A.
Al-Quran
sebagai Sumber Hukum Ilmu Fiqh
1. Pengertian Al Qur’an
Menurut bahasa
Al-Quran berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan, atau qur’anan yang berarti bacaan. Sedangkan
menurut istilah, Al-Quran adalah Kalam Allah
yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW yang sampai kepada kita berupa
teks dengan jalan mutawatir.[1]
Adapun menurut para
ulama klasik, Al-Quran adalah Kalamulllah yang diturunkan pada Rasulullah
dengan bahasa arab, merupakan mukjizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta
membacanya adalah ibadah.
2.
Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber
islam
Allah menurunkan Al-Quran itu, gunanya untuk dijadikan dasar
hukum, dan disampaikan kepada ummat manusia untuk diamalkan segala perintahnya
dan ditinggalkan segala larangannya, sebagaiman firman Allah :
Artinya :
“Sesungguhnya kami telah menurunkan
Kitab kepadamu dengan membawa kbenaran, supaya kamu menjadi antara manusia
dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi
penantan karena membela orang-orang yang khianat.”(An-Nisa:
105)
Al-Quran sebagai kitab Allah SWT
menempati posisi sebagai sumber hokum pertama dan utama dari seluruh ajaran
Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqih. Al-Quran juga membimbing dan
memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian
ayat-ayatnya. Karena kedudukan Al-Quran itu sebagai sumber utama dan pertama
bagi penetapan hukum, maka apabila seseorang ingin menemukan hukum maka
dilakukan penyelesainnya terlebih dahulu berdasarkan dengan Al-Quran.
Apabila menggunakan sumber hukum
lain di luar Al-Quran, maka harus sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan tidak
boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Quran. Hal ini berarati
bahwa sumber-sumber hukum selain Al-Quran tidak boleh menyalahi apa yang telah
ditetapkan Al-Quran. Al-Quran juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya
sendiri, hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesamanya, dan
hubungan manusia dengan alam.
2.
Hukum
yang terkandung dalam Al-Quran
Hukum-hukum yang
terkandung dalam Al-Quran adalah sebagai berikut:
1) Hokum
itiqadiyah, yaitu hokum yang berhubungan dengan keimanan kepada Allah SWT,
kepada malaikat, kepada kitab Allah, kepada para rasul, dan kepada hari akhir.
2) Hokum
khuluqiyah, yaitu hokum-hukum yang berhubungan dengan akhlak, manusia wajub
berakhlak yang baik dan menjauhi akhlak yang buruk.
3) Hokum
amaliyah, yaitu hokum yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia. Hokum amaliyah
ini dibagi menjadi dua yaitu hokum ibadah dan hokum muamalah.[2]
Adapun
jika dilihat dari keseluruhan ayat-ayat Al-Quran mengandung berbagai macam
dilalah hokum, antara lain:
1) Suatu
ayat yang mengandung suatu perintah yang jelas dan tegas, namun tidak
dijelaskan caranya.
2) Suatu
ayat yang mengandung peritah yang jelas tempatnya namun tidak dijelaskan
batasannya. [3]
B. Hadis Sebagai Sumber Hukum Ilmu
Fiqh
Hadis
menurut bahasa adalah khabar atau berita. Menurut istilah, Al-Hadis adalah
segala berita yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Meliputi: sabda
perbuatan beliau, dan perbuatan para sahabat yang beliau diamkan dalam arti
membenarkannya (taqrr). Hadis lazim pula disebut sunnah, atau sunnah Rasulullah
SAW., sedangkan menurut bahasa sunnah berarti kelakuan, perjalanan, pekerjaan,
atau cara.[4]
As-Sunnah
atau Al-HAdis adalah sumber hokum islam yang kedua setelah Al-Quran, berupa
perkataan (sunnah Qauliyah), perbuatan (sunnah Fi’liyah), dan sikap diam
(sunnah taqririyah) Rasulullah yang tercatat (sekarang) dalam kitab-kitab hadis
yang merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang Al-Quran.
Ucapan,
perbuatan dan sikap diam nabi dikumpulkan tepat pada awal penyebarab Islam.
Orang-orang yang mengumpulkan Sunnah nabi (dalam kitab-kitab hadis) menelusuri
seluruh jalur riwayat ucapan, perbuatan dan pendiaman nabi. Hasilnya di
kalangan Sunni terdapat enam kumpulan hadis utama, seperti yang dikumpukan antara
lain oleh Bukhari dan Muslim yang dengan segera mendapatkan pengakuan di
kalangan Sunni sebagai sumber nilai dan norma kedua sesudah kitab suci
Al-Quran.
Di
kalangan Syi’ah juga terdapat proses serupa tetapi disamping ucapan-ucapan
nabi, ditambahkan pula ucapan para Imam Syi’ah, yang menjelaskan arti petunjuk
nabi itu dan menjadi bagian kumpulan hadis. Salah satu kumpulan hadis yang
menonjol di kalangan Syi’ah adalah Usul il’kafi karya Kulaini.[5]
Melalui
kitab-kitab hadis, seorang muslim mengenal nabi dan mengenal isi Al-Quran.tanpa
As-Sunnah sebagian besar isi Al-Quran akan tersembunyi di mata manusia. Di
dalam AlQuran tertulis misalnya perintah untuk mendirikan salat. Tanpa
As-Sunnah orang tidak akan tahu bagaimana cara mengerjakannya. Salat yang
menjadi tiang semua pusat ibadah Islam, tidak akan dapat dikerjakan tanpa
perbuatan nabi sehari-hari. Ini berlaku pula pada seribu satu hal lain sehingga
hamper tidak perlu lagi untuk menyatakan hubungan yang vital antara Al-Quran
dengan sunnah Rasulullah, yang telah dipilih Allah untuk menjadi pembawa dan
penerang bagi petunjuk-Nya.[6]
Hadis merupakan sumber
hokum islam yang wajib diikuti, dan diamalkan baik dalam bentuk perintah maupun
larangannya. Allah memerintahkan agar orang Islam percaya kepada Rasul SAW,
juga menyerukan agar menaati dan melaksanakan segala bentuk peraturan yang
dibawanya, baik berupa perintah maupun laranga. Tuntutan taat dan patuh kepada
Rasu sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada Allah SWT. [7]
Firman
Allah SWT:
Artinya:
“Katakanlah! Taatlah kepada Allah
dan Rasulnya; dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul SAW
itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah
semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya
kamu dapat petunjuk.”(QS. An-Nur:54)
Kemudian
dalam ayat yang lain, Allah SWT juga berfirman:
Artinya:
“Apa yang diberikan
Rasul kepadamu, terimalah dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah. Dan
bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”(QS.
Al-Hasyr:7)
Dari
gambaran ayat tersebut, meunjukkan betapa urgennya kedudukan penetapan
kewajiban taat dan patuh terhadap semua yang disampaikan oleh Rsul Muhammad
SAW. Dengan demikian dapat diungkapkan bahwa kewajiban taat kepada Rasul SAW
dan larangan medurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak
diperselisihkan oleh umat muslim.
Adapun
salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadis
sebagai pedoman hidup, disamping Al-Quran sebagai pedoman hidup utamaya. Sabda
Rasullulah SAW:
Artinya:
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu
sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kalian berpegang teguh pada
keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnah Rasulnya.” (HR.
Malik)
Dalam
hadis lain Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
“Wajib bagi sekalian berpegang teguh
dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin , berpegang teguhlah kamu
sekalian dengannya.”(HR. Abu Daud dan Ibn. Majah
Di
samping fungsi hadis sebagai peletak hokum, juga berfungsi sebagai penjelas
Al-Quran, baik berupa penjelas ayng global, paenagkhusus yang umum, atau
pembatas yang mutlak. Firman Allah SWT:
Artinya:
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan
kitab-kitab, dan kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka
memikirkan.”(QS. An-Nahl: 44)
Memposisikan
hadis secara structural sebagai sumber hokum kedua, atau secara fungsional
sebagai penjelas terhadap Al-Quran merupakan suatu keniscayaan. Nabi Muhammad
SAW dalam kapasitanya sebagai nabi dan rasul, adalah mediator yang menjadi
penengah atau juru bicara antara dua belah pihak (Tuhan dan mkhluk-Nya) yang
berkomunikasi, sehingga tanpa beliau, pesan-pesan tersebut akn sulit dipahami.
Hadis
mempunyai kewenangan penetapan hokum yang tidak terdapat dalam Al-Quran.
Kewenangan hadis dalam menetapkan hokum baru, telah menjadi kesepakatan para
ulama. Orang yang menentang kewenangan dan kemandirian hadis dalam menetapkan
hokum, hanyalah orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang agama Islam.[8]
Menurut
banyaknya orang yang menyampaikan atau memberitakannya, hadis dibagi menjadi
tiga, yaitu:
1) Hadis
mutawatir, adalah segala sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW yang
diriwayatkan oleh sekian banyak sahabat, sehingga karena banyaknya, mustahil
mereka bersepakat untuk berdusta bersama-sama. Jumlah orang yang meriwayatkan
hadis harus dapat dibuktikan baik dalam generasi pertama, kedua, maupun ketiga.
2) Hadis
masyhurah, adalah segala sesuatu yang datang dari Rasulullah yang diraiwayatkan
oleh seorang, dua orang atau lebih sahabat, namun jumlahnya tidak sebanyak
hadis mutawatir. Akan tetapi pada generasi kedua dan ketiga jumlah orang yang
meriwayatkan hadis masyhur sama dengan jumlah orang yang meriwayatkan hadis
mutawatir.
3) Hadis
ahad, adalah segala sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW yang diraiwayatkan
oleh seorang, dua orang atau lebih sahabat, namun jumlahnya tidak sebanyak hadis
mutawatir. Sesudah generasi sahabat tersebut, hadis tersebut kemudian
diriwayatkan oleh seorang, dua orang atu lebih generasi tabi’in dan seterusnya
sama oleh generasi tabiin.[9]
Adapun
dilihat dari kualitas atau integrias pribadi yang meriwayatkannya secara lisan
dari generassi ke generasi berikutnya, hadis dapat diklasifikasikan kedalam
tiga kelompok, yaitu:
1) Hadis
shahih, adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, yaitu orangyang
senantiasa berkata benar dan menjauhi perbuatan terlarang, mempunyai ketelitian
sempurna, sanad bersambung kepada nabi Muhammad, tidak mempunyai cacat dan
tidak pula berbeda.
2) Hadis
hasan, adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang
ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai nabi Muhammad, tidak mempunyai cacat,
dan tidak pula bertentangan dengan periwayatnya yakni orang-orang yang
terpercaya.
3) Hadis
dha’if, adalah hadis yang tidak mempunyai syarat yang harus dipumyai oleh hadis
shahih dan hadis hasan. Merupakan hadis yang bertentangan dengan Al-Quran,
tidak sesuai dengan akidah Islam dan bertentangan dengan hadis yang lain.[10]
C. Ijtihad Sebagai Sumber Hukum llmu
Fiqh
1.
Pengertian
Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa
berasal dari kata “ijtahada-yajtahidu-ijtihadan”
yang artinya mencurahkan
tenaga dan pikiran atau mengerjakan sesuatu dengan
sungguh-sungguh. Sedangkan Ijtihad sendiri berarti
mencurahkan segala kemampuan berpikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari
dalil-dalil syarak, yaitu Al Quran dan Hadist. Orang yang menetapkan hukum
dengan jalan ini disebut mujtahid. Hasil dari ijtihad merupakan
sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al Quran dan Hadist.
Adapun pengertian ijtihad
maenurut para ahli adalah sebagai berikut:
·
Menurut
Wahbah Al-Zuhaily, ijtihad bukanlah
satu kesatuan yang utuh, tidak dapat dibagi-bagi tanpa menguasai berbagai
masalah. Seorang mujtahid sudah dapat melakukan ijtihad dalam
satu bidang tertentu, jika tidak, maka hokum Islam akan menjadi beku statis.
·
Menurut Ibnu Human, ijtihad adalah pengarahan kemampuan ahli fiqh untuk
menemukan hokum syariat yang bersifar zhani.
·
Menurut Abu Zahrah, ijtihad adalah pengarahan ahli fiqh dalam
mengistinbatkan hokum yang amaliah dari dalil-dalil yang terperinci.
·
Menurut Muhammad Syawkani, ijtihad adalah pengarahan kemampuan dalam
memperoleh hokum syariat yang amaliah dengan cara istinbat.[11]
Lapangan atau medan di
mana ijtihad dapat memaimkam peranannya adlah sebagai berikut:
1) Masalah-maslah
baru, yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash Al-Quran atau hadis secara
jelas.
2) Maslah-maslah
baru, yang hukumnya belum diijma’i oleh ulama
3) Nash-nash
dhanni dan dalil-dalil hokum yang diperselisihkan
4) Hokum
islam yang kausalitas hukumnya atau ‘illatnya diketahui oleh mujtahid
2.
Hukum
ijtihad
Menurut Syekh Muhammad Kudlari bahwa hukum ijtihad
itu dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Waib’Ain
yaitu seseorang yang ditanya tentang suatu masalah, dan masalah itu akan hilang
sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri mengalami sutau peristiwa yang ia
sendiri juga ingin mengetahui hukumnya.
2) Wajib
Kifayah yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak
hilang sebelum diketahui hukumnya, sedangkan selain dia masih ada mujtahid
lain. Apabila seorang mujtahid telah menyelesaikan dan mentapkan hukum sesuatu
tersebut, maka kewajiban mujtahid yang lain telah gugur.
3) Sunnah
yaitu ijtihad terhadap suatu masalah aatau peristiwa yang belum terjadi.
3.
Metode
Ijtihad
1)
Ijma
a)
Pengertian
Ijm
Dari segi bahasa, kata ijma merupakan masdar (kata
benda verbal) dari kata “ajma’a” yang
artinya memutuskan dan menyepakati sesuatu. Sedangkan menurut istilah, ijma
adalah kesepakatan (consensus) seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu
sesudah wafatnya rasul atas hukum syara’ untuk satu peristiwa (kejadian).[12]
Dari
definisi tersebut dapat ditarik beberapa pengertian tentang ijma’, yaitu:
a) Terdapat
beberapa orang mujtahid karena kesepakatan baru, bisa terjadi apabila ada
beberapa mujtahid.
b) Kebulatan
pendapat harus tampak nyata, baik dengan perbuatan, perkataan maupun fatwa.
c) Kebulatan
pendapat orang-orang yang bukan mujtahid, tidak disebut ijma’.
b.
Macam-macam
ijma
a)
Ijma Sharih, dari segi bahasa,
Sharih artinya jelas, jadi Ijma Sharih adalah Ijma yang memaparkan pendapat
banyak utama secara jelas dan terbuka, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
b) Ijma
Sukuti, dari segi bahasa, Sukuti artinya diam, jadi Ijma Sukuti adalah sebagian
mujtahid memaparkan pendapat-pemdapatnya secara terang dan jelas mengenai suatu
hukum suatu peristiwa melalui perkataan atau perbuatan, sedangkan mujtahid yang
lain tidak memberikan komentar apakah ia menerima atau menolak.
2)
Qiyas
a.
Pengertian
Qiyas
Qiyas menurut bahsa berarti menyamakan atau
mengukurkan sesuatu dengan yang lain. Menurut para ahli Ushul Fiqh merumuskan
Qiyas adalah menayamakan atau mengukur satu kejadian yang tidak ada nash
tentang hukumnya dengan kejadian yang ada nash tentang hukumnya di dalam hukum
yang disebutkan di dalam nash karena ada kesamaan antara dua kejadian itu di
dalam illat hukum tersebut.[13]
b.
Macam-
macam Qiya
a)
Qiyas Aula
Qiyas aula yaitu qiyas
yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya hukum. Misalnya berkata kepada kedua
orang tua dengan mengatakan ‘uh, eh, busyet,’ atau kata-kata lain yang semakna
dan menyakitkan itu hukumnya haram, sesuai dengan firman Allah SWT:
Artinya
:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau
Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang
mulia.”(QS. Al-Isra: 23)
b) Qiyas
Musawi
Qiyas
musawi yaitu qiyas yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan sama
antara hukum yang ada pada al-ashlu maupun hukum yang ada pada al-far’u
(cabang). Contohnya, keharaman memakan harta anak yatim. Firman Allah SWT:
Artinya
:
“Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka).”(QS An-Nisa: 10)
c) Qiyas
Adna
Qiyas
adna yaitu adamya hukum al-far’u
lebih lemah bila dirujuk dengan hukum al-ashlu.
Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadl (riba
yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar-menukar antar dua bahan
kebutuhan pokok atau makanan).
Dalam
masalah kasus ini, ‘illah hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan
jenis makanan yang bisa dimakan dan ditakar. Namun ada segi yang lain dari
‘illah gandum yang tidak terdapat pada apel, yaitu apel tidak makanan pokok.
Oleh karenannya, ‘illah yang ada pada apel lebih lemah diabndingkan dengan
illat yang ada pada gandum yang menjadi makanan pokok.
c. Kedudukan dan Dasar Kehujjahan
Qiyas
Sebagian ulama sunni
berpendapat bahwa qiyas adalah salah satu sumber hokum islam. Ulama yang menjadikan
qiyas sebagai sumber hokum (musbitul qiyas) dan mereka mempunyai dasar yang
kuat baik dari nash maupun dari akal.[14]
Dalam Al-Quran terdapat
banyak ayat yang menyuruh manusa untuk menggunakan akalnya. Firman allah SWT:
Artinya:
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk
menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.”(QS.
Al-Hasyr: 2)
3)
Istihsan
a.
Pengertian
Istihsan
Menurut bahasa istihsan
berarti menganggap baik. Sedangkan menurut istilah ahli ushul yang dimaksud
dengan istihsan adalah ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang
dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy
(samar-samar), atau dari hukum kully (umum) kepada hukum yang bersifat
istisna’i (pengecualkian), karena ada dalil syara’ yang menghendaki perpindahan
itu.
b.
Kedudukannya
sebagai sumber hukum islam
Jumhur ulama menolak
berhujjah dengan istihsan, sebab berhujjah dengan istihsan berarti menetapkan
hukum berdasarkan waktu. Golongan Hanafiyah membolehkan berhujjah dengan
istihsan. Menurut mereka, berhujjah dengan istihsan hanyalah berdalilkan qiyas
khafy yang dikuatkan terhadap qiyas jaly atau menguatkan satu qiyas terhadap
qiyas lain yang bertentangan dengannya berdasarkan dalil yang menghendaki
penguatan itu. Atau berdalilkan Maslahat untuk mengecualikan sebagian dari
hukum kully.
4)
Istishab
a.
Pengertian
Istishab
Istishab adalah
mengambil hukum yang telah ada atau ditetapkan pada masa lalu dan tetap dipakai
hingga masa-masa selanjutnya, selama tidak ada yang mengubahnya. Atau
sebaliknya, apa yang tidakditetapkan di masa lalu, terus demikian keadaannya
sampai ada dalil yang menetapkan hukumnya.[15]
b.
Kedudukannya
sebagai sumber hukum islam
a) Menjadikan
istishab sebagai pegangan dalam menuntukan hukum sesuatu peristiwa yang belum
ada hukumnya, baik dalam Al-Quran, as-sunnah maupun ijma.
b) Menolah
istishab sebagai pegangan dalam menetapkan hokum.[16]
5)
Mashalihul
Mursalah
a.
Pengertian
Mashalihul Mursalah
Mashalih bentuk jama
dari mashlahah, artinya kemaslahatan, kepentingan. Mursalah berarti terlepas.
Dengan demikian mashalihul mursalah berarti kemaslahatan yang terlepas.
Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan kepada kemaslahatan, yaitu manfaat
bagi manusia atau kemadharatan atas mereka. Al Khawarizmi menyatakan bahwa
mashlahah ialah menjaga tujuan syara’ dengan jalan menolok mafsadat (kerusakan)
atau madharat dari makhluk.
b.
Syarat-syarat
berpegang kepada Mashalihul Mursalah
1. Maslahat
itu harus jelas dan pasti dan bukan hanya berdasarkan kepada prasangka.
2. Maslahat
itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
3. Hukum
yang ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau
prinsip yang telah ditetapkan dengan nas atau ijma.
c.
Kedudukannya
sebagai sumber hukum islam
1. Jumlah
ulama menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan :
1) Bahwa
dengan nas-nas dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperhatikan
kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun kemaslahatn manusai yang tidak
diperhatikan oleh syariat melalui petunjuknya.
2) Pembinaan
hukum islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu
bagi kenginan hawa nafsu.
2. Imam
Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Namun menurut imam Syafi’i
boleh berpegang kepada mashalihul mursalah apabila sesuai dengan dalil kully
atau dalil juz’iy dari syara. Pendapat kedua ini berdasarkan :
1) Kemaslahatan
manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya, jika pembinaan hukum
dibatasi hanya pada maslahat-maslahat yang ada petunjuknya dari syar’I (Allah),
tentu banyak kemaslahatan yang tidak ada status hukumnya pada masa dan tempat
yang berbeda-beda.
2) Para
sahabat dan tabi’in serta mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan
maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syar’i. Misalnya membuat penjara,
mencetak uang, mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al-Quran dan sebaginya. [17]
6)
Al-‘Urf
a.
Pengertian
Al-Urf
Al-‘Urf adalah segala
sesuatau yang sudah saling dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat dan
sudah menjadi adat istiadat, baik nerupa perkataan , perbuatan maupun
meninggalkan. Atau juga Urf adalah sikap perbuatan dan perkataan yang biasa
dilakukan oleh manusia seluruhnya.[18]
Menurut ahli syar’i
bahwa antara adat istiadat dengan ‘Urf amali itu tidak ada bedanya. Diantara
contoh ‘Urf amali ialah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian
dan tidak mengucapkan sighat yang diucapkan. Contoh ‘Urf Qauly ialah orang
telah mengetahui bahwa kata arrajul itu untuk laki-laki, bukan untuk
perempuan.
b.
Macam-macam
Al-Urf
Secara
garis besar Al-‘Urf terbagi menjadi dua yaitu :
1. ‘Urf
shahih, yaitu apa yang telah dikenal orang tersebut tidak bertentangan dengan
syari’at, tidak menghalalkan yang haram, dan tidak menggugurkan kewajiban.
Misalnya orang telah mengerti bahwa orang yang melamar itu menyerahkan sesuatu
kepada perempuan yang dilamar, berupa emas dan pakaian.
2. ‘Urf
fasid, yaitu apa yang dikenal itu bertentangan dengan syara. Contoh nya orang
mengetahui bahwa untuk menduduki suatu jabatan itu dengan memberikan uang sogokan (risywah).
7)
Syar’u
Man Qablana
a.
Pengertian
Syar’u man Qablana
Syar’u man qablana
adalah syari’at yang diturunkan kepada orang-orang sebelum kita, yaitu ajaran
agama sebelum datangnya islam dan telah terjadi pada sebalum masa nabi Muhammad
SAW., kemudian syari’at itu masih digunakan.[19]
Pada dasarnya syari’at
yang diturunkan untuk dijadikan pedoman hidup manusia, sejak dahuku hingga
masa-masa selanjutnya bersumber dari satu yaitu Allah. Namun karena masa turun
dan keadaan pemakaiannya berbeda, maka kententuan-ketentuan dalam syariat itu
juga mengalami penyesuaian. Karenannya, di antara isi syrai’at tersebut ada
yang berlaku terus untuk umat selanjutya dan ada yang tidak.[20]
b.
Pembagian
dan hukumnya
1) Apa
yang disayriatkan kepada mereka juga ditetapkan kepada umat Nabi Muhammad, baik
penetapannya itu melalui perintah melaksanakan, seperti puasa, maupun melalui
kisah, seperti qishash.
2) Apa
yang disyariatkan kepada mereka tidak disyariatkan kepada kita. Misalnya yang
disyariatkan kepada Nabi Musa, seperti “Dosa orang jahat itu tidak akan
terhapus selain membunuh dirinya sendiri” dan “pakaian yang terkena najis itu
tidak suci kecuali harus dipotong bagian yang terkena najis tersebut”. Terhadap
syariat jenis kedua ini pada ulama sepakat untuk ditinggalkan, karena syariat
kita telah menghapusnya.[21]
8)
Saddudz
Dzari’ah
a.
Pengertian
Sadudz Dzari’ah
Dzarai’ jama dari kata
dzari’ah artinya jalan. Saddudz dzari,ah berarti menutup jalan. Menurut istilah
ulama ushul fiqh bahwa yang disebut dengan dzaria’ah ialah masalah yang
lahirnya boleh (mubah) tetapi dapat membuka jalan untuk melakukan perbuatan yang
dilarang.
Dengan
demikian, saddudz dzari’ah berarti melarang perkara-perkara yang lahirnya
boleh, karena ia membuka jalan dan menjadi pendorong kepada perbuatan-perbuatan
yang dilarang oleh agama. Seperti melarang perbuatan/ permainan judi tanpa uang
.
b.
Kedudukannya
sebagai sumber hukum islam
1) Menurut
Imam Malik bahwa saddudz dzari’ah dapat dijadikan sumber hukum, sebab sekalipun
mubah akan tetapi dapat mendorong dan membuka perbuatan-perbuatan yang dilarang
oleh agama.
Al-Qurtubi,
seorang ulama Madzhab Maliki menyatakan : “sesungguhnya apa-apa yang dapat
mendorong terjerumus kepada perkara yang dilarang (maksiat) adakalanya secara
pasti menjerumuskan dan tidak pasti menjerumuskan.”
Yang
pasti menjerumuskan kepada maksiat bukanlah termasuk suddudz dzari’ah tetapi
harus dijauhi, sebab perbuatan maksiat wajib ditinggalkan. Yang tida pasti
menjerumuskan kepada maksiat, itulah yang termasuk suddudz dzari’ah.
Guna
menjauhkan diri dari terjerumus kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
agam, maka kita wajib menjauhkan diri dari perkara-perkara yang lahirnya mubah,
tetapi lambat laun dapat membawa dan mendorong kita kepada perbuatan maksiat.
2) Menurut
Imam Abu Hanafi dan Imam Syafi’I, bahwa saduddz dzari’ah tidak dapat dijadikan
sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap
diperlakukan sebagai mubah.
Hadis
nabi Muhammad SAW:
Artinya:
“Tinggalkan
apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan.”
Artinya:
“Bagi siapa yang berputar-putar di
sekitar larangan (Allah) lama kelamaan dia akan melanggar larangan tersebut.”
9)
Madzhab
Shahabi
a.
Pengertian
Mazhab Shahabi
Mazhab Shahaby ialah
fatwa-fatwa para sahabat megenai berbagai masalah yang dinyatakan setelah
rasulullah SAW wafat. Fatwa-fatwa mereka itu ada yang telah dikumpulkan oleh
para tabi’in sebagaimana mereka mengumpulkan hadist-hadist Rasulullah.
Fatwa-fatwa sahabat ini ada yang berdasarkan ijtihad mereka, yang terbagi
menjadi dua, yaitu hasil ijtihad yang mereka sepakati (ijma sahaby) dan hasil
ijtihad yang tidak disepakati.
b.
Kedudukan
Mazhab Shahabi
1) Mazhab
sahabat yang berdasarkan kepada sabda dan perbuatan serta ketetapan Rasul wajib
ditaati, sebab hakekatnya ia merupakan Sunnah Rasul.
2) Mazhab
sahabat yang berdasakan hasil ijtihad tetapi telah mereka sepakati (ijma
sahaby) dapat dijadikan hujah dan wajib ditaati, sebab mereka di samping dekat
dengan Rasul, mereka mengetahui rahasia-rahasia tasyri’ dan mengetahui
perbedaan pendapat mengenai peristiwa yang sering terjadi. Contoh Mazhab
sahabat yang telah mereka sepakati, antara lain ialah mengenai bagian harta
waris bagi nenek, yaitu seperenam.
3) Mazhab
sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadikan hujah dan tidak wajib
diikuti. Abu Hanifah dan Imam Syafi’i menyatakan : “tidak melihat seorang pun
ada yang menjadikan perkataan sahabat untuk dijadikan hujjah”, sebab perkataan
sahabat tersebut didasarkan kepada ra’yu dan di antara sahabat sendiri juga
berbeda pendapat, dan mereka tidak luput dari keslahan.[22]
10) Dalalatul Iqtiran
a.
Pengertian
Dalalatul Iqtiran
Dalalatul Iqtiran ialah dalil-dalil yang
menunjukan kesamaan hukum terhadap sesuatu yang disebutkan bersamaan dengan
sesuatu yang lain.
b.
Kedudukanya
sebagai sumber hukum islam
1) Jumhur
ulama berpendapat bahwa dalalatul iqtiran tidak dapat dijadikan hujjah, sebab
bersamaan dalam satu susunan tidak mesti bersamaan dalam hukum.
2) Abu
Yusuf dari golongan Hanafiyah, Ibnu Nashar dari golongan Malikiyah, dan Ibnu
Hurairah dari kalangan Syafi’iyah menyatakan dapat dijadikan hujjah. Alasan
mereka bahwa sesungguhnya ‘athaf itu menghendaki musyarakah. [23]
[1] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2, (Jakarta: 2010), hlm.143
[2] Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor: Galia Indonesia, 2010), hlm.84
[3] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2, (Jakarta: 2010), hlm.146
[4] Mustafa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.13
[5] Daud Ali, Mohammad, Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm.98
[7] MGMP Madrasah Aliyah, Fiqih, (Sragen: Akik Pusaka, 2008), hlm.23
[8] Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor: Galia Indonesia, 2010), hlm.86
[12] MGMP Madrasah Aliyah, Fiqih, (Sragen: Akik Pusaka, 2008), hlm.29
[13] MGMP Madrasah Aliyah,
Fiqih, (Sragen: Akik Pusaka, 2008),
hlm.31
[16] MGMP Madrasah Aliyah, Fiqih, (Sragen: Akik Pusaka, 2008), hlm.44
[19] Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor: Galia Indonesia, 2010), hlm.94
[20] MGMP Madrasah Aliyah, Fiqih, (Sragen: Akik Pusaka, 2008), hlm.47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar