BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum dan masyarat merupakan dua aspek yang tidak terpisahkan.
Dimanaada masyarakat disitu ada hukum. Aristoteles menyatakan bahwa manusia
adalah zoonpoliticon, artinya bahwa manusia pada dasarnya selalu ingin bergaul
dan berkumpuldengan sesamanya. Jadi manusia adalah makluk yang suka
bermasyarakat. Untukmencapai hidup teratur,
aman dan terjamin
hak-hak masyarakat maka
diperlukanhukum. Menurut paham positivisme bahwa, hukum adalah suatu perintah dari merekayang memegang kekuasaan
tertinggi atau memegang kedaulatan. Hukum dianggapsebagai suatu sistem yang logis,
tetap, dan bersipat closed logical system.
Aliran positivisme hukum
yaitu the pure law teori memandang bahwa konseppenerapan hukum harus bersih
dari anasir-anasir non yuridis seperti sosiologis, politis,historis dan etika.
Peraturan hukum selalu merupakan hukum positif (tertulis). Dariunsur sosiologis berarti bahwa ajaran Hans
Kelsen tidak memberikan tempat bagihukum kebiasaan yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat. Sedangkan dari unsur etis
konsepsi hukum Hans Kelsen tidak memberi tempat bagi berlakunya hukumalam.
Etika memberikan suatu penilaian tentang baik buruknya suatu perbuatan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Mengetahui
Hukum Alam ?
2.
Mengetahui
Mazhab Sejarah (Aliran & Sejarah)?
3.
Mengetahui
Teori Kedaulatan Tuhan?
4.
Mengetahui
Teori Kedaulatan Rakyat?
5.
Mengetahui
Teori Kedaulatan Negara?
6.
Mengetahui
Teori Kedaulatan Hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori Hukum
Alam
Hukum alam (Natural Law atau Law of Nature) adalah sistem hukum
yang konon ditentukan oleh alam, dan oleh karenanya bersifal universal.
Teori-teori Hukum Alam dapat dibagi atas beberapa macam yaitu:
1.
Hukum Alam yang
bersifat otoriter dan yang bersifat fakultatif. Hukum Alam sebagai hukum yang
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum positif (ius constitutum),
di lain sisi Hukum Alam sebagai cita-cita (ius constituendum) dengan mana hukum
positif harus disesuaikan;
2.
Hukum Alam yang
progresif (maju/ dinamis) dan yang konservatif (kaku/ statis). Teori ini
diilhami oleh dua macam cita-cita, pertama, adanya ketertiban/ keteraturan
(order) yang menguasai umat manusia yang nantinya melahirkan hukum positif,
kedua, hak-hak azazi yang tidak dapat dipisahkan dari orang perorang yang
nantinya melahirkan hukum-hukum yang sosiologis.
3.
Hukum Alam yang
relijius/ agamis dan yang profane/ rasionalis. Hukum Alam memberi ilham kepada
kaum relijius/ agamis, dilain sisi ia juga mengilhami teori-teori kaum
Individualistis.
4.
Hukum Alam yang
bersifat mutlak/ absolut dan yang bersifat relative/ nisbi. Feodalisme yang
mencerminkan hukum absolute atau hukum Jawa Kuno dengan ungkapan “sabda
pandhito ratu”.
Para tokoh hukum alam mengungkapkan kenapa manusia tunduk dan taat
pada hukum.
Menurut Aristoteles :
1.
hukum berlaku
karena penetapan Negara
2.
hukum tidak
tergantung pada pandangan manusia tentang baik buruknya
3.
hukum alam
sebagai hokum yang asli berlaku dimana saja tidak tergantung waktu dan tempat ,
orang-orang yang berfikiran sehat merasakan hokum alam selaras dengan kodrat
manusia.
Menurut Thomas Aquino : segala kejadian dalam ini di perintah dan
dikendalikan oleh suatu UU abadi ( lex eterna) yang menjadi dasar kekuasaan
dari semua peraturan lainnya . lex aterna = kehendak pikiran tuhan yang
menciptakan dunia ini.
Menurut Thomas Aquino pula hokum alam memuat dua azas yaitu
:
1.
azas umum (
principia prima) : azas yang dengan sendirinya dimiliki manusia sejak lahir dan
mutlak diterima ( contoh : berbuat baik) .
2.
azas diturunkan
dari azas umum ( principia secundaria) : azas yang merupakan tapsiran dari
principia prima yang dilakukan manusia.
Hugo De Groot/ grotius
dalam bukunya de jure oc pacis bahwa sumber hokum alam adalah akal manusia.
B.
Mazhab Sejarah
(Aliran Sejarah)
Mazhab Sejarah lahir pada awal abad
ke-19, yaitu pada tahun 1814. Lahirnya mazhab ini ditandai dengan
diterbitkannya manuskrip yang ditulis oleh Friedrich Karl von Savigny yang
berjudul “Vom Beruf unserer Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenschaft”
(tentang seruan masa kini akan undang-undang dan ilmu hukum) . Friedrich Karl
von Savigny dipandang sebagai perintis lahirnya mazhab Sejarah .
Mazhab
sejarah ini muncul akibat reaksi terhadap para pemuja hukum alam atau hukum
kodrat yang berpendapat bahwa hukum alam itu bersifat rasionalistis dan berlaku
bagi segala bangsa serta untuk semua tempat dan waktu. Mazhab sejarah ini
berpendapat bahwa tiap-tiap hukum itu ditentukan secara historis, selalu
berubah menurut waktu dan tempatnya.
Alasan-alasan
kritik terhadap rekonstruksi paradigma hukum, menggugat kembali gagasan-gagasan
peristiwa teori-teori mazhab sejarah hukum masa lampau tentunya dianggap
penting dan bermakna dalam teori hukum kekinian. Hal ini, sebagaimana L.J
Van Apeldoorn menyebutkan sejarah adalah:
“Sesuatu
proses, jadi bukan sesuatu yang berhenti, melainkan sesuatu yang bergerak,
bukan mati melainkan hidup. Segala yang hidup selalu berubah. Demikian
masyarakat manusia, dan demikian juga bagian dari masyarakat yang kita sebut
hukum. Di tinjau dari sudut ilmu pengetahuan, hukum adalah gejala sejarah: Ia
mempunyai sejarah, hukum sebagai sejarah berarti tunduk pada pertumbuhan yang
terus-menerus.”[1]
Argumentasi ini dipertajam lagi oleh Friederich Karl von Savigny
yang melahirkan mazhab sejarah menekankan bahwa:
“Hukum tidak
berlaku universal, setiap bangsa memiliki kesadaran hukum, kebiasaan, budaya
yang berbeda dengan bangsa lain yang dapat ditemukan dalam jiwa bangsa. Hukum
dapat dikenali dalam ciri khas sebuah bangsa, seperti bahasa, tata krama dan
konstitusi. Hukum tumbuh melalui sebuah perkembangan dan menguat dengan
kekuatan rakyat dan akhirnya lenyap sebagaimana kehilangan rasa kebangsaannya.”
Pemikiran Lawrence
Friedman, keberadaan hukum sebaiknya dipahami dalam konteks sistemik.
Artinya, hukum harus dilihat sebagai suatu sistem terdiri atas beragam unsur
antara lain:
- Substansi, merupakan nilai, norma, ketentuan atau aturan hukum yang dibuat dan dipergunakan untuk mengatur perilaku manusia.
- Struktur, berupa kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung teraktualisasinya hukum
- Kultur, menyangkut nilai-nilai, sikap, pola perilaku para masyarakat dan faktor nonteknis merupakan pengikat sistem hukum tersebut.
Selain itu alasan lahirnya mazhab
sejarah ini yaitu:
- Adanya rasionalisme abad 18, yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip-prinsip yang semuanya berperan pd filsafat hukum, karena mengandalkan jalan pikiran deduktif tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan dan kondisi nasional
- Semangat Revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi cosmopolitan (kepercayaan kepada rasio dan kekuatan tekad manusia untuk mengatasi lingkungannya).
- Adanya pendapat yang melarang hakim menafsirkan hukum karena UU dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum.
- Kodifikasi hukum di Jerman yang diusulkan Thibaut (guru besar Heidelberg): hukum tidak tumbuh dari sejarah.
Dikotomi
pemikiran-pemikiran paradigma teori hukum yang dikemukakan Savigny maupun
Friedman, dapatlah dipahami betapa pentingnya budaya hukum dalam hukum adat dan
pluralisme hukum. Hukum yang ideal harus sesuai dengan budaya hukum di
masyarakat (living law) berupa hukum adat atau hukum kebiasaan dalam
pembentukan hukum. Dengan demikian, bila ada hukum dan ketentuan
perundang-undangan yang tidak menyatu atau seirama dengan budaya hukum
masyarakat, maka hukum tersebut sulit ditegakkan.
Artinya, hukum adat dan pluralisme
hukum merupakan kesatuan hukum dan fakta yang tidak dapat dipisahkan dan
mengikuti aliran pemikiran teori relisme hukum. Konsekuensinya, hukum
memerlukan kesatuan kehendak (unity of will). Sebab, kesatuan dalam penerapan
(unity of enforcement) mensyaratkan kesatuan kehendak. Hal ini, tentunya
terjadi perbedaan pendapat antara paradigma realisme hukum dengan aliran
legisme hukum. Bagi pengikut aliran kaum legisme, hukum itu eksis karena adanya
perintah penguasa. Karena hukum bersifat imperatif maka pasti akan
implementatif, meskipun masyarakat menolak untuk mematuhi dengan alasan
bertentangan dengan budaya hukum.
Hukum saat ini sebagai akumulasi
kebijaksanaan dari pemikir besar masa lampau, tetapi hukum juga sangat diwarnai
disiplin kontemporer. Hukum sebagai sistem norma dan juga sebagai bentuk
kontrol sosial berdasar pada pola tertentu dari perilaku manusia. Hukum
bersumber pada hukum yang lebih tinggi dan diarahkan oleh akal dan tidak dibuat
tapi hukum harus ditemukan, sebab hukum sudah ada hubungan antara hukum dan
moral masih sangat penting.
Paradigma semacam ini melahirkan
asas hukum lex superior derogate legi inferior, artinya hukum yang lebih tinggi
mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Asas ini didukung lagi oleh asas lex
posterir derogat lex prio dan lex specialis derogat lex generalis. Pada hakikatnya, penempatan
hukum itu ada untuk diberlakukan. Maka bila hukum yang ada tidak berlaku
berarti ketentuan tersebut telah berhenti menjadi hukum. Dengan demikian, hukum
tersebut menjadi peraturan tertidur (slapende regeling).
Ada beberapa tokoh mazhab sejarah
dalam hal ini, antara lain yaitu:
- Frederic Carl Von Savigny
Mazhab
sejarah ini timbul dari tahun 1770-1861. Carl Von Savigny menganalogikan
timbulnya hukum seperti timbulnya bahasa suatu bangsa dengan segala ciri dan
kekhususannya.
Oleh karena
hukum merupakan salah satu faktor dalam kehidupan bersama suatu bangsa, seperti
bahasa, adat, moral, dan tatanegara. Sehingga hukum merupakan sesuatu yang
bersifat supra-individual, suatu gejala masyarakat. Menurutnya hukum timbul
bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, tapi karena perasaan
keadilan yang terletak didalam jiwa bangsa itu.
Jiwa bangsa
merupakan sumber hokum. Hukum tidak dibuat, tapi tumbuh dan berkembang bersama
masyarakat, ia mengingatkan untuk membangun hukum studi terhadap sejarah suatu
bangsa mutlak dilakukan.
Hukum
berasal dari adat istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari pembentuk
undang-undang. Oleh karena pada permulaan, waktu kebudayaan bangsa-bangsa masih
bertaraf rendah, hukum timbul secarah spontan dengan tidak sadar dalam jiwa
warga bangsa. Kemudian sesudah kebudayaan berkembang, semua fungsi masyarakat
dipercayakan pada suatu golongan tertentu. Demikianlah pengolahan hukum
dipercayakan kepada kepada kaum yuris sebagai ahli-ahli bidangnya.
2.
Puchta
Mazhab
sejarah ini timbul dari tahun 1798-1846. Puchta merupakan murid dari Carl Von
Savigny yang berpendapat bahwa hukum terikat pada Jiwa bangsa yang bersangkutan
dan dapat berbentuk adat istiadat, undang-undang dan karya ilmiah para ahli
hukum.
3. Henry Summer
Maine (1822-1888).
Mazhab
sejarah dari Henry Summer Maine ini lahir pada tahun 1822-1888. Sumbangan Henry
Summer Maien bagi studi hukum dalam masyarakat, terutama tampak dalam penerapan
metode empiris, sistematis dan sejarah untuk menarik kesimpulan umum. Maine
mengatakan masyarakat ada yang statis dan ada yang progresip.
Masyarakat progresip adalah yang mampu mengembangkan hukum misalnya melalui
Perundang-undangan.
C.
Teori Kedaulatan Tuhan
Teori
kedaulatan Tuhan dimana kekuasaan yang tertinggi ada pada Tuhan, jadi
didasarkan pada agama. Teori-teori teokrasi ini dijumpai, bukan saja di dunia
barat tapi juga di timur. Sehingga dapat dikatakan bahwa kekuasaan teokrasi
dimiliki oleh hampir seluruh negara pada beberapa peradaban. Apabila pemerintah
negara itu berbentuk kerajaan (monarki) maka dinasti yang memerintah disana
dianggap turunan dan mendapat kekuasaannya dari Tuhan. Misalnya jika Tenno
Heika di Jepang dianggap berkuasa sebagai turunan dari Dewa matahari.
Teori
kedaulataan tuhan menurut sejarahnya berkembang pada zaman abad pertengahan
yaitu antara abad ke-5 sampai abad ke-15 di dalam perkembangannya teori ini
sangat erat hubungannya dengan perkembangna agama baru yang timbul pada saat
itu yaitu agama keristen. Yang kemudian diorganisasikan dalam satu organisasi
keagamaan. Yaitu gereja yang dikepalai seorang paus. Tooh-tokoh penganut
teokrasi adalah : Augustinus (354-430), Thomas Aquinas (1215-1274),F.Hegel
(1770-1831), F.J.Stahl (1802-1861) dan Marsillius.
Sedangkan
menurut Ahmad Azhar Basyir, predikat teoraksi tidak dapat diterima, sebab islam
tidak mengenal adanya kekuasaan negara yang menerima limpahan dari tuhan.
Menurutnya kekuasaan negara berasal dari umat dan penguasaannya bertanggung
jawab pad aumat.
Menurut
ajaran islam. Kedaulatan hanya milik Allah semata, dan hany Dia-lah pemberi
hukum dalam negara islam. Organisasi-organisasi politik itu disebut khilafah. Manusia merupakan khalifah tuhan di
muka bumi dan memiliki tugas untuk melaksanakan dan menegakkan perintah dari
pemegang kedaulatan.
Teori
kedaulataan tuhan merupakan teori yang mengajarkan bahwa negara dan pemerintah
mendapat kekuasaan tertinggi dari tuhan sebagai asal segala sesuatu (causa
prima ).menurut teori kedaulatan tuhan, kekuasaan yang berasl dari tuhan itu
diberikan kepada tokoh-tokoh negara
terpilih yang secara kodrati diterapkan-Nya menjadi pemimpin negara dan berperan selaku
wakil tuhan di dunia.
Teori ini
umumnya di anut oleh raja-raja yang mengaku sebagai keturunan dewa misalnya
para raja mesir kuno, kaisar Jepang, Kaisar China, Raja Belanda, Raja
Ethiopia,. Demikian pula dianut oleh raja jawa zaman hindu yang menganggap diri
mereka sebagai penjelma dewa wisnu. Ken Arok bahkan menganggap dirinya sebagai
titisan Brahmana, Wisnu, Syiwa.
Karena
berasal dari tuhan maka kedaulatan
negara besifat mutlak dan suci. Seluruh rakyat harus setia dan patuh kepada
raja yang melaksanakan kekuasaan atas nama dan untuk kemulaan tuhan. Menurut
Hegel raja adalah manifestasi keberadaan tuhan.maka, raja atau pemerintah
selalu benar, tidak mungkin salah.
D.
Teori
Kedaulatan Rakyat
Teori kedaulatan rakyat berpandangan bahwa rakyatlah menjadi raja
sebagai penentu kebijakan publik (public policy). Kedaulatan rakyat
dilaksanakan oleh sistem demokrasi. Demokrasi sendiri berasal dari kata Demos =
rakyat dan Cratein = pemerintahan. John Lock sebagai pencetus kedaulatan rakyat
sangat mengidam-idamkan terwujudkan kedaulatan rakyat. Dia menggambarkan bahwa
terbentuknya sebuah negara berdasarkan kontrak sosial yang terbagi atas dua
bagian yaitu factum unionis (perjanjian antar rakyat) dan factum subjectionis
(perjanjian antara rakyat dengan pemerintah). Hal inilah yang mendasari teori
liberalisme.
Konstitusi RI yaitu UUD 1945 telah menyebutkan dalam Pembukaan UUD
1945: “… susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat…”
selanjutnya pasal 1 ayat (2) berbunyi: “kedaualtan adalah ditangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” .
Pernyataan di atas dengan tegas Indonesia menganut kedaulatan
rakyat. Salah satu pelaksanaan dari kedaulatan rakyat adalah pemilihan umum
yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pemilu tahun 2004 terakhir kali
merupakan pemilu yang baru dilasanakan berbeda dari pemilu sebelumnya. Pemilu
2004 memberikan kebebasan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memilih salah
satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kejadian ini merupakan
kejadian yang belum pernah terjadi dalam ketatanegaraan Republik Indonesia.
Dalam isu kedaulatan rakyat, pemikir yang seringkali dirujuk adalah
JJ Rousseau. Dalam bukunya Contract ,Sodale (1763), Rousseau berpendapat bahwa
manusia dengan moralitas yang tidak dibuat-buat justru waktu manusia berada
dalam keluguan. Sayangnya, keluguan ini hilang ketika membentuk masyarakat
dengan lembaga-lembaganya. Pada saat itu, manusia beralih menjadi harus taat
pada peraturan yang dibuat oleh penguasa yang mengisi kelembagaan dalam
masyarakat. Peraturan itu menjadi membatasi dan tidak bermoralitas asli karena
dibuat oleh penguasa. Dengan demikian, manusia menjadi tidak memiliki dirinya
sendiri.
Bagaimana cara mengembalikan manusia kepada keluguan dengan
moralitas alamiah dan bermartabat? Menurut Rousseau hanya ada satu jalan:
kekuasaan para raja dan kaum bangsawan yang mengatur masyarakat barus
ditumbangkan dan kedaulatan rakyat harus ditegakkan. Kedaulatan rakyat berarti
bahwa yang berdaulat terhadap rakyat hanyalah rakyat sendiri. Tak ada orang
atau kelompok yang berhak untuk meletakan hukumnya pada rakyat. Hukum hanya sah
bila ditetapkan oleh kehendak rakyat.
Faham kedaulatan rakyat adalah penolakan terhadap faham hak raja
atau golongan atas untuk memerintah rakyat. Juga, penolakan terhadap anggapan
bahwa ada golongan-golongan sosial yang secara khusus berwenang untuk mengatur
rakyat. Rakyat adalah satu dan memimpin dirinya sendiri.
Akan tetapi pertanyaan berikutnya adalah: yang manakah kehendak
rakyat itu? Bukankah rakyat adalah ratusan juta individu (di Indonesia) yang
masing-masing punya kemauan dan jarang sekali atau tak pernah mau bersatu?
Rousseau menjawab pertanyaan ini dengan teori Kehendak Umum.
Menurut teori ini: sejauh kehendak manusia diarahkan pada kepentingan sendiri
atau kelompoknya maka kehendak mereka tidak bersatu atau bahkan berlawanan.
Tetapi sejauh diarahkan pada kepentingan umum, bersama sebagai satu bangsa,
semua kehendak itu bersatu menjadi satu kehendak, yaitu kehendak umum.
Kepercayaan kepada kehendak umum dari rakyat itu lah yang menjadi
dasar konstruksi negara dari Rousseau. Undang-undang harus merupakan ungkapan
kehendak umum itu. Tidak ada perwakilan rakyat oleh karena kehendak rakyat
tidak dapat diwakili.
Rakyat sendiri harus berkumpul dan menyatakan kehendaknya melalui
perundangan yang diputuskannya. Pemerintah hanya sekedar panitia yang diberi
tugas melaksanakan keputusan rakyat. Karena rakyat memerintah sendiri dan
secara langsung, maka tak perlu ada undang-undang dasar atau konstitusi. Apa
yang dikehendaki rakyat itu lah hukum.
Dengan demikian, negara menjadi republik, res publica, urusan umum.
Kehendak umum disaring dari pelbagai keinginan rakyat melalui pemungutan suara.
Keinginan yang tidak mendapat dukungan suara terbanyak dianggap sebagai tidak
umum dan akihirnya harus disingkirkan. Kehendak yang bertahan sampai akhir
proses penyaringan, itulah kehendak umum.
Untuk memahami kehendak umum menurut Rossesau diperlukan virtue,
keutamaan. Orang harus dapat membedakan antara kepentingan pribadi dan
kelompoknya di satu pihak dan kepentingan umum di lain pihak. Jadi untuk
berpolitik dan bernegara diperlukan kemurnian hati yang bebas dari segala
pamrih. Berpolitik menjadi masalah moralitas.
Dalam perkembangannya, teori kehendak umum yang digunakan untuk
menjelaskan kedaulatan rakyat memiliki dua kelemahan, sebagaimana disebutkan
oleh Franz Magnis Suseno (1992: 83-85): Pertama, tidak dikenalnya konsep
perwakilan rakyat yang nyata. Rousseau lebih menekankan pada kebebasan total
rakyat dan berasumsi bahwa kehendak rakyat tidak dapat diwakilkan. Kedua, tidak
adanya pembatasan-pembatasan konstitusional terhadap penggunaan kekuasaan
negara
Kedua kelemahan ini telah mengantarkan pada suatu tragisme kehendak
umum, sebagaimana terjadi di Perancis, sekitar 200 tahun lampau. Pada saat itu,
kehendak bebas dan total rakyat telah menjatuhkan rezim otoriter Louis XVI
tetapi di lain sisi melahirkan suatu totalitarisme baru dari yang mengatasnamakan
"kehendak murni" rakyat. Totalitarisme itu, di bawah pimpinan
Robbespierre, telah menghadirkan suatu teror. Robbespierre mengidentifikasi
kehendaknya dengan kehendak rakyat. Ketika itu, kehendak yang tidak sama
dengannya, secara sederhana dianggap sebagai kehendak di luar "kehendak
murni" rakyat.
Perkembangan tragis dari kehendak umum ke suatu kondisi teror dari
kehendak umum terhadap kehendak minoritas, memang acap terjadi setelah fase
revolusi dilalui dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, Eric Hoffer (Hoffer:
1951), menyarankan untuk dilakukan suatu peralihan dari fase revolusioner
kepada suatu pembentukan konstitusi yang ditaati oleh rezim baru dan rakyatnya.
Prasaran Hoffer pada dasarnya melengkapi asumsi dari Rousseau
tentang perlunya suatu moralitas untuk memimpin negara. Jadi moralitas saja
tidak cukup. Kalau demikian, ini menjadi menarik. Bagaimana komposisi moralitas
masyarakat (dan penyelenggara negara) plus konstitusi dan dasar legal di
Indonesia dapat diandalkan untuk terjadinya 2 (dua) hal yang menurut Magnis,
menjadi prasyarat kedaulatan rakyat?
1.
Aplikasi
Kedaulatan Rakyat di Indonesia
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, rakyat Indonesia telah
memiliki UUD'45 yang ditetapkan sebagai konstitusi negara Indonesia. Suasana
yang tidak kondusif dalam pembuatan konstitusi tersebut, akibat banyaknya
kompromi yang harus dilakukan dengan penguasa militer Jepang serta keterbatasan
waktu, menyebabkan konstitusi yang dihasilkan banyak mengandung kelemahan.
Kelemahan tersebut bukannya tidak disadari oleh para pemimpin bangsa. Bung
Karno yang turut serta dalam penyusunan UUD'45 dengan jelas mengatakan bahwa
UUD'45 adalah UUD kilat yang harus disempurnakan nantinya. Namun adanya
keinginan kuat dari para pemimpin bangsa dan rakyat untuk mendirikan sebuah
negara Indonesia berdaulat, mensyaratkan sebuah konstitusi dari negara
Indonesia. Untuk itulah, UUD'45 dengan segala ketidaksempurnaannya diterima
dengan gembira oleh para pemimpin bangsa dan seluruh rakyat Indonesia.
Teori kedaulatan rakyat berpandang bahwa kekuasaan tertinggi di
suatu Negara ada pada rakyat, bukan Tuhan, Raja, ataupun Negara. Rakyat adalah
sumber kekuasaan negara. Penguasa atau penyelenggara negara hanyalah pelaksana
dari pada apa yang diputuskan atau dikehendaki rakyat. Munculnya teori
kedaulatan rakyat ini merupakan reaksi atas kedaulatan Tuhan, raja, dan Negara.
Teori ini mengajarkan bahwa pemilik sah kedaulatan adalah rakyat.
Dari sini muncul istilah demokrasi. Dalam prinsip negara demokrasi atau
kedaulatan rakyat ini, kekuasaan perlu dibatasi. Kemudian muncul ajaran Trias
Politika yang membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga lembaga. Ketiga lembaga
itu, adalah :
a.
Legislatif, yaitu lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan
menetapkan undang – undang.
b.
Eksekutif, yaitu lembaga yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan undang –
undang.
c.
Yudikatif, yaitu lembaga yang memiliki kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan
undang-undang.
E.
Teori
Kedaulatan Negara
Ide kedaulatan pertama kali dikemukakan oleh Jean Bodin, sarjana
Perancis, dalam bukunya ‘six books concerning on the state’. Jean Bodin hidup
pada masa permulaan pertumbuhan negara-negara nasional dan ia melihat
dimana-mana kekuasaan sentral dari negara makin lama makin tegas menampakkan
diri dalam bentuk kekuasaan raja yang supreme.
Dari keadaan yang dikonstatirnya itu ia menarik kesimpulan bahwa
inti dari statehood adalah kekuasaan tertinggi, atau souverainite. Negara
merupakan subjek Hukum Internasional yang terpenting (par Excellence) di
banding dengan subjek-subjek hukum internasional lainnya, sebagai subjek hukum
internasional Negara memiliki hak dan kewajiban menurut hukum internasional.
Menurut R. Kranenburg Negara adalah organisasi kekuasaan
yang diciptakan oleh kelompok manusia yang disebut bangsa sedangkan menurut
Logeman Negara adalah organisasi kekuasaan yang menyatukan kelompok manusia
yang disebut bangsa. (Mochtar Kusumaatmadja, 1981: 89). Selain itu menurut Hans
Kelsen Negara adalah komunitas yang diciptakan oleh suatu tatanan hukum
nasional yang membentuk komunitas ini.
Oleh sebab itu, dari sudut pandang hukum persoalan Negara tampak
sebagai persoalan tatanan hukum nasional maka kita harus menerima bahwa
komunitas yang disebut Negara adalah tatanan hukumnya, Hukum Perancis dapat
dibedakan dari hukum Swiss atau Meksiko tanpa bantuan dari hipotesis bahwa
Negara Perancis, Swiss, dan Meksiko merupakan realitas sosial yang
keberadaannya berdiri sendiri-sendiri.
Negara sebagai komunitas dalam hubungannya dengan hukum bukanlah
suatu realitas alami atau suatu realitas sosial yang serupa dengan realitas
alami seperti manusia dalam hubungannya dengan hukum. Jika ada suatu realitas
sosial yang berhubungan dengan fenomena yang disebut Negara dan oleh sebab itu
suatu konsep sosiologis yang dibedakan dari konsep hukum mengenai Negara maka
prioritas jatuh pada konsep hukum bukan kepada konsep sosiologis (Hans
Kelsen,2010: 263).
Pengertian Negara sebagai subjek hukum internasional adalah
organisasi kekuasaan yang berdaulat, menguasai wilayah tertentu, penduduk
tertentu dan kehidupan didasarkan pada sistem hukum tertentu (Sugeng Istanto
1994: 20-21). Dalam pengertian mengenai Negara tersebut walaupun memiliki
banyak pendapat dan perbedaan dalam memberikan pengertian tentang Negara tetapi
baik menurut para ahli dan konvensi Montevideo tetap memiliki persamaan bahwa
suatu Negara akan berdaulat jika memiliki.
kriteria-kriteria yang di terima oleh masyarakat internasional.
Suatu Negara dapat saja lahir dan hidup tetapi itu belum berarti bahwa Negara
tersebut mempunyai kedaulatan, kedaulatan ialah kekusaan tertinggi yang
dimiliki oleh suatu Negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan
sesuai kepentingannya asal saja kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan
hukum internasional.
Menurut teori ini negaralah sumber dan pemegang kedaulatan dalam
negara. Kekuasaan negara tidak terbatas terhadap ‘life, liberty, dan property’
warganya. Teori ini sesungguhnya merupakan bentuk baru dari teori kedaulatan
raja yang bersifat absolut, yang merupakan manipulasi politik dari teori
teokrasi.
Sesuai konsep hukum internasional kedaulatan memiliki tiga aspek
utama yaitu:
1.
Aspek ekstern
kedaulatan adalah hak bagi setiap Negara untuk secara bebas menentukan
hubungannya dengan berbagai Negara atau kelompok-kelompok lain tampa tekanan
atau pengawasan dari Negara lain.
2.
Aspek intern
kedaulatan ialah hak atau wewenang eksklusif suatu Negara untuk menentukan
bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja lembaga-lembaganya tersebut dan hak untuk
membuat undang-undang yang diinginkannya serta tindakan-tindakan untuk
mematuhi.
3.
Aspek
territorial kedaulatan berarti kekuasaan penuh dan eksklusif yang dimiliki
olehNegara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah
tersebut (Boer Mauna,2005:24).
Hak-Hak Dasar dan Kewajiban-Kewajiban Negara
Upaya masyarakat Internasional untuk mempersoalkan hak-hak dan kewajiban
kewajiban Negara-negara telah dimulai sejak abad ke-17 dengan landasan teori kontrak sosial. Pada tahun 1916
American Institute of International law (AIIL) mengadakan
seminar dan menghasilkan Declaration of the Right and Duties of Nations yang diusul dengan sebuah kajian yang
berjudul Fundamental Right and Duties of American
Republics dan sampai dirampungkannya konvensi Montevideo tahun 1933. Hasil konvensi Montevideo ini
kemudian menjadi rancangan deklarasi tentang hak dan kewajiban.
Negara-negara yang disusun oleh Komisi Hukum Internasional PBB pada
tahun 1949, Namun komisi tersebut tidak pernah berhasil menghasilkan usulan
yang memuaskan. Negara-negara.
Deklarasi prinsip-prinsip mengenai hak dan kewajiban Negara yang terkandung dalam rancangan tersebut adalah sebagai
berikut:(Huala Adolf,1996: 37-38)
Hak-hak Negara:
1.
Hak atas
kemerdekaan
2.
Hak untuk
melaksanakan juridis terhadap wilayah, orang dan benda yang berada di dalam wilayahnya
3.
Hak untuk
mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan Negara-negara lain
4.
Hak untuk
menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif
Kewajiban-kewajiban Negara:
1.
Kewajiban
Negara tidak melakukan intervensi terhadap masalah-masalah yang terjadi di
Negara lain
2.
Kewajiban untuk
tidak menggerakkan pergolakan sipil di Negara lain
3.
Kewajiban untuk
tidak menggerakkan semua orang yang berada di wilayahnya dengan memperhatikan
hak-hak asasi manusia
4.
Kewajiban untuk
menjaga wilayahnya agar tidak membahayakan perdamaian dan keamanan
internasional
5.
Kewajiban untuk
mengadakan hubungan dengan Negara-negara lain sesuai dengan hukum
internasional.
Menurut G.H. Hackworth, Negara-negara pada umumnya diklasifikasikan
di dalam Negara merdeka (independent states) dan Negara yang dinaungi
(dependent states) Istilah Negara merdeka menunjuk pada status bahwa Negara
tersebut sepenuhnya menguasai hubungan luar negerinya tampa didikte oleh Negara
lain, walaupun Negara-negara, pada umumnya berbeda dalam luas wilayah,
penduduk, kekayaan, kekuatan, dan kebudayaannya di dalam hukum internasional di
kenal ajaran persamaan kedudukan Negara-negara(doctrine of the equality of
state) dalam doktrim ini dituntut bahwa kedudukan Negara-negara adalah sama di
mata hukum walaupun terdapat perbedaan- perbedaan di antara mereka dalam berbagai
hal.(Chairul Anwar,1989:30-31)
F.
Teori
Kedaulatan Hukum
Kedaulatan
hukum adalah sebuah teori kedaulatan yang diungkapkan oleh Krabbe sebagai
bentuk penyangkalannya terhadap teori kedaulatan Negara yang terutama diajarkan
oleh madzhab Deutsche Publizisten. Teori
kedaulatan hukum menunjukkan bahwa kekuasaan yang tertinggi tidak terletak di
tangan raja dan bukan juga berada di tangan Negara, melainkan berada di tangan
hukum yang bersumber pada kesadaran hukum tiap-tiap orang sebagai anggota
masyarakat. Teori ini menyatakan bahwa hukum merupakan pernyataan penilaian
yang muncul atau bersumber pada kesadaran hukum manusia itu sendiri.
Kedaulatan
hukum menunjukkan bahwa hukum merupakan sumber kedaulatan dimana kesadaran
hukum seseorang akan membuatnya mampu membedakan mana sesuatu yang adil dan
mana sesuatu yang tidak adil. Teori ini juga dapat dikaitkan dengan prinsip Rule of Law yang dikembangkan oleh
seorang A.V. Dicey. Prinsip yang kemudian berkembang di Amerika Serikat juga
menjadi jargon The Rule of Law and Not a
Man yakni prinsip yang menganggap bukan orang yang menjadi pemimpin tetapi
hukum sebagai pemimpin itu sendiri.
Berdasarkan
pemikiran teori ini, kekuasaan pemerintah berasal dari hukum yang berlaku.
Hukumlah (tertulis maupun tidak tertulis) yang membimbing kekuasaan
pemerintahan. Etika normatif Negara yang menjadikan hukum sebagai “panglima”
mewajibkan penegakan hukum dan penyelenggara Negara dibatasi oleh hukum.
Pelopor teori Kedaulatan Hukum antara lain: Hugo de Groot, Karbe, Immanuel Kant
dan Leon Duguit.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Teori hukum terus berkembang dan berevolusi seiring dengan
perkembangan dan perubahan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat ataupun
negara, teori hukum sendiri telah banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur lain
karena kesadaran daripada pembentukan hukum itu sendiri melalui proses yang
panjang dan melibatkan kehidupan manusia itu sendiri, penulis secara pribadi
berpendapat bahwa dari historisnya teori hukum sebagian besar dijadikan alat
justifikasi dan berperan besar dalam social engineering oleh pihak-pihak
tertentu namun hal tersebut tidak dapat dihindari karena manusia pada
hakikatnya akan terus mencari hukum yang mampu menyesuaikan diri dari zaman ke
zaman dan mampu memenuhi kebutuhan manusia untuk hidup, berkeluarga, bermasyarakat
dan bernegara.
Namun pada akhirnya teori hukum akan tetap mencari bentuknya yang
mengikuti sifat manusia yang terus berubah-ubah perubahan tersebut tidak dapat
dikatakan menjadi lebih baik atau tidak, karena terjadinya pergeseran
nilai-nilai yang substansial dan mendasar, namun selama masih bisa memenuhi
kebutuhan manusia tersebut, maka teori hukum tersebut dapat berguna untuk
manusia.
B.
Saran
Teori hukum sebaiknya selalu dikembangkan oleh para ahli hukum,
karena kebutuhan dan perubahan nilai-nilai yang hidup dalam kehidupan manusia
selalu berubah-ubah tiap zaman. Hukum selalu dituntut untuk mengikuti perubahan
tersebut ataupun manusia harus dibatasi oleh hukum itu sendiri, semua
bergantung pada cita - cita dan tujuan manusia yang menciptakan teori hukum itu
sendiri.
Maka dari itu sebaiknya teori hukum dapat selalu dikembangkan hanya
melibatkan pakar hukum untuk menggali lebih dalam mengenai teori hukum secara
fundamental ataupun melibatkan ahli dari berbagai cabang ilmu pengetahuan agar
jurang antara idealisme hukum itu tercipta dan kenyataan lapangan dimana hukum
itu ditegakan tidak terlalu dalam.
DAFTAR
PUSTAKA
Dirdjosisworo, Soedjono. 1994. Pengantar Ilmu Hukum.
Jakarta: Raja Grafindo.
Ishaq. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Garfika.
L.J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Inleiding Tot de
Studio van Net Nederlandse Recht, 2001.
Rasjidi, Lili. 2007. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian I,PT. Pradnya Paramita,
Jakarta, cetakan ke delapan, 1997
[1] L.J van
Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Inleiding Tot de Studio van Net Nederlandse
Recht, 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar