan tentang ruang lingkup satu kata
tertentu, seperti lafal yng ‘am atau
yang khas.
4.
Tinjauan tentang bentuk katanya, seperti ‘amr (perintah), nahyu (larangan).
5.
Dibahas pula kaidah-kaidah atau
prinsip-prinsip yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam memecahkan
masalah-masalah yang tidak ada nash-nya
seperti: maqashid al-syari’ah, hak Allah, dan hak adami. Dan sudah tentu
dibicarakan pula hal-hal sekitar ijtihad dan yang berkaitan dengan ijtihad,
seperti tingkatan-tingkatan mujtahid, tentang taqlid dan ‘ittiba.
6.
Pembahasan di sekitar Hakim, yaitu pembaasan yang menjelaskan
bahwa Allah SWT., sebagai dzat yang menetapkan hukum. Hukum Allah ini
disampaikan melalui Rasulullah SAW.
7.
Pembahasan tentang mahkum fih, yaitu pembahasan sekitar perbuatan mukalaf yang diberi
hukum (perbuatan hukum). Diantaranya dibicarakan tentang syarat sah taklif,
seperti taklif itu harus diketahui oleh mukalaf, harus mungkin dilaksanakan,
dan taklif tersebut harus datang dari yang mempunyai kewenangan mentaklif.
8.
Pembahasan tentang mahkum ‘alayh, yaitu
orang mukalaf yang dibebani hukum. Singkatnya pembahasan tentang subjek hukum.
9.
Pembahasan yang menjelaskan tentang
manusia itu memiliki ahliyah al-wujub, karena kemanusiaannya,
janin sekalipun harus dihormati hak-haknya. Dan pembahsan tentang ahliyah al-ada’, yaitu orang yang
mempunyai kewenangan bertindak hukum tertentu; orang mukalaf mempunyai ahliyah al-ada’ secara penuh. Disamping
itu dibahas pula tentang orang-orang yang ahliyah-nya
kurang, serta hambatan-hambatan ahliyah-nya,
seperti orang gila.
Sepintas
lalu tidak semua sistematika kitab Ushul
Fiqh itu sama, alaupun uraian diatas umumnya menjadi perhatian para ulama
ahli Ushul.
Disamping
itu kecenderungan kuat para ahli Ushul
Fiqh bukan saja memerhatikan cara-cara penarikan hukum dari Al-Qur’an dan
Hadits, juga berusaha agar cara tersebut (thuruq
al-istinbat) bisa dipertanggungjawabkan. Dalam arti cara-cara tersebut
adalah cara berfikir hukum menurut Al-Qur’an dan Hadits. Hal ini dibuktikan
dengan selalu ditunjukkannya ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang ijma, qiyas, istihsan, maslahah, mursalah, dan
lain sebagainya. Sudah tentu tidak semua ulama setuju dengan seluruh dunia
Islam menggunakan Ushul Fiqh dalam
penarikan hukum, setidak-tidaknya sebagian dari Ushul Fiqh. Ulama yang tidak menyetujui Ushul Fiqh pun, apabila
diperhatikan hasil ijtihadnya, secara implisit menggunakan Ushul Fiqh.
Banyak
sekali kitab Ushul Fiqh yang dikarang
oleh ulama-ulama dahulu maupun yang disusun oleh ulama-ulama sekarang
diantaranya:
1.
Al-risalah,
karangan
Imam Syafi’i.
2.
Irsyad
al-Fuhul ila Tahqiqi al-Haqq min ‘Ilm al-Ushul , karangan
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syawkani.
3.
Al-Mushtafa
min ‘Ilm al-Ushul, karangan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
bin Muhammad al-Ghazah.
4.
Al-Muwafaqat
fi Ushul al-Syari’ah, karangan Abu Ishaq al-Syathibi.
5.
Al-Madkhal
ila ‘Ilm Ushul al-Fiqh, karangan Dr. Muhammad Ma’ruf
al-Daulabi
6.
Ushul
al-Fiqh al-Islami, karangan Zaki al-Din Sya’ban.
7.
‘Ilm
Ushul al-Fiqh, karangan ‘Abd al-Wahab Kholaf.
8.
Ushul
al-Fiqh, karangan Muhammad al-Khudlori Byk.
9.
Ushul
al-Fiqh, karangan MuhammadAbu Zarah.
Metodologi ushul fiqh sesungguhnya merujuk kepada metode-metode penalaran
seperti analogi/qiyas, istishan, istishab, dan aturan-atauran penafsiran dan
deduksi.
Kaidah bahasa dan kaidah ushul lainnya, yang biasa digunakan oleh para ulama
di dalam menentukan hukum, patut dipelajari secara saksama.
Di dalam ushul fiqh antara lain ada kaidah bahasa
yang berbunyi:
“Pada
dasarnya bentuk kata nahyu (larangan) itu menunjukkan haram”
Kaidah ini
bisa diterapkan kepada berbagai macam ayat atau hadits yang memakai bentuk kata
larangan, seperti ayat:
“Janganlah kamu mengatakan ‘ah’ pada ibu
bapakmu”. (al-Isra ayat 32)
“Janganlah kamu mendekati zina”. (al-Isra ayat 32)
Kedua ayat
tersebut meunjukkkan haramnya membantah dan haramnya mendekati zina.
Kaidah
diatas bersifat umum , namun ada kekecualiannya, yaitu apabila bentuk kata
larangan tadi mengandung qarinah (tanda)
yang menyimpangkan haram pada maksud yang lain. Seperti dalam ayat:
“Wahai Tuhan kami janganlah Engkau siksa kami
bila kami terlupa dan tersalah”.
(al-Baqoroh ayat 286)
Dalam ayat
ini, tidak berarti Allah melarang memberikan hukuman, tetapi berarti do’a, karena
berupa permohonan dari yang lebih rendah (manusia) kepada yang Maha Tinggi
(Allah SWT).
Kaidah lain:
“Pada pokoknya sesuatu perkataan diartikan dengan arti
yang sesungguhnya (hakikatnya).”
Contoh:
Seseorang
memberikan hibah kepada anaknya, padahal dia juga mempunyai cucu dan menantu.
Maka cucu dan menantu tadi tidak termasuk yang berhak terhadap hibah tersebut.
Sebab lafal anak pada hakikatnya tidak termasuk cucu dan menantu.
Apabila
tidak bisa diartikan dengan arti yang sesungguhnya, bisa bergeser kepada arti
kiasan, sesuai dengan kaidah:
“Apabila sulit diartikan dengan arti
yang sesungguhnya, maka sesuatu nash harus diartikan dengan arti kiasan.”
“Istri-istrimu adalah pakaian bagimu
(bagi para suami) dan kamu (para suami) adalah pakaian bagi istri-istrimu.”
(al-Baqarah ayat 187)
Dalam ayat
tersebut bukan mengandung arti yang sesungguhnya (hakikatnya), tetapi diartikan
dengan “antara suami-istriharus bergaul dengan baik dan saling menjaga
kehormatannya”.
Ada kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
“Hukum itu selalu mengikuti illat hukum. Ada dan tidak
adanya hukum tergantung kepada ada dan tidak adanya illat hukum.”
Seperti
khamar itu haram karena memabukkan. Dalam hal ini, jadi illat hukum adalah
memabukkan. Maka setiap minuman
memabukkan adalah haram.
Dalam ushul fiqh sering satu masalah bisa
didekati dengan berbagai cara. Untuk memilih mana yang paling tepat diantara
cara-cara tersebut dalam memecahkan satu kasus tertentu sangat tergantung
kepada kecermatan dan pengamatan yang tajam dari seorang mujtahid terhadap
masalah tersebut dan kepada seni berijtihad. Agar hasil ijtihadnya tidak hanya
benar dan akurat, tetapi juga baik dan indah, memiliki kearifan yang tinggi.
Oleh karena itu, para mujtahid selalu melakukan shalat istikharah sebelum memberikan fatwanya, sebagai usaha
terakhir di dalam proses ijtihad.
Dengan
demikian dalam proses ijtihad itu segala potensi insani seorang mujtahid
dikerahkan untuk meraih sebanyak mungkin nilai-nilai samawi. Sebab pada
akhirnya ijtihad yang paling mendekati kepada kebenaran, kebaikan, keindahan,
dan kearifan adalah yang paling banyak meraih nilai-nilaiuluhiyah.
C.
Tujuan
Ilmu Fiqh
Asy-Syatibi
(wafat 790) mengatakan bahwa tujuan syariat islam atau fiqh atau hukum islam
adalah mencapai kemaslahatan hamba, baik di dunia maupun di akhirat.
Kemaslahatan tersebut didasarkan pada lima hal mendasar yaitu: memelihara agama
(hifzh ad-din), memelihara jiwa (hifzh an-nafs), memelihara akal
(hifzh al-‘aql), memelihara keturunan (hifzh an-nasl) dan
memelihara kekayaan (hifzh al-mal).
Pengertian
“memelihara” mempunyai dua aspek yang mendasar, yaitu sebagaai berikut:
1.
Aspek yang
menguatkan unsur-unsurnya dan mengokohkan landasannya yang disebut hifzh
ad-din min janib al-wujud,seperti keimanan mengucapkan dua kalimah
syahadah, shalat, zakat, puasa dan ibadah haji; hifzh an-nafs min janib
al-wujud dan hifzh al-‘aql min janib al-wujud seperti makanan,
pakaian dan tempat tinggal; hifzh an-nasl min janib al-wujud seperti aturan-aturan tentang pernikahan;dan hifzh
al-mal min janib al-wujud, seperti kewajiban mencari rezeki yang halal dan
aturan-aturan dalam bidang muamalah.
2.
Aspek-aspek
yang mengantisipasi agar kelima hal tersebut tidak terganggu dan terjaga baik.
Aspek ini disebut dengan hifzh ad-din min janib al-wujud,seperti adanya
hukum pidana (jinayah). Dengan adanya aturan jinayah, setiap pelaku
kejahatan akan diadili dan mendapatkan sanksi hukum dengan adil. Demikan pula,
kaitannya dengan pemeliharaan diri, pemeliharaan akal, pemeliharaan keturunan,
dan pemeliharaan harta kekayaan. Tujuan hukum islam dari aspek syar’i tersebut
diatas tidak terlepas dari cita-cita untuk memperoleh keridhoan Allah SWT.
Semua hukum islam dapat ditinjau dari;
a.
Kemaslahatan
karena sesuai dengan petunjuk umum hukum islam. Meskipun tidak terdapat nash
yang secara langsung dapat dijadikan dalil, jika hal itu diperjuangkan
keberadaannya akan maemberikan rasa aman dan damai bagi kehidupan manusia.
b.
Melihat sifat
yang sesuai dengan tujuan syara yang mengharuskan adanya ketentuan hukum agar
tercipta suatu kemaslahatan.
c.
Melihat proses
penetapan hukum terhadap suatu
kemaslahatan yang ditunjukan oleh dalil khusus. Maksudnya adalah kemaslahatan
yang diciptakan dan diakui legalitasnya oleh salah satu tujuan syara’.
Selain itu ada
aturan-aturan yang bersifat hajiyaat yaitu yang bersifat keringanan, aturan ini
bertujuan agar hidup ini tidak dirasakan sempit dan sulit, tetapi memiliki
keluasan dan fleksibilitas. Contohnya aturan-aturan yang berkaitan dengan
aturan rukhshah, boleh jama’ dan qashar bagi yang berpergian, boleh melakukan
indent atau bay’ al-salm dalam mu’amalah, adanya aturan membayar diyat bagi
orang yang dimaafkan oleh wali hakim didalam pernikahan dan aturan-turan
lainnya.
Dan ada aturan-aturan yang tahsiniyaat yaitu
aturan-aturan yang membawa kepada keindahan di dalam hidup. Aturan-aturan
ini terkait erat dengan sikap dan
tingkah laku yang terpuji, mendorong manusia untuk berakhlak al-karimah dan
menjauhkannya dari al-Akhlaq al-madzmumah
(sikap dan tingkah laku yang tercela). Contoh aturan Tahsiniyaat ini adalah
aturan-aturan yang berkaitan dengan thaharah dan ibadah-ibadah sunnah dalam
ibadah mahdhah; manutup aurat;, sopan santun dalam cara makan, minum,
berpakaian,. Larangan membunuh anak-anak, para wanita, dan pendeta didalam
peperangan.
Dari maqashidu syari’ah
tersebut jelas bahwa fungsi Hukum Islam adalah :
1.
Mengarahkan kehidupan manusia kepada
al-maqashid al-khamsah, dalam arti yang seluas-luasnya. Jadi yang termasuk
kepada Hifdz al-Din ialah segala
usaha dam pengaturan yang mengarah kepada terlaksananya hubungan manusia dengan
Tuhan dengan cara yang lebih khusyu dan pengembangan sarana-sarana keagamaan
untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Termasuk kepada Hifdz al-Nafs, pembangunan nilai-nilai
spiritual manusia. Termasuk kepada Hifdz
Nasl, usaha-usaha yang mengarah kepada terbentuknya generasi mendatang yang
lebih baik. Termasuk Hifdz al-Mal,
menyejahterakan kehidupan materiil seluruh manusia, termasuk kebutuhan
dasarnya, Hifdz al-Aql mendewasakan manusia di dalam berfikir, bersikap, dan
beremosi. Semua ini mengarah kepada terciptanya masyarakat manusia yang
sejahtera lahir-batin, stabil, dinamis, dan diwarnai oleh al-Akhlak al-karimah
yang indah.
2.
Mengontrol kehidupan masyarakat dengan
aturan-aturan terperinci yang telah ditegaskan oleh Al-Qur’an dan Hadits atau
hasil ijtihad para ulama.
Lima tujuan syariat (maqasid
asy-syari’ah) yang telah dikemukakan tersebut bertitik tolak dari dalil
Al-Quran dan As-Sunnah. Dalil tersebut secara fungsional merupakan qawa’id
kulliyah dalam menetapkan kulliyah Al-khams. Oleh karena itu, dalil
yang digunakan diambil dari ayat-ayat makkiyah yang tidak ada yang manshuk, diperkuat oleh dalil-dalil yang
diambil dari ayat-ayat Madaniyah. Lima tujuan syariat tersebut
difokuskan menjadi tiga kebutuhan berdasarkan skala perioritasnya masing-masing
yaitu;
1.
Kebutuhan dharuriyah;
2.
Kebutuhan hajjiah;
dan
3.
Kebutuhan tahsiniyah;
Kebutuhan
dharuriyah artinya kebutuhan utama yang menjadi skala perioritas yang
paling esensial kelima tujuan syariat itu sendiri. Adapun kebutuhan hajjiah
bukan merupakan kebutuhan esensial melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan
manusia dari kesulitan hidup.apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi tidak akan
mengancam terganggunya kebutuhan pokok tersebut, tetapi hanya menimbulkan
kesulitan bagi mukallaf. Akan tetapi, karena mukallaf tidak
sanggup memenuhi kebutuhan hajjiah-nya, dalam hukum islam ada keringanan
yang disebut denga rukhsah. Adapun kebutuhan tahsiniyah adalah
kebutuhan yang menunjang peningkatan taraf hidup manusia dan martabatnya di
mata Allah SWT, sesuai dengan ketaatannya. Aturan yang bersifat dharuriyah
dimaksudkan untuk menegakkan kehidupan manusia di dunia dandi akhirat.
Kebutuhan hajjiyah ditunjukan untuk menghilangkan kesulitan di dalam
pelaksanaannya karena hukum islam tidak menghendaki kesulitan yang tidak wajar.
Hukum islam tidak menghendaki kesempitan pada manusia yang pada hakikatnya
sebagai makhluk yang lemah (al-ihsan dha’ifun). Hukum islam yang
berkaitan dengan kebutuhan tahsiniyah ditunjukan untuk mengendalikan
kehidupan manusia agar selalu harmonis, serasi, dan penuh dengan nilai-nilai
estetika. Dengan demikian, terjaminlah manusia oleh perilaku atau akhlaknya
yang terpuji. Kehidupan masyarakat pun terasa lebih damai dan sejahtera.
Memelihara
umat atau hifzh al-ummah min janib al-wujud merupakan tujuan syariat
islam yang berhubungan dengan memelihara jiwa, tetapi cenderung pada
kepentingan politis. Dalam hubungannya dengan antar-umat, yang dilihat bukan
kemaslahatan muslim secara individu atau keluarga, melainkan kemaslahatan
muslim secara kelompok. Al-quran tidak hanya melihat seorang muslim, melainkan
sebagai umat, sebagaimana disebutkan dalam surat Ali ‘Imran ayat 110:Yang
artinya:
”kamu
(umat islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu)
menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik”.
( QS. Ali Imran:110)
Fungsi Hukum Islam
adalah :
1.
Mengarahkan kehidupan manusia
kepada al-maqashid al-khamsah, dalam arti yang seluas-luasnya. Jadi yang
termasuk kepada Hifdz al-Din ialah
segala usaha dam pengaturan yang mengarah kepada terlaksananya hubungan manusia
dengan Tuhan dengan cara yang lebih khusyu dan pengembangan sarana-sarana
keagamaan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Termasuk kepada Hifdz al-Nafs, pembangunan nilai-nilai
spiritual manusia. Termasuk kepada Hifdz
Nasl, usaha-usaha yang mengarah kepada terbentuknya generasi mendatang yang
lebih baik. Termasuk Hifdz al-Mal,
menyejahterakan kehidupan materiil seluruh manusia, termasuk kebutuhan
dasarnya, Hifdz al-Aql mendewasakan manusia di dalam berfikir, bersikap, dan
beremosi. Semua ini mengarah kepada terciptanya masyarakat manusia yang
sejahtera lahir-batin, stabil, dinamis, dan diwarnai oleh al-Akhlak al-karimah
yang indah.
2.
Mengontrol kehidupan masyarakat
dengan aturan-aturan terperinci yang telah ditegaskan oleh Al-Qur’an dan Hadits
atau hasil ijtihad para ulama.
Menurut
hemat Prof. H. A.
Djazuli, dalam buku Ilmu Fiqh hal 27,
bahwa perlunya hifdzu al-umah sebagai
salah satu maqosidu syari’ah. Baik
umat dalam arti luas yaitu seluruh makhluk Allah, umat dalam arti umat manusia,
umat dalam arti komunitas tertentu bukan individu, yang juga banyak disebut
dalam al-qur’an dan hadits nabi. Disini letaknya fiqh siyasah dusturiah (tata Negara), dauliyah (hokum inernasional) dan maliyah (kebijakan-kebijakan ekonomi)
dan aspek-aspek yang mendukungnya, seperti limgkungan hidup, kelautan,
kehutanan dan lainnya baik yang bersifat
min janib al-wujud (menjaga
eksistensinya dan mengembangkannya) maupun min
janib al’adam (menghilangkan hambatan-hambatan dan gangguan-gangguannya).
Untuk
terlaksananya semua itu, terdapat pengaturan tersendiri dan prinsip-prinsipnya
ditentukan, yaitu pengaturan yang mengatur hubungan hukum antara pimpinan dan
yang dipimpinnya dan antara lembaga-lembaga yang ada di dalam mayarakat dengan
masyarakatnya.
Prinsip-prinsip
itu antara lain, prinsip musyawarah, persaudaraan sesama manusia dan sesama
muslim, tanggung jawab para pemimpin dan ketaatan yang dipimpin,
perjanjian-perjanjian antarlembaga dan antarnegara, keadilan social, keadaan
perang dan damai, dan lain sebagainya. Pengaturan semacam ini belum banyak
mendapat perhatian kita, meskipun para Fuqaha zaman dahulu sudah merintisnya.
D.
Kegunaan
Mempelajari Ilmu Fiqh
Kegunaan ilmu ushul fiqh adalah sebagai berikut :
1)
Mengetahui kaidah dan cara yang digunakan mujtahid dalam memperoleh hukum
melalui metode ijtihad yang mereka susun.
2)
Memberikan gambaran mengenai syarat- syarat yang harus dimiliki mujtahid,
sehingga dengan tepat ia dapat menggali hukum-hukum syara dari nash. Disamping
itu, bagi masyarakat awam, melalui ushul fiqh mereka dapat mengerti bagaimana
para mujtahid menetapkan hukum sehingga dengan mantap mereka dapat mempedomani
dan mengamalkannya.
3)
Menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan para mujtahid,
sehingga berbagai persoalan baru yang secara lahir belum ada dalam nash; dan
belum ada ketetapan hukumnya di kalangan ulama terdahulu dapat ditentukan
hukumnya.
4)
Memelihara agama dari penyalahgunaan dalil yang mungkin terjadi. Dalam
ushul fiqh, sekalipun suatu hukum diperoleh melalui hasil ijtihad, statusnya
tetap diakui Syara’. Melalui ushul fiqh, dapat diketahui mana sumber Hukum
Islam yang asli yang harus dipedomani dan mana yang merupakan sumber Hukum
Islam yang bersifat sekunder yang berfungsi untuk mengembangkan syari’at sesuai
dengan kebutuhan masyarakat Islam.
5)
Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan guna menetapkan hukum
dari berbagai persoalan sosial yang terus berkembang.
6)
Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang
digunakan dalam berijtihad, sehingga dapat dilakukan tarjih salah satunya
dengan mengemukakan alasannya.
Kegunaan
mempelajari ilmu fiqh sama pentingnya dengan kegunaan mempelajari ushul fiqh adalah untuk mengetahui hokum
dengan jalan yakin dan pasti atau dengan jalan dzan yaitu perkiraan yang lebih kuat pada kebenaran. Di samping
itu, mempelajari ushul fiqh juga sangat berguna untuk
menghindarkan diri dari mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui
alaan-alasannya. Dengan kata lain untuk menghindarkan diri dari taklid.
Adapun
mempelajari kaidah fiqh berguna untuk menentukan sikap dan kearifan dalam menarik
kesimpulan serta menerapkan aturan-aturan fiqh terhadap kenyataan-kenyataan
yang ada, sehingga tidak menimbulkan akses yang tidak perlu karena diperhatika
skala prioritas penerapannya. Tidak bersikap ifrath yaitu lebih dari batas dan tidak pula bersikap tafrith yaitu kurang dari batas.
Selanjutnya
kegunaan mempelajari ilmu fiqh, bisa dirumuskan sebagai berikut:
1. Mempelajari
ilmu fiqh berguna dalam memberi pemahaman tentang berbagai aturan secara
mendalam.
Dengan mengetahui ilmu fiqh kita akan
tahu aturan-aturan secara rinci mengenai kewajiban dan tanggung jawab manusia
terhadap Tuhannya, hak dan kewajibannya dalam rumah tangga dan hak serta
kewajibannya dalam hidup bermasyarakat. Kita akan tahu cara-cara bersuci,
cara-cara shalat, zakat, puasa, haji, meminang, nikah, talak, ruju, pembagian
warisan, jual beli, sewa menyewa, hokum-hukum bagi orang yang melanggar
ketentuan ajaran islam, aturan-aturan di pengadilan, aturan-aturan
kepemimpinan, dan lain sebagainya.
2. Mempelajari
ilmu fiqh berguna sebagai patokan untuk bersikap dalam menjalani hidup dan
kehidupan.
Dengan mengetahui ilmu
fiqh, kita akan tahu mana perbuatan-perbuatan yang wajib, sunat, mubah, makruh
dan haram, mana perbuatan-perbuatan yang sah dan mana yang batal. Singkatnya,
dengan mengetahui dan memahami ilmu fiqh kita berusaha untuk bersikap dan
bertingkah laku menuju kepada yang diridhoi Allah SWT., karena tujuan akhir
ilmu fiqh adalah untuk mencapai keridhaan Allah dengan melaksanakan
Syariat-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar