A.
Pengertian
Syari’ah
Karena fiqih itu berkaitan erat dengan syari’ah atau bahkan
syari’ah itu merupakan induk fiqih, maka sebelumnya membicarakan pengertian
fiqih terlebih dahulu dijelaskna secara sederhana arti syari’ah itu.[1]
Secara leksikal syari’ah berarti “ jalan ketempat pengairan
“ atau ‘ jalan yang harus diikuti “, atau ‘ tempat lalu disungai “. Arti
terakhir ini digunakan orang Arab sampai sekarang untuk maksud kata syari’ah.
Kata “syari’ah” atau dengan yang seakar dengan itu muncul beberapa
kali dalam al-Qur’an seperti dalam:
a.
Surat al-Maidah
ayat 48:
“ dia telah mensyariatkan beagimu tentang
agama, apa yang telah diwasiatkan pada nuh….”
Dari ayat al-Quran
tersebut diatas “agama” ditetapkan Allah untuk manusia yang disebut “syari’at”
dari arti lughawi, karena umat Islam selalu melaluinya yang dihidupinya di
dunia. Kesamaan syari’at Islam dengan jalan air adalah dari segi bahwa siapa
yang mengikuti syari’ah itu ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah
menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagaimana
dia menjadikan syari’ah sebagai penyebab kehidupan jiwa manusia.
Diantara
pakar-pakar Hukm Islam memberikan definisi kepada syari’ah itu dengan “segala
titah allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar yang mengenai
akhlak”. Dengan demikian syari’ah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang
bersifat amaliah.
Walaupun pada
mulanya syari’ah itu diartikan “agama” sebagaimana disinggung Allah dalam surat
al-Syura ayat 13, kemudian dikhususkan
penggunannya untuk hukum alamiah. Pengkhususan ini dimaksudkan karena syari’ah
berlaku untuk masing-masing umat yang mumgkin berbeda dengan umat sebelumnya.
Dengan demikian pengertian “syariah” lebihh khusus dari pada agama. Syariah’ah
adalah hukum alamiah yang berbeda menurut perbedaan rasul yang membawanya dan
setiap yang datang kemudian memperbaiki dan meluruskan syari’at yang lalu
karena generasinya sudah berbeda, situasi dan kondisi umat yang mengamalkan
juga sudah berbeda, sedangkan dasar agama yaitu tauhid hanya satu yang bersifat
universal dan tidak terpengaruh pada waktu dan tempat.
Diantara ulama ada
yang mengkhususkan lagi penggunaan kata syari’ah itu dengan “apa yang
bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan perkara pada mahkamah dan tidak
mencakup kepada halal dan haram. Seorang ulama bernama Qatadah menurut yang
diriwayatkan oleh al-thabari, ahli tafsir dan sejarah, manggunakan kata
syari’ah kepada hal yang menyangkut kewajiban, hak, perintah dan larangan;
tidak termasuk di dalamnya aqidah, hikmah dan ibarat yang tercakup dalam agama.
Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang
ditetapkan Allah bagi hambanya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan
hubungannya dengan sesama manusia dan alam sekitarnnya”. Dr.Farouk Abu Zeid
menjelaskan bahwa syari’ah ialah “ apa-apa yang ditetapkan Allah melalui lisan
Nabi-nya. Allah adalah pembuat syari’ah yeng menyangkut kehidupan agama dan
kehidupan dunia”.
B.
Kaidah Syari’ah
Kaidah syari’ah adalah maa Yatimmul waajib illa bihi
fahuwa wajib” (Semua yg menjadi penyebab kewajiban dengannya maka hukumnya
wajib).
Maksudnya adalah contoh saja bila
sebagaimana kita ketahui bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya wajib, dan
membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat kita akan melakukan shalat
kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus membeli dulu, maka
membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu dipakai untuk
melaksanakan shalat yg wajib .Contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak,
dan membuat kantong baju hukumnya mubah saja, lalu saat akan bepergian kita
akan membawa siwak dan baju kita tak berkantong, maka perlulah bagi kita
membuat kantong baju untuk menaruh siwak, maka membuat kantong baju di pakaian
kita menjadi sunnah hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh siwak yg hukumnya
sunnah.
Sebagaimana penulisan al-Qur’an yg
merupakan hal yg tak perlu dizaman Nabi saw, namun menjadi sunnah hukumnya di
masa para sahabat karena sahabat mulai banyak yg membutuhkan penjelasan al-Qur’an,
dan menjadi wajib hukumnya setelah banyaknya para sahabat yg wafat, karena
ditakutkan sirnanya al-Qur’an dari ummat, walaupun Allah telah menjelaskan
bahwa al-Qur’an telah dijaga oleh Allah.
Hal semacam ini telah difahami dan
dijelaskan oleh para khulafa’urrasyidin, sahabat radhiyallahu’anhum, Imam dan
Muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang muslimin yg awam, namun hanya
sebagian saudara saudara kita muslimin yg masih bersikeras untuk menentangnya,
semoga Allah memberi mereka keluasan hati dan kejernihan, Karena perlu
kejernihan hati untuk menerangkan fiqih dan syariah.
C.
Pengertian Fiqh
Di dalam
al-Quran tidak kurang dari 19 ayat yang berkaitan dengan kata Fiqh dan semuanya
dalam bentuk kata kerja, seperti di dalam surat at-Tawbah ayat 122.
“tidak sepatutnya bagi
mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya”.
Dari ayat ini, dapat ditarik satu
pengertian bahwa Fiqh itu berarti mengetahui, memahami, dan mendalami
ajaran-ajaran agama secara keseluruhan. Jadi pengertian Fiqh dalam arti yang
sangat luas sama dengan pengertian
syari’ah dalam arti yang sangat luas. Inilah pengertian Fiqh pada masa sahabat
atau pada abad pertama Islam.
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa :
“Pada permulaan Islam orang-orang yang ahli di dalam agama yang selalu
mengembalikan persoalan kepada al-Quran, tahu tentang nasikh dan mansukh, tahu
tentang ayat-ayat yang mutasyabih dan muhkamah serta tahu tentang
pemahaman-pemahaman yang mereka dapatkan dari Rasullah saw. disebut dengan
al-qurra. Mereka disebut al-qurra karena mereka membaca Al-Quran dan masih
jarang pada masa itu orang yang dapat membaca”.
Dalam perkembangan selanjutnya,
yakni setelah daerah Islam meluas dan setelah cara istinbath menjadi mapan
serta Fiqh menjadi satu ilmu yang tersendiri, maka Fiqh diartikan dengan
“Sekumpulan hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan yang diketahui
melalui dalil-dalilnya yang terperinci dan dihasilkan dengan jalan ijtihad”. [2]Atau
lebih jelas lagi seperti yang dikemukakan oleh al-Jurjani berikut ini:
“Fiqh
menurut bahasa berarti paham terhadap tujuan seseorang pembicara. Menurut
istilah: Fiqh ialah mengetahui hukum-hukum syara yang amaliah (mengenai
perbuatan, perilaku) dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci. Fiqh adalah
ilmu yang dihasilkan oleh pikiran serta ijtihad (penelitian) dan memerlukan
wawasan serta perenungan. Oleh sebab itu Allah tidak bisa disebut sebagai
“Faqih” (ahli dalam Fiqh), karena bagi-Nya tidak ada sesuatu yang tidak jelas”.
Pada masa ini
orang yang ahli di dalam Fiqh disebut sebagai Faqih atau dengan menggunakan
bentuk jama’ yaitu Fuqaha. Fuqaha ini termasuk dalam kategori ulama, meskipun
tidak setiap ulama adalah Fuqaha. Ilmu Fiqh disebut pula dengan ilmu furu, ilmu
alhal, ilmu halal wa al-haram, syara’i wa al-ahkam.
Seperti halnya
dalam ilmu-ilmu lain, dalam disiplin ilmu fiqh-pun, Fuqaha sering berbeda di
dalam menakrifkan (mendefinisikan) ilmu Fiqh. Di samping definisi dari
al-Jurjani penulis sebutkan di atas. Seperti diketahui al-Jurjani menganut
mazhab Hanafi masih ada definisi lain dari mazhabi Hanafi, di mana Fiqh
diartikan dengan “Ilmu yang menerangkan
segala hak dan kewajiban”. Definisi ini menunjukkan defini Fiqh dalam arti yang
sangat luas, termasuk di dalamnya masalah-masalah yang berkaitan dengan akidah
yang dikalangan mazhabi Hanafi disebut dengan Fiqh Akbar.[3]
Al-Ghazali dari
mazhab Syafi’i mendefinisikan Fiqh dengan “Faqih itu mengetahui dan memahami,
akan tetapi dalam tradisi para ulama, Faqih diartikan dengan suatu ilmu tentang
hukum-hukum syara’ yang tertentu bagi perbuatan para mukalaf seperti wajib,
haram, mubah (kebolehan), sunnah, makruh, sah, fasid, batal, qodla, ada’an dan
yang sejenisnya”.
Jelas bahwa
pengertian Faqih itu berkembang. Mula-mula Faqih meliputi keseluruhan ajaran
agama, kemudian Faqih diartikan dengan ilmu tentang perbuatan mukalaf, sehingga
tidak termasuk ilmu kalam dan ilmu tasawuf, dan terakhir Faqih dipersempit
lagi, yaitu khusus hasil ijtihad para mujtahid.
Definisi Fiqh
yang dikemukakan di atas, hanya sekedar contoh. Sudah tentu masih banyak
definisi-definisi yang lain. Para ulama berbeda di dalam menakrifkan Fiqh
karena berbeda di dalam memahami ruang lingkup Fiqh dan dari sisi mana mereka
melihat Fiqh. Walaupun demikian, tampaknya ada kecenderungan bersama bahwa Fiqh
adalah satu sistem hukum yang sangat erat kaitannya dengan agama Islam.
D.
Kaidah Fiqh
Materi Fiqh itu banyak sekali, dan dari materi-materi yang banyak
itu ada hal-hal yang serupa, kemudian diikat dalam satu ikatan. Ikatan inilah
yang menjadi kaidah fiqh. Oleh karena itu Abu Zahrah menta’rifkan kaidah fiqh
dengan, “Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu qiyas yang
mengumpulkannya, atau kembali kepada prinsip fiqh yang mengikatnya.
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy memberikan pengertian kaidah kulliyah
fiqhiyah dengan; “Kaidah-kaidah kulliyah itu tiada lain daripada
prinsip-prinsip umum yang melengkapi kebanyakan juz’iyyah-nya”.
“Kaidah fiqhiyah itu mencakup rahasia-rahasia syara dan
hikmah-hikmahnya yang dengannya seluruh furu’ dapat diikat, dan dapat diketahui
hukum-hukumnya serta dapat diselami maksudnya”.
Jadi, kaidah-kaidah fiqh itu mengklasifikasikan masalah-masalah
furu’ (fiqh) menjadi beberapa kelompok, dan tiap-tiap kelompok itu merupakan
kumpulan-kumpulan dari masalah-masalah yang serupa.
Sebagai contohl, ada kaidah fiqh yang berbunyi,
مَا لاَيُدْرَكُ كُلُهُ يُتْرَكُ
كُلُهُ
“Apa
yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya (dengan sempurna) jangan ditinggalkan
seluruhnya”.
Maksudnya apabila melaksanakan sesuatu yang lebih baik dan tidak
sanggup melaksanakannya secara keseluruhan dengan sempurna, maka sesuatu yang
baik itu harus tetap dilaksanakan sesuai dengan kemampuan yang ada.
Kaidah ini berlaku bagi berbagai macam materi fiqh di dalam
berbagai bidang fiqh. Misalnya di dalam fiqh ibadah: Apabila tidak mampu shalat
wajib sambil berdiri, shalatlah sambil duduk, apabila tidak mampu sambil duduk,
shalatlah sambil berbaring. Di dalam bidang
mu’amalah: Apabila tidak ada saksi yang adil, pakailah saksi meskipun
dinilai kurang keadilannya. Di dalam bidang jinayah (hukum pidana Islam)
apabila terhadap pembunuh tidak bisa dilaksanakan hukuman mati (karena dimaafkan
oleh wali terbunuh misalnya) maka dijatuhkan kepadanya hukuman diat, apabila
diatnya dimaafkan, dikenakan kepadanya hukuman ta’zir (hukuman yang ditentukan
oleh ulil amri baik macamnya maupun jumlahnya). Di dalam fiqh siyasah: Apabila
tidak menyampaikan seluruh ajaran Islam, sampaikanlah meskipun satu ayat; Apila
sulit mencari pemimpin yang memenuhi kriteria, maka angkatlah pemimpin meskipun
kurang memenuhi kriterianya. Sudah tentu masih banyak lagi contoh-contoh lain
yang termasuk ke dalam ruang lingkup kaidah fiqh.
E.
Pengertian
Ushul Fiqh
Ushul Fiqh Ushul fiqh berasal dari dua kata, yaitu ushul bentuk
jamak dari ashl dan kata fiqh, yang masing-masing memilki arti pengertian yang
luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang
bersifat materi maupun bukan”. Adapun menurut istilah, ashl mempunyai beberapa
arti berikut:
1)
Dalil, yakni
sebagai landasan hukum. Seperti pernyataan para ulama Ushul Fiqh bahwa ashl
dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah dan sunnah Rasul.
2) Qa’idah, yakni dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi
Muhammad saw. : نبى الاسلام على خمسة أصول
Artinya: “Islam
itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).”
3) Rajih, yaitu yang terkuat. Seperti dalam ungkapan para ahli ushul
fiqh: الأصل فى الكلام
الحقيقة
Artinya: “Yang
terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya.” Maksudnya yang
menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan
tersebut.
4) Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul: الولدفرع للأب
Artinya: “Anak
adalah cabang dari ayah.” Menurut Al-Baidhawi berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan ushul fiqh yaitu : معرفة
دلائل الفقه اجمالا وكيفية الإستفادة منهاوحال المستفد Artinya: “Ilmu pengetahuan tentang
dalil fiqh secara global, metode penggunaan dalil tersebut, dan keadaan
(persyaratan) orang yang menggunakannya.” Dari beberapa pengertian dapat
disimpulkan bahwa Ushul Fiqh adalah ilmu yang mempelajari tentang
aturan-aturan, pedomam-pedoman serta objek-objek dalil hukum syara’ secara
global dengan seluk beluknya yang akan menyampaikan kita kepada hokum
F.
Kaidah Ushul
Fiqh
Sesungguh secara rinci materi fiqh
itu kembali kepada raturan kaidah fiqh, namun yang penting diketahui ada lima
kaidah fiqh yang dianggap oleh sebagian ulama menjadi dasar dan prinsip umum
dari seluruh materi fiqh.
Kelima kaidah itu adalah :
1.
اَاْلاُ مُوْر مَقَا صِدهَا
“Setiap perkara itu menurut maksudnya”.
Dalam Fiqh Jinayah ada perbuatan
yang sengaja dan ada pula yang tidak disengaja, misalnya pembunuhan, pelukaan,
atau pemukulan. Perbuatan sengaja adalah perbuatan yang dilakukan dengan niat.
Sedangkan yang tidak disengaja tidak ada niat. Dalam fiqh Muamalah, setiap akad
yang diucapkan dengan kata-kata kinayah (kiasan), maka keabsahannya
dikemabalikan kepada niat, yaitu apa yang dimaksud atau diniatkan oleh si
pelaku tersebut. Bahkan sering juga diucapkan dengan tegas, tetapi maksudnya
lain. Seperti : “Saya pinjamkan barang ini kepadamu selama sebulan dengan
bayaran sekian”. Dalam hal ini meskipun diucapkan pinjaman, tetapi karena ada
bayaran, maka yang dimaksud mestilah sewa-menyewa. Oleh karena itu, timbul
kaidah lain yang berbunyi :
ااَلْعِبْرةُ
فِى العُقُودِ لِلْمَقَا صِدِ وَاْلمَعَا نِى لاَ لَللأَ لَفَا ظِ
“Yang dipegangi di dalam aqad adalah
maksud dan pengertian-annya, bukan ucapan dan bentuk perkataannya”.
Kaidah fiqh yang pertama ini
mempunyai dasar antara lain dari Hadits umar;
اِنَمَا
اَعْمَلُ بِا لِنّيَاتِ وَاِنَّمَالِكُلٍ امْرٍ ئٍ مَانَوَى
Segala amal perbuatan itu semata-semata menurut niatnya dan bagi
setiap manusia itu sesuai dengan apa yang ia niatkan (Rawahu Jamaah)
Kaidah-kaidah cabang yang dapat ditarik dari kaidah pokok ini
antara lain:
a.
لاثواب الاّ بالنّية:
“Tidak ada pahala kecuali dengan niat
(terhadap perbuatan yang diperbuat itu)".
b.
ما يشترط فيه التّعيين فالخطأ فيه مبطل
Dalam amal yang disyaratkan menyatakan niat, maka kekeliruan
pernyataannya membatalkanamalnya.
c.
مايشترط التعرّض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلا اذا عيّنه
وأخطأ ضرّ
Perbuatan yang secara keseluruhan diharuskan niat
tetapi secara terperinci tidak diharuskan menyatakan niatnya, maka bila
dinyataka niatnya dan ternyata keliru, maka berbahaya.
d.
مالا يشترط التعرّض له جملة ولاتفصيلا اذا عيّنه وأخطأ لم يضرّ
Perbuatan yang secara keseluruhan, maupun secara terperinci tidak
disyaratkan mengemukakan niat, bila dinyatakannya dan ternyata keliru, maka
tidak berbahaya.
e.
مقاصد اللفظ على
نيّة اللا فظ
Maksud
lafazh itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya.
2.
اَلْيَقِينُ لاَيُزَال بِا
لشَّكّ ِ
“Keyakinan
tidak bisa dihilangkan oleh keraguan”
Contohnya
: Apabila ia yakin telah berwudhu, kemudoan sesudah lama datang keraguan apakah
sudah batal atau belum, maka ia tetap dalam keadaan suci. Juga sebaliknya:
Apabila dia yakin belum wudhu sebelumnya, sesudah lama timbul keraguan apakah
sudah wudhu atau belum, maka ia tetap dalam keadaan berhadats.
Di
bidang muamalah : Apabila ada bukti kuitansi seseorang berutang, kemudian timbul
perselisihan tentang sudah bayar menurut yang berutang dan belum bayar menurut
yang mengutangkan, maka yang dipegang perkataan yang mengutangkan, sebab yang
meyakinkan adanya utang dengan bukti tadi.
Di bidang jinayah : Apabila dihadapkan seorang tersangka ke hadapan
hakim, kemudian bukti-bukti tidak cukup sehingga meragukan apakah orang itu
melakukan tindak pidana atau tidak, maka yang dipegang adalah orang itu tidak
melakukan tindak pidana. Sebab yang meyakinkan adalah manusia itu tidak salah.
Akan tetapi, apabila terhadap yang meyakinkan tadi datang
bukti-bukti lain yang meyakinkan pula, maka kaidah tersebut tidak berlaku lagi.
Yang digunakan adalah kaidah yang merupakan cabang dari kaidah tersebut di atas
yaitu :
اَلْيَقِينُ يُزَالُ بِاليَقِيْنِ
مِثْلِهِ “keyakinan bisa dihilangkan dengan
keyakinan lain yang tingkatnya sama”.
Dalam contoh di atas : Yakin sudah berwudhu, tapi juga kemudian
yakin sudah batal, maka dia dalam keadaan berhadats. Yakin berhadats tapi
kemudian karena yakin sudah wudhu, maka orang tadi dalam keadaan suci. Yakin
punya utang tapi kemudian yakin pula utang sudah dibayar (lunas) karena ada
bukti pembayaran, maka dia bebas dari utangnya dan seterusnya.
Kaidah tersebut di atas antara lain didasarkan kepada Hadits
Abdullah bin Zaid
شُكِيَ إِلى
رَسُولِ اللّهِ صَلَى الله عَلَيهِ وَسَلَمَ الرّ ِ خَلُ يُخَيَّلُ أَنَهُ يَجِدُ
الشَيْئَ فِى الصَلَا ةِ، قَا لَ لَايَنْصَرِ فْ حَتَّى يَسْمَعُ
صَوْتًااوْيَجْدَرِيْحَا
“Dikemukakan
kepada Rasullah tentang seorang laki-laki yang selalu merasa berhadats dalam
shalatnya Nabi menerangkan: Janganlah orang tersebut keluar dari shalatnya
sampai dia mendengar suara kentutnya atau mencium baunya”. (Riwayat
Bukhari-Muslim)
Contoh untuk
kaidah ini banyak sekali di antaranya, boleh batal puasa apabila bepergian,
adanya aturan jama dan qasar dalam shalat, adanya aturan shalat bagi yang sakit
dan lain sebagainya. Dalam muamalah boleh melakukan bae-almuathoh (jual beli)
untuk barang-barang yang tidak seberapa harganya tanpa ijab qabul. Apabila
tidak ada saksi yang betul-betul adil boleh menggunakan saksi yang kurang
keadialnnya, Apabila tidak bisa dijatuhkan hukuman had karena tidak memenuhi
syarat, maka dijatuhkan hukuman ta’zir.
Kaidah ini
mengharuskan menghilangkan kemudharatan serta pengaruh dari kemudharatan
tersebut. Contohnya : Seperti makan barang haram karena terpaksa, tidak ada
makanan lain dan apabila tidak memakannya bisa mati. Adanya aturan al-Khiyar
dalam muamalah. Adanya kebolehan membela diri dalam jinayah. Membuka aurat
sesuai dengan yang diperlukan untuk pengobatan penyakit yang membahayakan
kepada jiwa.
Kaidah ini
penerapannya harus secara sangat hati-hati, kalau tidak akan melampaui
batas-batas yang diperkenankan. Oleh karena itu, ada kaidah di atas yaitu
antara lain:
مَااَبِحَ لِضَّرُوْرَةِ
يُقَدَّرُبِقَدِرَهَا
“Apa yang dibolehkan karena
kemudharatan diukur sekadar kemudharatan itu saja”.
Syarat-syarat
penting yang harus diperhatikan agar tidak melampaui batas dalam menerapkan
kaidah ini adalah: 1. Kemudharatan itu benar-benar terjadi bukan diperkirakan
akan terjadi, 2. Dalam keadaan darurat yang dibolehkan itu hanya sekadarnya saha, 3. Kemudharatan tidak
boleh dihilangkan dengan kemudharatan lain yang sama tingkatannya. Tidak boleh
orang yang sedang kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga akan mati
karena kelaparan.
Kaidah tersebut
di atas berdasarkan Hadits Riwayat Ibn Majah dari Ibn Abbas:
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
“Tidak boleh memudharatkan diri
sendiri dan tidak boleh memudharatkan orang lain”.
Sesungguhnya
kaidah tersebut juga kembali kepada ayat Al-Quran yang berkaitan dengan keadaan
terpaksa atau dipaksa (Al-Baqarah:173)
ااَلْعَا دَةُ مُحْكَمَةٌ
“Adat itu bisa
ditetapkan sebagai hukum”.
Misalnya
menentukan waktu terpendek atau terpanjang dari haid menentukan cacatnya barang
yang diperjual belikan dalam kasus Khiyar al-Ayb. Hakim tidak boleh menerima
hadiah, kecuali dari orang yang telah biasa memberikan hadiah kepadanya, dan
tidak boleh lebih dari hadiah yang biasa diberikan. Syarat-syarat penggunaan
al-Adah ini dapat dilihat kembali dalam pembahasan tentang ijtihad.
Kebutuhan
itu ditempatkan pada tempat darurat,
baik kebutuhan itu bersifat umum atau khusus.
Kaidah tersebut
berdasarkan kepada ayat yang menggunakan kata-kata ma’ruf. Ukuran ma’ruf juga
sering kembali kepada adat kebiasaan.
Inilah lima
macam kaidah Fiqhiyah yang banyak digunakan sebagai pembuka jalan untuk
mendalami kaidah-kaidah lainnya.
Oleh karena
kaidah fiqh ini berkaitan dengan sikap dan tingkah laku manusia, maka sering
digunakan secara luas, diperlukan dalam kehidupan dan untuk memecahkan
masalah-masalah yang bersifat pribadi, masalah-masalah dalam keluarga, masalah-masalah
yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya.
Apabila disederhanakan, proses
pembentukan kaidah-kaidah fiqh dapat digambarkan sebagai berikut:
Sehubungan dengan ilustrasi tersebut, maka dapat dijelaskan hal-hal
sebagai berikut:
1) Bersumber dari Al-Quran dan
Al-Sunnah, dan dengan menempuh produser baku ushul fiqh, maka akan akan lahir
fiqh. Melalui penalaran deduktif, maka lahirlah berbagai bidang dan cabang fiqh
akan sangat banyak dan beragam. Hal ini berkaitan dengan cakupan dan kecenderungan
persoalan yang sedang dihadapi masyarakat dan menarik perhatian para ulama.
Sebagian ulama meneliti ragam dan jumlah fiqh tersebut, dan melalui penalaran
yang bersifat induktif berusaha menarik main stream-nya. Produk penalaran ini
melahirkan apa yang dikenal sebagai kaidah-kaidah fiqh. Selanjutnya,
kaidah-kaidah fiqh tadi di konfrimasikan dengan semangat, dalil kulli, dan
maqashid al-syari’ah yang termaktub didalam Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai
sumber hukum Islam yang pokok.
2) Lebih daripada itu, ulama-ulama
tertentu mencoba pula mengkritisi kaidah-kaidah fiqh tersebut. Pada umumnya,
kritik tersebut berupa pengujian atas kesahihan rasional dan empiris
kaidah-kaidah fiqh. Hasil pengujian tersebut melahirkan “kaidah fiqh yang
mapan”, karena jangkauannya menyentuh semua perilaku manusia di mana pun
(global) dan keseluruhan waktu (eternal).
3) Dalam kapasitas sebagai kaidah yang
telah mapan, kaidah-kaidah eksklusif tersebut bersama-sama dengan ushul fiqh
menjadi metodologi hukum Islam. Berdasarkan proses pembentukan dan cakupannya,
tidak berlebihan jika penulis menyatakan bahwa kaidah fiqh merupakan
inclusive-theory of fiqh, atau setara dengan grand theory, yang mencakup
beberapa middle- range theory dalam ilmu sosial.
Kaidah fiqh yang sudah mapan dan inklusif ini semisal iron law
(“Hukum besi”) dalam bidang fiqh karena memiliki cakupan yang luas dari sudut
ruang dan waktu. Dalam posisi ini, tentu saja terdapat kaidah-kaidah yang
memiliki jenjang lebih rendah darinya. Penjenjangan kaidah-kaidah fiqh, mulai
dari yang sangat luas hingga yang sangat sempit cakupannya, telah dilakukan
oleh para ulama.
Kaidah fiqh merupakan warisan ulama terdahulu. Ia berupa hasil
perenungan dan penelitian yang telah teruji. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat
dijadikan solusi alternatif, karena dapat dijadikan landasan dalam memecahkan
persoalan-persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat secara benar, adil, dan
arif.
The King Casino Company - Ventureberg
BalasHapusIt was born in septcasino.com 1934. The 사설 토토 사이트 Company offers luxury hotels, deccasino If you don't have a poker https://deccasino.com/review/merit-casino/ room in your house, then you'll find a poker room in ventureberg.com/ the