A.
Sebab-sebab
perbedaan pendapat
Salah satu kenyataan
dalam fiqh adalah adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama.meskipun
demikian kebijaksanaan fiqh menetapkan bahwa perbedaan pendapat itu
disenangi,dan mendahulukan apa yang telah disepakati daripada hal-hal lain
dimana terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama.
Adapun sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah:
1.
Karena berbeda
dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah baik dalam Al-Quran maupun
hadits.
2.
Karena berbeda
tanggapanya terhadap hadits.ada hadits yang sampai kepada sebagian ulama,tetapi
tidak sampai kepada ulama yang lain.kslsu hadits tersebut diketahui oleh semua
ulama,sering terjadi sebagian ulama menerimanya sebagai haditsh sahih,sedangkan
sebagian yang lain menganggap dha,if,isadan lain sebagainya.
3.
Berbeda dalam
menanggapi kaidah-kaidah ushul.misalnya ada para ulama yang berpendapat bahwa
lapal am sudah ditakh’sis itu bisa di jadikan hujah.ulama-ulam berpendapat
bahwa mahfum itu hujah,kemudian berbeda lagi pendapatnya terhadap makhfum
mukhalafah.
4.
Berbeda
btanggapanya tentang ta’arudl(pertentangan antara dalil) dan tarjih(menguatkan
stu dalil atas dalil yang lain) Seperti:tentang nasakh dan mansukh,tentang pentakwilan,dan
lain sebagainya yang dibahas secara luas dalam ilmu ushul fiqh.
5.
Berbeda
pendapat dalam menetapkan dalil yang sifatnya ijtihadi. Ulama sepakat bahwa
Al-Quran dan Al Sunah Al-shahihah adalah sumber hukum.tetapi berbeda
pendapatnya istishan,al-maslahahnal-mursalah,pendapat sahabat,dan lain-lainya
yang[1]digunakan
dalam era berijtihad.sering pula terjadi,disepakati tentang dalilnyatetapi
penerapanya berbeda-beda.sehingga mengakibatkan hukumnya berbeda pula .
misalnya tentang Qiyas:jumhur ulama berpendapat bahwa Qiyas adalah dalil yang
bias digunakan,tetapi dalam menetapkan illat hukumnya maka berbeda pula dalam
hukumnya.
Dari keterangan diatas jelas bahwa perbedaan pendapat para ulama itu pada prisipnya
disebabkan karena berbeda dalam cara beijtihad. Berbeda dalam berijtihad
mengakibatkan berbeda dalam fiqh sebagai hasil ijtihad. Disamping itu sering
pula terjadi perbedaan pendapat akibat pengaruh lingkungan dimana ulama
tersebut hidup. Seperti Qaul Qadim dan Qawl Jadid dari Imam Al-Syafi’i. Qaul Qadim
merupakan hasil ijtihad Imam Al-Syafi’i ketika beliau hidup di bagdad.
Sedangkan Qawl Jadid merupakan hasil ijtihad imam Al-Syafi’I ketika beliau
hidup di mesir. Imam Abu Hanifah dihadapkan kepada masyarakat yang lebih maju
peradabannya di irak, sehingga di tuntut untuk berpikir secara lebih rasional
akibatnya rasionalitas lebih mewarnai mazhab Hanafi. Sebaliknya Imam Maliki
berhadapan dengan masyarakat Madinah, tempat nabi berjuang dan membangun
umatnya sehingga beliau dituntut untuk lebih mengikuti dan mempertahankan ‘urf
Ahli Madinah. Hal inilah mazhab Maliki lebih bernuasa tradisional.
Perlu ditekankan disini bahwa disamping perbedaan pendapat banyak
pula masalah yang disepakati para ulama, baik dalam hal-hal yang berkaitan
dengan dalil kulli ataupun dalil juz’i seperti wajib melakasanakan solat lima
waktu, puasa bulan Ramadhan, menunaikan zakat, naik haji bagi yang mampu, wajib
melaksanakan keadilan, melaksanakan amanah, wajib memelihara ukhuwah,
musyawarah, dan lain-lain. Haram melakukan pencurian ,perampokan, pembunuhan,
zina, minuman khamr, menuduh zin, menghina orang, melakukan riba, menipu dalam
timbangan, menjadi saksi palsu, dsb.[2]
Perbedaan pendapat ulama dalam
menetapkan hukum syar’iyah tidak hanya terjadi antar madzhab, perbedaan
pendapat ulama ini juga terjadi dalam lingkungan madzhab mereka. Banyak
orang mengingkari perbedaan pendapat ulama ini, disebabkan keyakinannya yang
menyatakan bahwa agama ini satu, syariat juga satu, kebenaran itu satu tidak
bermacam-macam dan sumber hukum hanya satu yaitu wahyu ilahi. Selanjutnya
mereka mengatakan, mengapa harus ada perbedaan pendapat, dan mengapa madzhab-madzhab
fiqh tidak menyatu?. Mereka menyangka bahwa perbedaan pendapat ulama akan
berakibat terjadinya benturan-benturan dalam syariah dan perpecahan, dan
menyamakan perbedaan pendapat ini sama seperti perpecahan yang terjadi dalam
tubuh agama Kristen yang terpecah menjadi Ortodoks, Katolik dan
Protestan.Semuannya ini adalah kesalahpahaman yang batil. Perlu diketahui bahwa
perbedaan pendapat ulama merupakan rahmat yang memberikan kemudahan bagi umat
Islam, menjadi kekayaan intelektual yang besar yang dapat dibanggakan.
Perbedaan pendapat ini hanya sebatas perbedaan far’iyah (cabang) dan
metode ilmiah, bukan dalam ushul, pondasi agama dan i’tikad.
Dalam sejarah Islam, tidak ditemukan bahwa perbedaan pendapat ini menjadi biang
perpecahan, permusuhan dan pengoyak kesatuan muslimin.
Perlu dijelaskan bahwa perbedaan
ulama hanya sebatas akibat dari perbedaan metode pengambilan hukum yang menjadi
kebutuhan pasti dalam dalam memahami hukum dari dalil-dalil syariah, seperti
perbedaan dalam masalah penafsiran nash-nash hukum berikut
penjelasan-penjelasan yang dilakukan. Hal ini disebabkan karakter bahasa Arab
yang terkadang mempunyai makna lebih dari satu, juga disebabkan riwayat hadits,
kwalitas keilmuan ulama, atau disebabkan adanya upaya ulama tertentu dalam
menjaga kemaslahatan dan kebutuhan secara umum.[3]
Berikut adalah enam penyebab penting
perbedaan pendapat ulama dalam mengambil hukum syariah:
1. Perbedaan Dalam Memaknai
lafadz-lafadz Arabiah.
Perbedaan dalam memberikan makna ini
disebabkan oleh bentuk lafadz yang global (mujmal), mempunyai banyak
makna (musytarak), mempunyai makna yang tidak bisa dipastikan khusus
atau umumnya, haqiqah dan majaz-nya, haqiqah dan 'uruf-nya,
atau disebabkan mutlaq atau muqayyad-nya, atau perbedaan I’rab.
Contoh simpel dari penyebab ini adalah pemaknaan lafadz “al-Qur’u”,
apakah dimaknai suci atau haid. Juga seperti lafaz amr (perintah),
apakah menunjukkan wajib atau sunat. Dan masih banyak contoh yang lain.
2. Perbedaan Riwayat
Perbedaan riwayat hadits yang
menjadi rujukan hukum diakibatkan oleh beberapa hal. Pertama adalah adanya
hadits yang hanya sampai kepada satu mujtahid dan tidak sampai pada mujtahid
yang lain. Kedua adalah sampainya satu hadits kepada seorang mujtahid dengan
sanad yang dla’if, sementara hadits tersebut sampai kepada mujtahid yang
lain dengan sanad yang shahih. Ketiga: Seorang mujtahid berpendapat
bahwa terdapatnya perawi dhaif dalam riwayat sabuah hadits membuat
hadits tidak dapat diterima, sedangkan mujtahid yang lain tidak demikian.
3. Adanya Perbedaan Dasar hukum
Perbedaan dasar hukum yang dimaksud
ialah dasar hukum selain al-Quran, hadits dan ijma’, seperti Istihsan,
mashalih mursalah, qaul shahabi, istishab dan sadd al-dzariah
4. Perbedaan dalam Kaidah-kaidah usul
Perbedaan ini seperti perbedaan
pendapat tentang digunakannya kaidah “al-‘am al-makhsush laisa bihujjah/lafadz
yang bermakna khusus yang dikhususkan tidak dapat dijadikan hujjah”, “Al-mafmun
laisa bihujjah/kepahaman konteks tidak bisa dijadikan hujjah” dan
lain-lain.
5. Ijtihad Menggunakan Qiyas.
Ini adalah penyebab yang paling
luas, dimana ia mempuyai dasar, syarat dan illat. Illat pun juga mempunyai
syarat dan tata cara dalam mengaplikasikannya. Semua ini menjadi potensi bagi
timbulnya perbedaan.
6. Pertentangan Dasar Hukum berikut
Tarjihnya
Masalah ini sangat luas yang menjadi
perbedaan pandangan dan menimbulkann banyak perdebatan. Masalah ini membutuhkan
ta’wil, ta’lil, kompromi (jam’u), taufiq, naskh dan lain-lain.[4]
Dengan penjelasan ini dapat
diketahui bahwa hasil ijtihad para imam madzhab tidak mungkin untuk diikuti
semua, meskipun boleh dan wajib mengamalkan salah satunya. Semua perbedaan
adalah masalah ijthadiyah, dan pendapat-pendapat yang bersifat dzanni
(dugaan), yang harus dihormati dan dianggap sama. Amatlah salah jika perbedaan
tersebut menjadi pintu timbulnya fanatisme, permusuhan dan perpecahan diantara
kaum muslimin yang telah disifati dalam al-Qur’an sebagai umat yang bersaudara
dan diperintah untuk berpegang teguh kepada tali Allah. Wallahul
Musta’an 5)
B.
Pengaruh
Perbedaan pendapat Para Ulama
Perbedaan pendapat ini sudah terjadi sejak masa Nabi,hanya saja
pada zaman nabi apabila terjadi perbedaan pendapat dikalangan sahabat yang
memberikan keputusan akhir yaitu Nabi sendiri.dengan demikian,perbedaan
pendapat dapat terselesaikan.umat pun mengikuti keputusan Nabi ini .pada zaman
sahabat terutama pada zamanKhulafa-Rasyidin,untuk masaalah-masalah yang
berkaitan dengan kemaslahatan umat
selalu dimusyawarahkan oleh Khalifah dengan anggota-anggota majelis
permusyawaratan.keputusan musyawarah ini menjadi pegangan umat.
Perbedaan pendapat dalam masalah
lainya tidak langsung berkaitan dengan kepentingan ummat.perbedaan
pendapat para ulama dalam bidang fiqh inintidak memberikan pengaruh yang
negatif sampai kezaman imam-imam mujtahidin.mereka tahu pasti dimana
dimungkinkan perbedaan pendapat,dan dimana perbedaan pendapat pada masa itu
mereka cukup toleran dan menghargai pendapat yang lain.Imam Syafi’imenghargai
pendapat Imam malik dan Imam malik juga menghargai pendapat Abu Hanifah.
Namun,setelah
orang fanatik kepada satu mazhab atau kepada satu pejndapat ulama,maka sering
perbedaan pendapat ini mengakibatkan hal-hal yang tidak pada
tempatnya.melampaui batas-batas yang harus dipegang bersama,merusak persatuan
dan kesatuan umat serta ukhwah islamiyah yang dibina oleh Rasulullah
SAW.prof.hasbi menyatakan:apabila kita perhatikan keadaan masyarakat islam
dewasa ini dan sebabnya mereka bergolong-golongan ditinjau dari segi hukum
islam niscaya nyatalah bahwa diantara sebab-sebab itu ialah perbedaan
pegangan,perbedaan anutan,dan peerbedaan anutan,dan perbedaan ikutan.dan
untunglah ditanah air kita Indonesia ini pengaruh perbedaan anutan dan golongan
tidaklah meruncing,jika dibandingkian dengan keadaan diluar negeri seperti di
india,di Persia dan lain-lain tempat.’’’pengaruh negatif dan perbedaan pendapat
ini ternyata bisa dinetralisasi dengan pendidikan yang meluaskan wawasan
berpikir tentang hikum islam,Antara lain dengan cara muqaranah al-madzahib dan
membaca kitab-kitab imam madzhab.[5]
C.
Hikmah
Perbedaan Pendapat Para Ulama
Perbedaan pendapat tidak
akan mengakibatka pengaruh yang negatif. Bahkan,perbedaan pendapat bisa
memberikan hikmah yang besar.dengan berfikir kritis dan bersikap terbuka
terhadap perbedaan pendapat para Ulama,maka perbedaan pendapat itu akan
memberikan hikmah yang besar.dengan berfikir kritis dan bersikap terbuka
terhadap perbedaan pendapat para Ulama,maka perbedaan pendapat itu akan
memberikan hikmah yang besar,berikut ini akan dikemukakan beberapa hikmah dapat
ditarik dari perbedaan pendapat tersebut.
Kita memiliki sejumlah besar hasil ijtihad yang memungkunkan untuk
memilih mana mana alternatif yang terbaik diantara pendapat para ulam yang bisa
diterapkan untuk masa sekarang ini.cra inilah yang sedang ditempuh para ahli
hokum islam.sekarang telah tebukti dalam perkembangan hokum islam terakhir.
Disamping itu dengan adanya perbedaan pendapat para ulama,kita akan
tahu alas an masing-masing ulama tentang pendapatnya tersebut,sehingga
memungkinkan kita untuk mentarjih atau cenderung kepada pendapat yang mempunyai
ulama yang ada,dengan melihat kepada cara beristinbat,akan nilai Al-Quran dan
Sunah.
Kita melihat kenyataan bahwa bagaimanapun juga selama diperkenankan
ijtihad,maka berarti diperkenankan adanya perbedaan pendapat.sebab iijtihd
mengakibatkan adanya perbedaan pendapat para ulama.ini berarti dituntut sikap
toleran terhadap kenyataan adanya perbedaan pendapat.kenyataan lain adalah umat
islam pada umumny yang tidak mampu berijtihad akan mengikuti salah satu
pendapat ulama,baik dengan cara ittiba’ maupun taklid.ini bisa dipahami karena
umat islam yang awam mempunyai I’tikad baik untuk bersikap dan bertingkah laku
sesuai dengan ajaran agama..yang tahu ajaran agama itu adalah ulama(ahli
agama).
Maka dengan ittikad baiknya itu mereka mengikuti salah seorang Ulama..apalagi
mereka sering dengar Al-Ulama warasat Al-anbiya para ulama itu adalah ahli
waris para nabi.oleh karena itu,kedudukan Ulama sangat tinggi dimata
mereka,fatwa ulama pada pandangan mereka
sama dengan fungsi dalil pada pandangan mujtahid.hal ini tampak dari
ungkapan:Qaul Al-muffi fi haqq al-am ka al-addilla fi haqq al-mujtahid.
Sekalipun keharusan
kembali kepada Al-Quran dan sunnah sudah lama dikumandangkan,dan disepakati
oleh seluruh imam mazhab,tetapi tampaknnya belum ada model thuruq al-istinbatyang
baru,akibatnya,sering terjadi adanya pendapat baru,tetapi jika diteliti
ternyata telah ada,mungkin ditemukan pada mazhab hanafi,atau maliki,atau syafi,
atau ulama lainya (Al-tharabi, Tsar,laits bin Sa,ad,dan lain-lain)cara
berintisbat untuk masalah barupun ternyata sama dengan salah satu imam
mazhab.dhahiri menekankan pada dilahir nash,sedangkan maliki dan hanafi lebih
menekankan pada kemaslahatan dan semangat ajaran,metode-metode lainya dalam
ilmu ushul fiqh.[6]
Akhirnya
dapat dinyatakan bahwa perbedaan pendapat adalah wajar dalam masalah-masalah
ijtihadiyah selama kita tetap bisa menjaga persatuan dan ukhuwah
islamiyah.perbedaan pendapat menjadi tidak wajar apabila menjurus kepada
perselisihan dan permusuhan,serta melampaui batas-batas dalil kulli.[7]
D.
MENYINGKAPI PERBEDAAN PANDANGAN
DALAM FIQIH
Perbedaan pandangan dalam
masalah-masalah fiqih di kalangan para ulama terjadi karena beberapa alasan dan
beberapa kondisi. Sikap terbaik dalam menghadapi perselisihan di antara ulama
adalah sebagaimana ayat berikut:
“Wahai orang-orang yang beriman
taatilah Allah Dan taatilah Rasulmu, dan Ulil amri Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.“ (An-Nisa: 59)[8]
Ini adalah prinsip agung yang mesti
diikuti oleh setiap muslim, yaitu mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa
maksudnya?Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan: Mujahid dan lebih
dari satu orang salaf berkata: yaitu kembalikan kepada kitabullah dan sunah
Rasul-Nya. Ini adalah perintah dari Allah ‘Azza wa Jalla bahwa semua hal
yang diperselisihkan manusia, baik perkara pokok-pokok agama dan
cabang-cabangnya, maka hendaknya perselisihan itu dikembalikan menurut
keterangan Alquran dan As-Sunnah. Sebagaimana firman-Nya: tentang sesuatu
apapun kamu berselisih, Maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Syura:10)
Maka, apa-apa yang dihukumi oleh kitabullah dan sunah Rasul-Nya, dan hal
tersebut dinyatakan benar oleh keduanya, maka itulah Al-haq (kebenaran), dan
selain itu adalah kesesatan. (Tafsir Alquran Al-‘Azhim, 2/345)
Ini yang pertama. Kemudian, jika
kedua pihak merasa pendapatnyalah yang lebih sesuai dengan Alquran dan
As-Sunnah dengan penelitian masing-masing, tanpa hawa nafsu dan fanatik, maka
hendaknya mereka memegang dan meyakini pendapatnya itu, tanpa mengingkari
pendapat saudaranya, apalagi meremehkannya, dan menyerang pihak yang berbeda.
Oleh karenanya, perlu nampaknya kita
perhatikan nasihat dan contoh baik dari para imam terdahulu dalam menyikapi
perselisihan ini.
Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam
Sufyan Ats-Tsauri, sebagai berikut:
“Jika engkau melihat seorang
melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat
lain, maka janganlah kau melarangnya.” (Imam Abu Nu’aim Al-Asbahany, Hilyatul
Auliya’, 3/133)
Berkata Imam an Nawawi Rahimahullah: “Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad,
tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh
mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari
dalam perkara yang disepakati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan,
maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang
setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para
ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar
hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah
terangkat dosanya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/131. Mawqi’ Ruh
Al-Islam)[9]
Jadi, yang boleh diingkari hanyalah
yang jelas-jelas bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’. Adapun zona
ijtihadiyah, maka hendaknya menerima dengan lapang dada dan tidak saling
mengingkari.
Imam As-Suyuthi Rahimahullah berkata
dalam kitab Al-Asybah wa An Nazhair:Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada
pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Sesungguhnya
pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’
(kesepakatan) para ulama.” (Imam As-Suyuthi, Al-Asybah wa An Nazhair,
1/285)
Berkata Asy Syaikh Dr. Umar bin
Abdullah Kamil: “Ijtihad itu, jika dilakukan sesuai dengan dasar-dasar ijtihad
dan manhaj istimbat (konsep penarikan kesimpulan hukum) dalam kajian ushul fiqh
(dasar-dasar fiqih), maka wajib menghilangkan sikap pengingkaran atas hal ini.
Tidak boleh seorang mujtahid mengingkari mujtahid lainnya, dan tidak boleh
seorang muqallid (pengekor) mengingkari muqallid lainnya, jika tidak demikian
maka akan terjadi fitnah.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al-Hiwar wal
Qawaid Al-Ikhtilaf, hal. 43. Mauqi’ Al-Islam)
Al-Ustadz Hasan Al-Banna Rahimahullah
menjelaskan -setelah Beliau menerangkan sebab-sebab perselisihan fiqih di
antara umat Islam:
“Bahwa sebab-sebab itu membuat kita
berkeyakinan bahwa upaya penyatuan dalam masalah furu’ adalah pekerjaan
mustahil, bahkan bertentangan dengan tabiat agama ini. Allah menghendaki agar
agama ini tetap terjaga dan abadi, dan dapat mengiringi kemajuan zaman. Untuk
itu agama ini harus muncul dalam warna yang mudah, fleksibel dan lentur, tidak
jumud atau keras.” (Majmu’ah Ar Rasa-il, hal. 26)
Dalam Risalah Al-Khamis beliau
juga berkata: “Bahwa perselisihan dalam masalah furu’ (cabang) merupakan
masalah yang mesti terjadi. Hal itu karena dasar-dasar Islam dibangun dari
ayat-ayat, hadits-hadits dan amal, yang kadang dipahami beragam oleh banyak
pikiran. Karena itu, maka perbedaan pendapat pun tetap terjadi pada masa
sahabat dulu. Kini masih terjadi dan akan terus terjadi sampai hari kiamat.
Alangkah bijaknya Imam Malik ketika berkata kepada Abu Ja’far, tatkala Ia ingin
memaksa semua orang berpegang pada Al-Muwatha’ (himpunan hadits karya
Imam Malik), “Ingatlah bahwa para sahabat Rasulullah telah
[1]
A.Djazuli.2004.ilmu
fiqih.Bandung: KENCANA PENADA MEDIA GROUP.
[4]
Sumber: Al-Fiqh Al-Islamy Wa
Adillatuh, Wahbah Zuhaili, Juz. 1 hlm: 83-88
[6]
Mujtaba,
Saifudin. 2012.Ilmu Fiqh Sebuah Pengantar.Jember: STAIN Jember Press
[7] Mujtaba,
Saifudin. 2012.Ilmu Fiqh Sebuah Pengantar.Jember: STAIN Jember Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar