Fiqh
dan Legislasi (Taqnin)
A.
Arah
dan Perkembangan Pentaqninan
1.
Islam
dan Kolonialisme
Setelah
dunia Islam membebaskan diri dari penjajahan Barat dan kemudian membentuk
negara nasionalnya masing-masing serta mengurus dan mengatur sendiri
bidang-bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, dan kebudayaannya ternyata
terdapat aspek yang kurang ataupun tidak sesuai dengan ketentuan ajaran Islam
di satu sisi. Di sisi lain, tidak mungkin mengganti keseluruhan dari apa yang
sekarang telah berlaku secara sekaligus, karena akan mengakibatkan kekosongan
intuisi dan kekacauan dalam kehidupan masyarkat, serta tidak realistis. Dengan
kata lain, menerapkan keseluruhan warisan hukum Islam juga tidak Islami. Dengan
demikian, diambil jalan tengah dengan mengambil aturan-aturan fiqh yang
relevan.
Menghadapi kenyataan ini, umumnya dunia Islam menggunakan
cara al-Tadrij fi al-Tasri’ (bertahap di dalam penerapan hukum) dengan
membiarkan terus berlakunya hukum yang memenuhi persyaratan kemaslahatan umat
dan menambah atau bahkan mengganti aturan yang dianggap tidak aspiratif dan
tidak sesuai dengan kebutuhan umat.
Seperti telah disinggung pada bab-bab sebelumnya bahwa
dalam proses pembentukan ilmu fiqh, fiqh ini menjadi bahan bagi pembentukan
berbagai peraturan baik perundang-undangan, peraturan pemerintah, bahkan di
dalam peraturan-peraturan daerah.
Arah semacam ini tampaknya sedang ditempuh di seluruh
dunia Islam, termasuk di
Indonesia, demi untuk kepastian hukum. Di dalam fiqh, sangat beragam perbedaan
pendapat para ulama. Bahkan satu mazhab tertentu pun tidak menjamin adanya
kesatuan pendapat. Ini pulalah yang mendorong kekhlifahan Turki Usmani
mengeluarkan Majalah al-Ahkam yang memuat 1851 Pasal, meskipun Turki menganut
mazhab Hanafi. Alasannya, dalam mazhab Hanafi, banyak pendapat yang berbeda,
bahkan bertentangan. Hal ini tidak berarti warna suatu mazhab tidak memengaruhi
dalam pentaqninan. Misalnya, warna mazhab Syafi’i tetap tampak di dalam Inpres
No. 11 tahun 1991 di Indonesia. Demikian pula warna mazhab Hanbali di Saudi Arabia.
Artinya, kultur masyarakat setempat tetap berpengaruh di dalam pembeentukan
perundangan-undangan, terutama di bidang hukum keluarga (al-Akhwal
al-Syakhsiyah) artinya pula: kesadaran hukum masyarakat menjadi penting.
Dibidang hukum Islam hukum keluarga, tampaknya
pentaqninan mengambil dari semua mazhab selama maslahat bagi kehidupan bahkan
juga mengambil dari hukum lain selama sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah,
implikasinya adalah mempelajari hukum Islam harus dengan muqaranah madzahib (perbandingan mazhab) bahkan dengan perbandingan
hukum, baik sistem hukum adat maupun hukum Romawi (Barat).
Politik hukum suatu negara sangat menetukan di dalam arah
pentaqninan, artinya political will penguasa sangat menentukan karena
perundang-undangan pada prinsipnya adalah produk politik. Untuk negara-negara
yang menyatakan diri sebagai Islamic State (Negara Islam), seperti: Saudi
Arabia, Iran, Pakistan, Brunei Darussalam, Maurituania, hal ini mungkin tidak
jadi masalah, karena politik hukumnya memang menerapkan hukum Islam.
Akan tetapi, bagi Negara Muslim atau negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia dan Mesir, Politik hukum
negara yang bersangkutan menjadi sangat penting. Untuk kasusu Indonesia
mislanya, peluang untuk pentaninan ini menjadi terbuka setelah GBHN dinyatakan
bahwa bahan di dalam pembentukan hukum nasional adalah: hukum Adat, hukum
Barat, dan hukum Islam.
Dalam pentaqninan ini, ijtihad yang dilakukan pada
umumnya adalah ijtihad fi Tatbiq al-Ahkam (ijtihad di dalam penerapan hukum)
dengan menggunakan metoda Ijtihad Jama’i (ijtihad kolektif); prosesnya adalah
dengan menghadirkan para pakar dibidang ilmu-ilmu yang berhubungan dengan
materi yang dibahas, untuk memberikan pertimbangan keadaan yang sesungguhnya
dan dihadiri pula oleh para ahli agama, khususnya ahli hukum Islam, untuk
memberikan pertimbangan hukumnya (al-Hukm qabla bayan dhulnmun, wa tark al-hukm
ba’da bayan dhulmun). Dengan cara ini diharapkan hasil ijtihadnya lebih benar,
lebih baik dan indah serta lebih arif untuk kemaslahatan hidup bersama.
Akhirnya bisa dinyatakan dengan bahwa dengan pentaqninan
ini, ilmu fiqh ini sedang mengalami fase baru perubahan; perubahan dengan tidak
meninggalkan jati dirinya yang tercermin di dalam dalil-dalil kauli,
kaidah-kaidah kuliyah, maqashid al-syari’ah dan semangat ajarannya yang adil,
memberi rahmat, maslahat dan mengandung makna bagi kehidupan: atau dengan
ungkapan lain: al-Muhafadlah ‘ala al-Qadim al-Shalih wa al-Akhdz bi al-Jadid
al-Ashlah (Mempertahankan yang lama yang maslahat dan mengambil yang baru yang
lebih maslahat).[1]
2.
Fase
Pen-taqnin-an
Perkembangan ilmu fiqh untuk mencapai kepada fase
pen-taqnin-an ini melalui proses yang panjang, setidaknya melalui empat
tahapan:
1.
Tahap pemebntukan
mazhab yang resmi, di dalam Tarikh
alTasyri’ kita temukan fakta sejarah bahwa khalifah Ja’far al-Mansur telah
meminta kepada Imam Malik untuk menjadikan mazhab Malik, menjadi mazhab resmi
di seluruh wilayah kekuasaannya. Imam Malik menolak permintaan khalifah Ja’far
al-Mansur dengan lasan akan menganggu kebebasan berijtihad. Artinya, apabila
mazhab Maliki menjadi mazhab resmi negara maka para mujtahid tidak akan bebas
lagi berijtihad, sebab harus mengikuti mazhab resmi penguasa. Pada masa
sekarang yang masih menggunakan mazhab resmi negara anatara lain: Saudi Arabia
dengan mazhab Hanbali-nya dan Brunei Darusslam dengan mengambil mazhab Syafi’i
sebagai mazhab resmi negar, atau Iran dengan mazhab Syi’ah Imamiyah. Sudah
barang tentu kebijakan semacam ini akan memperkuat mazhab dan menyebarluaskan
karena seperti yang dikatakan Ibnu Khaldun “manusia akan mengikuti agama
penguasanya” (Al-Nas’ala
Dini Mulukihim).
2.
Setelah adanya mazhab
yang resmi menjadi mudah untuk pembentukan taqnin, dengan mengikuti mazhab yang
resmi tadi. Contoh yang paling baik untuk fase ini adalah Majalah Al-Ahkam
al-Adliyah yang dikeluarkan pada masa kekhalifahan Turki Ustmani yang mengambil
seluruhnya dari mazhab resmi kekhalifahan Turki Utsmani yaitu mazhab Hanafi.
3.
Pentaqninan dengan
mengambil bahan-bahan dari mazhab resmi tertentu, selama sesuai dengan
kemaslahatan. Contohnya; kadang-kadang hukum dalam hukum keluarga pada zaman
kekhalifahan Turki Utsmani mengambil mazhab Maliki. Misalnya, batalnya talak
yang dijatuhkan karena di paksa atau dijatuhkan ketika sedang mabuk (Qanun
Huquq al-‘adilah Turki Utsmani Tahun 1917, Pasal 57, 104, dan 105). Demikian
pula halnya dalam kasus suami yang pergi atau hilang tanpa berita serta tidak
memberi nafkah. Kemudian istrinya menggugat, maka pengadilan harus mengabulkan
gugatan istri setelah mencari suami dengan sungguh-sungguh (pasal 126). Pasal
185, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, “Hukum Kewarisan”. Menyatakan bahwa
ahli waris yang meninggal lebih dulu daripada pewaris maka kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173
(membunuh, mencoba membunuh, atau menganiaya). Bagian ahli waris pengganti
tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Dalam kasusu pewaris meninggalkan anak perempuan dan anak laki-laki yang telah
meninggal, ini bukan washiyah wajibah sehingga tidak boleh melebihi sepertiga
harta warisan. Dalam kasus di atas, kalau diganti anak perempuan 1/2 cucu 1/2,
sisanya ashabah. Cucu 1/2-3/6; kalau wasiat wajib tidak boleh lebih dari
1/3-2/6. Fase ketiga ini kemudian diikuti oleh sebagian negara-negara Arab
seperti Mesir, Syria, Irak, dan Tunisia.
4.
Pada fase keempat ini,
dunia Islam tidak hanya mengambil dari berbagai mazhab di dalam fiqh, tetapi
juga mengadopsi beberapa bagian hukum-hukum barat; mislanya di dalam
undang-undang hukum dagang baik di darat maupun di laut, yang dahulu belum
mendapatkan perhatian yang serius dari Fuqoha, meskipun prinsip-prinsip
hukumnya telah ditemukan, tetapi rinciannya sebagai bahan di dalam pentaqninan
masih memerlukan penelitian, termasuk fatwa-fatwa yang kemudian jadi bahan
taqnin.
Pengaruh
hukum barat ini nampaknya sulit dihindari, baik karena sekarang kita memasuki
era globalisasi, maupun karena lamanya dunia Islam dijajah oleh Barat yang
menerapkan hukumnya di daerah jajahannya. Di Malaysia misalnya: ada hukum
cambuk, hukum cambuk ini dikenal di kalangan Fuqaha karena ada dalam Al-Qur’an,
tetapi Malaysia juga menerapkan hukuman gantung yang tidak dikenal di kalangan
Fuqaha. Meskipun hukuman mati di dalam hukum pidana Islam dikenal untuk
kejahatan yang sangat berbahaya bagi masyarakat tetapi bukan dengan cara digantung.
Hukuman gantung rupanya diambil dari hukum Inggris yang pernah menjajah
Malaysia.
Di
dalam mengadopsi hukum-hukum Barat ini perlu kehati-hatian, dalam arti perlu
penelitian tentag falsafah hukumnya, prinsip-prinsipnya, dan asas-asasnya.
Tolak ukurnya adalah: dalil-dalil kulli baik dari Al-Qur’an maupun Hadits,
Maqosidu Syari’ah, kaidah-kaidah kuliah fiqhiyah dan semangat hukum Islam, yang
merupakan identitas hukum Islam. Akar filosofinya diberi landasan filosofis
Islami (Sayyid Quthb).
Apabila
tidak bertentangan dengan keeempat hal tersebut tidak ada salahnya mengadopsi
dari hukum Barat, sebab kemungkinan besar hukum Baratpun mengadopsi dari hukum
Islam pada zaman keemasan Islam, sedangkan Barat masih dalam kegelapan.[2]
B.
Metode
Legislasi
Ayat-ayat Al-Qur’an secara
terus-menerus diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sejak awal masa kenabiannya
(609 M) hingga menjelang wafatnya (632 M), dalam rentang waktu kira-kira 23
tahun. Di mana pada masa tersebut satu-satunya sumber hukum Islam adalah wahyu
ilahi, baik yang berbentuk Al-Qur’an maupun Sunnah (perkataan dan tindakan Nabi
SAW). Ayat-ayat Al-Qur’an yang beragam pada umumnya diwahyukan untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi Nabi SAW dan pengikutnya di Makkah
dan Madinah. Sejumlah ayat Al-Qur’an merupakan jawaban langsung atas persoalan
yang diajukan orang-orang muslim dan juga orang-orang non-muslim selama masa
kenabian tersebut. Banyak dari ayat-ayat tersebut dimulai dengan kalimat
“Mereka bertanya kepadamu tentang...” Sebagai contoh:
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang
pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa
besar, tetapi menghalangi (manusia) dari
jalan Allah, kafir kepada Allah, (mengahlangi masuk) Masjidil Haram dan
mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah.”[3]
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan
judi. Katakanlah; ‘pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat
bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.’“[4]
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidl.
Katakanlah: ‘Haidl itu adalah kotoran,’ oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl; dan janganlah kamu mendekati mereka
sebelum mereka suci.’”[5]
Demikian juga mengenai masalah
legislasi/tasyri’ Islam yang terdapat dalam Sunnah, banyak yang berasal dari
jawaban-jawaban atas persoalan yang ada, atau yang berasal dari
ungkapan-ungkapan yang dibuat pada saat terjadinya peristiwa. Sebagai contoh,
pada satu kesempatan, salah seorang sahabat Nabi SAW bertanya, “Ya Rasulullah! Kami mengarungi lautan dan
jika kami berwudlu dengan air segar yang kami bawa kami akan kehausan. Dapatkah
kami berwudlu dengan air laut?” nabi SAW menjawab, “air laut itu suci dan semua
bangkai binatang laut itu halal dimakan.”
Alasan dipakainya metode
legislasi/tasyri’ ini adalah demi tercapainya tahapan (gradasi) dalam pembuatan
hukum, sehingga dengan pendekatan ini hukum yang diberlakukan bisa lebih mudah
diterima oleh orang Arab yang sebelumnya sangat bebas. Selain itu, pentahapan
juga akan membuat mereka lebih mudah dalam mempelajari dan memahami hukum
karena alasan dan konteks legislasi/tasyri’ telah dikenal oleh mereka. Metode
legislasi (tasyri’) secara bertahap ini tidak terbatas pada soal hukum sebagai
suatu keseluruhan, tetapi juga menyangkut pada pembuatan sejumlah hukum yang
bersifat perseorangan. Legislasi?tasyri’ tentang shalat adalah contoh yang
bagus mengenai tahapan dalam membuat hukum yang bersifat perseorangan. Pada
awal periode Makkah, shalat pada awalnya dikerjakan dua kali per-hari, satu
kali di waktu pagi dan satunya lagi di malam hari. Singkatnya, sebelum hijrah
ke Madinah, shalat lima kali sehari telah mulai dikerjakan oleh umat Islam.
Namun demikian, shalat pada masa itu hanya terdiri dari dua rakaat. Setelah
umat Islam awal terbiasa mengerjakan shalat secara teratur, jumlah rakaat
ditingkatkan menjadi empat rakaat di setiap shalat, kecuali shalat shubuh dan
maghrib.[6]
C.
Dasar legislasi (Tasyri’) dalam AL-Qur’an
Al-Qur’an menyatakan bahwa pewahyuan dimaksudkan untuk
memperbaiki kondisi manusia. Islam tidak menghapus semua tradisi dan
praktek-praktek pra-islam. Sebaliknya, Islam menghilangkan setiap segi yang
merusak dan menghapus semua adat yang merugikan masyarakat. Karenanya,
legislasi islam melarang bunga (dalam pinjam-meminjam) karena dengan bunga
berarti mengambil keuntungan yang tidak adil terhadap sekelompok masyarakat
yang kurang beruntung. Zina dilarang karena hal itu mengeksploitasi wanita dan
dan merusak ikatan keluarga. Minum-minuman keras juga dilarang karena bisa
merusak fisik, psikologis dan spiritual yang bisa membebani khususnya individu
dan juga masyarakat secara keseluruhan. Praktek perdagangan diperbaiki dengan
membuat dasar persetujuan perdagangan yang saling menguntungkan, dan menolak
atau mengharamkan semua transaksi bisnis yang bersifat menipu. Sistem mengenai
pernikahan diatur dengan mempertegas bentuk-bentuk tertentu dan melarang
bentuk-bentuk lainnya, seperti perzinaan atau yang semacamnya. Dasar perceraian
juga diatur, meskipun relatif sederhana.
Karena kehadiran Islam bukan untuk
menghancurkan peradaban, moralitas dan adat-istiadat manusia, namun untuk
membangun peradaban baru dengan moralitas dan adat-istiadat baru, dengan
memperhatikan segi kemaslahatan umat manusia. Hal-hal yang merugikan
dihilangkan dan yang bermanfaat ditetapkan. Allah SWT berfirman dalam
al-Qur’an:
Artinya: “...yang menyuruh mereka mengerjakan yang
makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi
mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan
membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.”[7]
Islam pada dasarnya merupakan suatu
sistem yang bersifat membangun dan bukannya sebaliknya, merusak. Tujuannya
adalah reformasi, bukan hanya bersifat mengontrol atau mengatur semata. Perlu
dicatat, bahwa penetapan Islam terhadap beberapa adat-istiadat masyarkat Arab
bukan berarti bahwasannya Islam mengambil hukum-hukum dan prinsip-prinsipnya
dari sumber-sumber lain, juga bukan berarti bahwa semua praktek yang
ditetapkannya bukan merupakan bagian dari hukum Tuhan. Apa saja yang ditetapkan
Islam merupakan bagian integral dari peraturan-peraturan ketuhanan dengan
alaan-alasan berikut ini:
a)
Sebagian dari
praktik-praktik tersebut merupakan warisan dari generasi sebelumnya kepada
masyarakat, di mana para nabi diutus kepada mereka. Contoh: tentang ibadah
haji, yang mana telah dilembagakan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
b)
Prinsip-prinsip
Islam tidak bertentangan dengan nalar manusia, juga bukannya tidak dapat
dipahami. Alih-alih, prinsip-prinsip Islam membebaskan intelek manusia dari
irasionalitas. Karenanya, prinsip-prinsip Islam mengakui hasil aktifitas
intelektual manusia yang bermanfaat.
c)
Jika pratik-praktik
yang diwarisi tidak ada, belum dipraktikan oleh para nabi sebelumnya, Islam
akan melembagakannya karena manusia membutuhkan hal-hal yang demikian.
Meskipun demikian, jumlah
praktik-praktik yang diwarisi Islam, sebenarnya, cukup sedikit bila
dibandingkan dengan praktik-praktik yang dihapus. Lebih dari itu, sangat
sedikit lagi adalah praktik-praktik warisan itu tidak lagi dilakukan dalam
bentuk dan cara seperti sebelumnya. Hanya dasarnya saja yang tak tersentuh oleh
perubahan Islam.
Agar legislasi Islam mencapai tujuan
reformasinya, serangkaian perintah dan larangan kemudian dibuat memodifikasi
aturan tingkah laku yang mengatur sistem sosial Islam. Karena itu, dalam
pembuatan hukum, wahyu al-Qur’an mempertimbangkan empat prinsip dasar berikut:
1.
Menghapuskan Kesulitan
Sistem Islam diwahyukan untuk
kemaslahatan manusia. Sistem Islam memberi manusia petunjuk dalam semua aspek
kehidupannya agar terjamin baginya cara hidup yang bermartabat dalam suatu
masyarakat yang adil, yang memiliki komitmen untuk mengabdi kepada Tuhan. Hukum
Islam bukan berarti suatu pembebanan, yang menciptakan kesulitan bagi manusia
untuk bisa berkembang secara spiritual, seperti halnya beberapa sistem yang
mereka anggap demikian. Sistem Islam didesain untuk memfasilitasi kebutuhan
individu dan masyarakat. Demikian juga, pembangunan pilar-pilar yang menjadi
sandaran Islam adalah untuk mengahpus kesulitan yang tidak perlu, sejauh hal
itu dimungkinkan. Bukti-bukti yang mendukung fakta bahwa hukum Islam didasarkan
pada konsep menghilangkan kesulitan dapat ditemukan dalam berbagai ayat
al-Qur’an. Berikut ini beberapa ayat al-Qur’an yang terkait dengan hal
tersebut:
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya.”[8]
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu.”[9]
Artinya: “Allah hendak memberikan keringanan
kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”[10]
Karena prinsip-prinsip inilah, Allah
telah membuat syariah yang memuat hukum-hukum yang bersifat meringankan,
seperti bolehnya membatalakan puasa dan menggantinya di lain kesempatan karena
alasan-alasan tertentu, bolehnya mengqashar atau menjama’ shalat bagi para
musafir. Lebih dari itu, mengkonsumsi hal-hal yang dilarang (seperti daging
babi dan alkohol) dalam keadaan yang benar-benar terpaksa juga diperbolehkan.
Terdapat dalam surat al-Maidah (5): 3 yang artinya “Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat
dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
2.
Mengurangi Kewajiban-kewajiban Agama
Konsekuensi alamiah dari prinsip tersebut
(memudahkan) adalah, bahwa jumlah keseluruhan kewajiban agama relatif hanya
sedikit. Dengan demikian, tindakan-tindakan dan hal-hal yang dilarang dalam
legislasi Islam lebih sedikit bila dibandingkan dengan hal-hal yang
diperbolehkan, baik melalui perintah langsung atau tidak langsung. Prinsip
kemudahan secar jelas dapat dilihat ketika al-Quran menjelaskan tentang hal-hal
yang dilarang dan yang diperbolehkan. Dalam kasus pelarangan, sub
kategori-kategorinya disebutkan dan disertakan, sementara dalam kasus
pembolehan, suatu kelonggaran umum diberikan dengan jumlah kategori yang lebih
besar. Sebagai contoh, berkenaan dengan makanan yang dilarang, Allah berfirman:
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah,
daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang
buas, kecuali yang sempat kamu sembelih, dan (diharamkan bagimu) yang
disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak
panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.”[11]
Di sisi lain, berkaitan dengan
makanan yang diperbolehkan atau dihalalkan, al-Quran menyatakan:
Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang
baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.”[12]
Meskipun kenyataannya hal-hal yang dilarang sangat
sedikit bila dibandingkan dengan yang diperbolehkan, dosa seseorang yang
terpaksa melanggar larangan juga ikut dijelaskan. Allah SWT memberikan
kelonggaran hukum di sejumlah ayat yang terdapat dalam al-Qur’an. Sebagai
contoh:
Artinya: “Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”[13]
3.
Merealisasikan Kesejahteraan Masyarakat
Karena hukum Islam terutama
diperuntukkan demi kebaikan semua manusia, Rasulullah SAW merupakan seorang
Rasul yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Allah telah
menyatakan dalam al-Quran:
Artinya: “Katakanlah: ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah
kepadamu semua . . . ,”[14]
Nasakh (pembatalan)
Keberadaan Nasakh di dalam legislasi Islam di antaranya
sebagai bentuk manifestasi upaya mempertimbangkan kesejahteraann manusia dalam
legislasi Islam. Tuhan bisa jadi menetapkan suatu hukum yang sesuai untuk
orang-orang pada saat penetapannya, atau bisa juga dengan maksud khusus. Namun
demikian, kesesuaiannya bisa saja terhenti atau maksud khususnya bisa saja
telah tercapai. Dalam keadaan seperti itu, kebutuhan hukumnya berhenti dan
tidak berlaku lagi.
Dalam nasakh, tercakup
pertimbangan-pertimbangan berdasarkan kondisi-kondisi dan kesejahteraan umat
manusia. Pembuatan hukumnya lebih mementingkan kemaslahatan manusia.
Nabi SAW juga sering menyebut alasan
rasionalnya di balik ketetapan-ketetapan hukumnya. Sebagai contoh, dalam
masalah nasakh tentang larangan ziarah kubur, beliau diriwayatkan pernah
menyatakan, “Saya pernah melarang kalian
untuk menziarahi kubur, namun izin telah diberikan padaku untuk menziarahi
makam ibunda saya. Karenanya, ziarahlah kalian, karena hal itu bisa
mengingatkan seseorang tentang kehidupan yang akan datang.”
Penjelasan mengenai alasan-alasan hukum mengindikasikan
bahwasannya ada atau tidak adanya hukum bergantung pada ada atau tidak adanya
sebab-musababnya. Apabila manfaat dari hukum yang ditetapkan itu masih ada,
maka hukum itu akan dilanjutkan; namun jika manfaatnya telah berubah karena
perubahan keadaan, hukum tersebut juga harus berubah.
Keputusan untuk mempertimbangkan
kebutuhan manusia juga terdapat dalam metodologi penetapan hukum. Berkaitan
dengan hukum-hukum yang tidak mengalmi perubahan seiring dengan berubahnya
waktu dan kondisi, Allah SWT akan menguraikan detil-detilnya secara rinci dan
jelas demi kemaslahatan semua umat manusia.
4.
Merealisasikan Keadilan Universal
Syariat Islam memandang, semua
manusia sama dalam hal kewajiban mematuhi hukum dan tanggung jawabnya atas
pelanggaran terhadapnya. Hukum-hukum yang disebutkan dalam al-Quran bersifat
umum, tidak membeda-bedakan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Pernah pada zaman Nabi, seorang
perempuan dari bani Makhzum yang disegani telah mencuri beberapa barang,
perhiasan dan mengakui perbuatannya ketika kasusnya diadukan kepada Nabi SAW.
Sebelum keputusan dijatuhkan, kepala sukunya berusaha menemui Usamah bin Zaid
yang memiliki kedekatan hubungan dengan Rasulullah SAW agar bersedia menengahinya
dan mengupayakan keringanan hukuman. Ketika Usamah melakukan pendekatan kepada
Rasulullah SAW, beliau menjadi murka dan berkata pada Usamah, “Apakah engkau
mau menjadi penengah terhadap salah satu hukuman yang telah ditetapkan Allah?”
Nabi SAW kemudian memanggil orang-orang agar berkumpul, kemudian beliau
bersabda, “Orang-orang sebelum kalian
menjadi hancur karena mereka membiarkan para bangsawan ketika mereka mencuri,
dan menerapkan hukuman pada orang yang lemah apabila mereka mencuri. Demi Allah
SWT! Jikalau anak perempuanku, Fatimah, mencuri, saya akan memotong tangannya!”[15]
D. Konsep Fiqh Siyasah
Fiqih Siyasah bukan kajian yang baru di antara ilmu pengetahuan
yang lainnya, keberadaan Fiqih Siyasah sejalan dengan perjalanan agama Islam itu sendiri. Karena Fiqih Siyasah ada dan berkembang sejak Islam
menjadi pusat kekuasaan dunia. Perjalanan hijrahnya Rasullulah ke Madinah,
penyusunan Piagam
Madinah, pembentukan pembendaharaan
Negara, pembuatan perjanjian perdamaian, penetapan Imama, taktik pertahanan
Negara dari serangan musuh yang
lainnya. Pembuatan kebijakan bagi kemaslahatan masyarakat, umat,
dan bangsa, dan kemudian pada masa
itu semua dipandang sebagai upaya-upaya siyasah dalam mewujudkan
Islam sebagai ajaran yang
adil, member makna bagi kehidupan dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Semua proses tersebut merupakan langkah awal berkembangnya kajian fiqih siyasah, dimana fiqih siyasah menerima dengan tangan terbuka apa yang dating dari luar selama itu untuk kemaslahatan bagi kehidupan umat. Bahkan menjadikannya sebagai unsur yang
akan bermanfaat dan akan menambah dinamika kehidupannya serta menghindarkan kehidupan dari kekakuan dan kebekuan, dalam kesempatan hari ini.
Perpaduan antara politik dan agama yang merupakan akibat langsung dari hakikat teologi Islam juga terungkap dalam kawasan teori konstitusioanal. AI-Quran sebagai undang-undang, perilaku keagamaan, tetapi yang lebih tinggi, kitab suci itu merupakan hokum dasar dan tertinggi yang tidak dapat digolongkan sebagai argument serius tentang konstitusi Negara Islam. Sumber hokum konstitusi Islam yang kedua yang
tidak kalah penting adalah Sunah atau segala perkataan dan praktek kehidupan Nabi Muhammad SAW, manusia yang dipilih Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada sernua manusia.
Sumber hokum konstitusi Islam yang ketiga adalah Ijma' yang berarti kesepakatan universal atau kosensus yang bersifat umum. Ijma' melibatkan upaya kolektif yang terdiri dari anggota-anggota suatu kelompok atau keseluruhan masyarakat untuk meraih sebuah kesepakatan hokum tentang suatu masalah tertentu. Sedangkan sumber hokum konstitusi yang keempat adalah Qiyas yaitu metode yang digunakan untuk memecahkan suatu masalah yang berkenaan dengan legalitas suatu bentuk perilaku tertentu. Dalam Islam metode ini digunakan untuk memperluas hokum-hokum syariah yang bersifat umum kepada berbagai kasus individu yang tak terbatas atas dasar kesamaan atau ketidakselarasan dengan beberapa kasus lama yang telah dijelaskan dalam Qur'an dan Sunnah.
Dalam kajian fiqh siyasah, legislasi atau kekuasaan legislative disebut juga
dengan al-sulthah al-tasyri’iyah, yaitu kekuasaan pemerintah Islam dalam membuat dan menetapkan hukum. Dalam wacana fiqh siyasah, istilah al-sulthah
al-tasyri’iyah digunakan untuk menunjukan salah satu kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur masalah kenegaraan, di samping kekuasaan eksekutif (al-sulthah
al-tanfidzhiyah) dan kekuasaan yudikatif (al-sulthah
al-qadha’iyah). Dalam konteks ini kekuasaan legislative (al-sulthah
al-tasyri’iyah) berarti kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakatnya berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan Allah SWT dalam syari’at
Islam
Orang-orang yang duduk dalam lembaga legislative ini terdiri dari para mujtahid danahli fatwa
(mufti) serta para pakar dalam berbagai bidang. Ada dua fungsi lembaga legislative. Pertama, dalam hal-hal ketentuannya, sudah terdapat di dalam nash Al-Qur’an dan Sunnah,
undang-undang yang dikeluarkan oleh al-sulthah al-tasyri’iyah adalah undang-undang Ilahiyah yang disyari’atkanNya dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi SAW. Kedua, melakukan penalaran kreatif (ijtihad) terhadap permasalahan yang secara tegas tidak dijelaskan oleh nash. Kewenangan lain dari lembaga legislative adalah dalam bidang keuangan negara. Dalam masalah ini, lembaga legislative berhak mengadakan pengawasan dan mempertanyakan pembendaharaan negara, sumber devisa dan anggaran pendapat dan belanja yang dikeluarkan Negara kepada kepala Negara selaku pelaksana pemerintahan.
Unsur-unsur legislasi dalam fiqh siyasah dapat dirumuskan sebagai berikut :
a.
Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dalam masyarkat Islam .
b.
Masyarakat Islam yang akan melaksanakan.
c.
Isi peraturan atau hukum yang sesuai dengan nilai dasar syari'at Islam.
d.
Ummah. Dalam konteks agama Islam, kata ummah bermakna seluruh persebaran umat Islam atau "komunitas dari orang-orang yang beriman"
(ummatul mu'minin), dan dengan demikian bermakna seluruh Dunia Islam. Ungkapan "kesatuan umat" (ummatul wahidah) dalam Al-Qur'an merujuk kepada seluruh kesatuan Dunia Islam. Al-Qur'an menyatakan:
"Sesungguhnya umatmu ini (agama tauhid) adalah umat (agama) yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku (QS Al-Anbiya' [21]: 92).
Kata-kata umat ternyata memiliki ruang lingkup yang berlapis. Lapisan pertama, kata umat bisa disamakan dengan makhluk Tuhan, sehingga burungpun disebut umat, semut yang berkeliaran pun juga bias disebut umat dari umat-umat Allah. Lapisan kedua, kata umat berarti umat manusia secara keseluruhan. Lapisan ketiga, kata umat berarti suatu komunitas manusia. Dalam lapisan ini bisa dibedakan antara umat Islam dan umat non-muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Nasar. 1996. Fiqh dan Ushul
Fiqh. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Djazuli, H. A. 2005. Ilmu Fiqh:
Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta: Kencana
Philips, Abu Ameenah Bilal. 2005. Asal-usul
dan Perkembangan Fiqh Analisis Historis atas Mazhab, Doktrin dan Kontribusi.
Terj, M. Fauzi Arifin. Bandung: Nuansa.
Sudirman, Tebba Eta. 1993. Perkembangan
Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga dan
Pengkodifikasiannya. Terj, Hendro Prasetyo. Bandung: Mizan
[1] H. A.
Djazuli, Ilmu Fiqh, Kencana, Jakarta,
2005, hal. 163-166.
[2] Ibid.
Hal 166-169
[3] QS.
Al-Baqarah (2): 217.
[4] QS.
Al-Baqarah (2): 219.
[5] QS.
Al-Baqarah (2): 222.
[6] Abu Ameenah Bilal
Philips, Asal-usul dan Perkembangan Fiqh
Analisis Historis atas Mazhab, Doktrin dan Kontribusi, Nuansa, Bandung,
2005, hal: 1-5
[7] QS.
Al-A’raf (7): 157.
[8] QS.
Al-Baqarah (2): 286
[9] QS.
Al-Baqarah (2): 185
[10] QS.
An-Nisa (4): 28.
[11] QS.
Al-Maidah (5): 3.
[12] QS.
Al-Maidah (5): 5.
[13] QS.
Al-Baqarah (2): 173.
[14] QS.
Al-A’raaf (7): 158.
[15] Abu Ameenah Bilal
Philips, Asal-usul dan Perkembangan Fiqh
Analisis Historis atas Mazhab, Doktrin dan Kontribusi, Nuansa, Bandung,
2005, hal: 14-31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar