Jumat, 20 Mei 2016

Makalah Perkembangan Ilmu Fiqh



Menurut Dr. Abdul Wahab Khallaf bahwa fiqih itu mencakup seluruh hukum syari’ah, yang berkaitan dengan berbagai tindak manusia, ucapan atau perbuatan, seluruhnya diambil dari nash-nash yang telah ada, disamping istimbath dalil-dalil syari’ah islam yang tidak terdapat nashnya yang kemudian digolongkan didalam ilmu fiqh.[1]
          Kaum muslimin pada masa kemunduran dan keterbelakangannya hingga saat ini, terbiasa menanyakan fqih tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan individual muslim. Tetapi, tidak menanyakan fiqh tentang hal-hal besar yang berkaitan dengan masa depan umat, keadaanya saat itu, dan misinya, seperti yang kita lihat sekarang mereka tidak bertanya tentang totaliterisme penguasa yang berkhianat atau penguasa yang bertangan besi yang bersikap despotic terhadap rakyat yang tertindas.[2]
          Dalam ilmu fiqh ada salah satu cabang ilmu disebut Tarikh al-Tasyru, dan berisikan sejarah serta pekembangan hukum Islam. Dalam buku-buku Tarikh al-Tasyri, biasa diadakan pembabakan atau periodesasi hukum Islam atas dasar ciri-ciri khas dan hal-hal yang menonjol pada suatu kurun waktu tertentu.
          Sejalan dengan perkembangan ilmu fiqh, sistematikanya dibagi kepada Tujuh periode yaitu : (1) Periode Rasulullah, (2) Periode Sahabat, (3) Periode Imam-imam Mujtahid, (4) Periode Taklid, (5) Periode Reformulasi Fiqh Islam, (6) Periode Kemunduran, (7) Periode Kebangunan Kembali.[3]
A.    Periode Rasulullah
1.      Masa Mekkah dan Madinah
          Periode ini dimulai sejak diangkatmya Muhammad SAW menjadi Nabi dan Rasul sampai wafatnya. Periode ini singkat hanya sekitar 22 tahun dan beberapa bulan saja. Akan tetapi, sangat menentukan. Pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu fiqh selanjutnya sangat besar sekali. Masa Rasulullah inilah yang mewariskan sejumlah nash-nash hukum baik dari Al-Qur’an maupun Al-Sunnah, mewariskan prinsip-prinsip hukum Islam baik yang tersurat dalam dalil-dalil kulli maupun yang tersirat dari semangat Al-qur’an dan As-Sunnah.
          Periode Rasulullah ini dibagi menjadi dua masa yaitu : masa Mekkah dan masa Madinah. Pada masa Mekkah, diarahkan untuk memperbaiki aqidah, karena akidah yang benar inilah yang menjadi pondasi dalam hidup. Oleh karena itu dapat kita pahami apabila pada masa itu Rasulullah memulai da’wahnya dengan mengubah keyakinan masyarakat yang musyrik menuju masyarakat yang beraqidah tauhid, membersihkan hati dan menghiasi diri dengan al-Akhlak al-Karimah. Masa Mekkah ini dimulai sejak diangkatnya Nabi Muhammad SAW menjadi Rasul sampai beliau hijrah ke Madinah yaitu dalam waktu kurang lebih selama dua belas tahun.
          Di Madinah, tanah air baru bagi kaum muslimin. Kaum muslimin bertambah banyak dan terbentuklah masyarakat muslimin yang menghadapi persoalan-persoalan baru yang membutukhkan cara pengaturan-pengaturan dalam hubungannya dengan kelompok lain di lingkungan masyarakat Madinah, seperti kelompok Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu, di Madinah disyariatkan hukum yang meliputi keseluruhan bidang ilmu fiqh.
2.      Sumber Hukum Masa Rasulullah
a. Al-Qur’an
          Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah tidaklah sekaligus. Al-Qur’an turun sesuai dengan kejadian/peristiwa dan kasus-kasus tertentu serta menjelaskan hukum-hukumnya, memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan atau jawaban terhadap permintaan fatwa.
          Contoh kasus seperti : Larangan menikahi wanita musyrik. Peristiwanya berkenaan dengan Martsad al-Ganawi yang meminta izin kepada Nabi untuk menikahi wanita musyrikah, maka turun ayat :
Description: Description: tulisan arab surat albaqarah ayat 221
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman”. (Al-Baqarah : 221)
          Adapun untuk memberi jawaban atau fatwa, misalnya dalam ayat-ayat :
Description: Description: https://alquranmulia.files.wordpress.com/2015/04/tulisan-arab-surat-albaqarah-ayat-215.jpg
“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan”. (Al-Baqarah : 215)
Description: Description: http://theonlyquran.com/quran_text/2_222.png
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang haid”. (Al-Baqarah : 222)
Description: Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-4du-uApLiNokehMpJW7V1pKIZYspmWQKlV8987V7hxKzE_Ep_OBfhLwG5JE5NW1P4LMb6tvF9da748fuSV778FgF_lD99Dgnm-cqXD5rKMZcoAHnJBuxM4-YhMgnFOuSrLd9op7zIQk/s1600/5_4.png
“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang dihalalkan bagi mereka”. (Al-Maidah : 4)
          Tugas Rasul yang berkaitan dengan Al-Qur’an ini adalah menyampaikan, menjelaskan dan melaksanakannya, seperti dinyatakan dalam ayat :
Description: Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-cqCIYpedYCBrp6lvEtfgjnapQ6gzALUV5Z2NOQ-UHgZ9XOQKGH0A0eUBTBgD15QGoGfmDfeE57nMHkHmj-I-3kWrbnWxcSFlsURRCZgKEljPupN5S0HxVmb6Or4Q1s_hbWi1s15j664/s1600/5_67.png
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan ( apayang diperintahkan itu, berarti ) kamu tidak menyampaikan Amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir ”. (Al-Maidah : 67)
          Pada umumnya hukum-hukum dalam Al-Qur’an bersifat kulli dan umun, demkian pula dalalahnya (penunjuknya) terhadap hukum kadang-kadang bersifat qat’i yaitu jelas dan tegas tidak bisa ditafsirkan lain. Dan kadang-kadang bersifat dhani yaitu memungkinkan terjadinya beberapa penafsiran.
          Bidang hukum yang lebih terperinci tentang peraturannya dalam Al-Qur’an adalah tentang bidang al-Ahwal Asyakshiyah yaitu yang berkaitan dengan pernikahan.


b. Al-Sunnah
          Al-Sunnah berfungsi menjelaskan hukum-hukum yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an. Disamping itu juga menjadi penguat bagi hukum-hukum yang telah diteteapkan dalam Al-Qur’an. Ada pula Hadits yang memberi hukum tertentu, sedangkan prinip-prinsipnya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.
          Penjelasan Rasulullah tentang hukum ini sering dinyatakan dalam perbuatan Rasulullah sendiri, atau dalam keputusan-keputusannya dan kebijaksanaannya ketika menyelesaikan satu kasus, atau karena menjawab pertanyaan hukum yang diajukan kepadanya, bahkan bisa terjadi bahwa diamnya Rasulullah dalam menghadapi perbuatan sahabat yang secara tidak langsung menunjukkan kepada diperbolehkannya perbuatan tersebut. Hal ini sesuai dengan ayat :
Description: Description: index
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”. (An-Nahl : 44)
          Rasulullah apabila dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa yang membutuhkan penetapan hukum, beliau menunggu wahyu. Apabila wahyu tidak turun, beliau berijtihad dengan berpegang kepada semangat ajaran Islam dan dengan cara musyawarah bersama sahabat-sahabatnya. Bilamana hasil ijtihadnya salah, makan diperingatkan oleh Allah bahwa ijtihadnya itu salah, serta ditunjukkan yang benarnya dengan diturunkannya wahyu.
c. Ijtihad pada Masa Rasulullah
          Pada zaman Rasulullah Ijtihad itu dilakukan oleh Rasulullah dan juga dilakukan oleh para sahabat, bahkan ada kesan Rasulullah mendorong para sahabatnya untuk berijtihad seperti terbukti dari cara Rasulullah sering bermusyawarah dengan para sahabatnya . Ijtihad pada zaman Rasulullah ini tidak seluas pada zaman sesuadah Rasulullah, karena banyak masalah-masalah yang ditanyakan kepada Rasulullah kemudian langsung dijawab dan langsung diselesaikan oleh Rasulullah sendiri. Di samping itu Ijtihad para sahabat pun apabila salah Rasulullah mengembalikannya kepada yang benar.[4]

B.     Periode Sahabat
          Pada masa ini dunia Islam sudah meluas, yang mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul oleh karena itu tiaklah mengherankan apabila pada periode sahabat ini dibidang hukum ditandai dengan penafsiran para sahabat dan ijtihadnya dalam kasus yang tidak ada nash-nya. Disamping itu juga terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan yaitu pecahnya masyarakat Islam menjadi beberapa kelompok yang bertentangan secara tajam. Yang menurut Amer Ali pada hakikatnya : “Permusuhan suku dan permusuhan padang pasir yang dikorbankan oleh perselisihan dinasti”. Periode sahabat ini dimulai dari wafatnya Rasulullah SAW, sampai akhir abad pertama hijriyah.
1.      Sumber Hukum
          Pada periode sahabat ini ada usaha yang positif yaitu terkumpulnya ayat-ayat al-Qur’an dalam suatu mushaf. Ide untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dari satu mushaf datang dari Umar bin Khatab, atas dasar karena banyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an gugur dalam peperangan. Ide ini disampaikan oleh Umar kepada khalifah Abu Bakar, pada mulanya Abu Bakar menolak saran tersebut, karena hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi pada akhirnya Abu Bakar menerima ide yang baik dari Umar ini. Maka beliau menugaskan Zaid bin Tsabit untuk menumpulakan ayat-ayat  Al-Qur’an yang terpencar-pencar tertulis dalam pelapah-pelapah kurma, kulit-kulit binatang, tulang-tulang dan yang dihafal oleh para sahabat. Mushaf ini disimpan pada Abu Bakar, kemudian setelah Umar meninggal disimpan pada Hafsah binti Umar. Kemudian pada zaman Usman bin Affan, Usman meminjam mushaf yang ada pada Hafsah kemudian menugaskan lagi pada Zaid bin Tsabit untuk memperbanyak dan membagikannya ke daerah-daerah Islam yaitu Madinah, Mekkah, Kufah, Basrah dan Damaskus. Mushaf itulah yang sampai pada kita sekarang.
          Adapun hadits pada masa kini belum terkumpul pada satu kitab. Memang pekerjaannya lebih sulit untuk mrnyimpulkan ayat-ayat Al-Qur’an karena : Ayat-ayat Al-Qur’an waktu Nabi meninggal telah tertulis, hanya masih berpencar-pencar belum disatukan. Nabi selalu minta untuk menuliskan Al-Qur’an dan melarang menuliskan Hadits. Dengan demikian tidak ada bercampur antara ayat Al-Qur’an dan Hadits. Disamping itu Al-Qur’an banyak dihafal oleh para sahabat. Bahkan banyak sahabat yang hafal keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an.
          Akibat dari tertulis dan tidak terkumpulnya Hadits dalam satu mushaf pada permulaan Islam, maka ulama-ulama Islam pada masa selanjutnya harus meneliti keadaan perawi Hadits dari berbagai segi, sehingga menimbulkan pembagian Hadits serta munculnya Ilmu Musthalah Hadits. Akibat dari timbulnya perbedaan pendapat karena berbeda dalam menanggapi satu Hadits tertentu.
2.      Ijtihad Sahabat
          Seperti telah dijelaskan bahwa pada masa sahabat ini Islam telah menyebar luas misalnya ke negeri Persia, Irak, Syam, dan Mesir. Negara-negara tersebut telah memiliki kebudayaan yang tinggi, mempunyai adat-adat kebiasaan tertentu, peraturan-peraturan dan ilmu pengetahuan. Bertemunya Islam dengan kebudayaan di luar Jazirah Arab ini mendorong pertumubuhan Fiqh Islam pada periode selanjutnya. Bahkan juga mendorong ijtihad para sahabat.
          Adapun cara berijtihad para sahabat adalah pertama-tama dicari nash-nya dalam Al-Qur’an, apabila tidak ada, dicari dalam Hadits, apabila tidak ditemukan baru berijtihad dengan bermusyawarah diantara para sahabat. Inilah bentuk ijtihad jama’i. Apabila mereka bersepakat terjadilah ijma sahabat. Keputusan musyawarah ini kemudian menjadi pegangan seluruh umat secara formal. Khalifah Umar bin Khatab misalnya mempunyai dua cara bermusyawarah, yaitu: “Musyawarah yang bersifat khusus dan Musyawarah yang bersifat umum”. Musyawarah yang bersifat khusus beranggotakan para sahabat Muhajirin dan Anshor, yang bertugas memusyawarahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah. Adapun musyawarah yang bersifat umum dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah yang dikumpulkan di mesjid, yaitu apabila ada masalah yang sangat penting, seperti kasus tanah di Irak yang dijadikan tanah Khardj.
          Walaupun demikian tidaklah menutup kemungkinan adanya ijtihad para sahabat dalam masalah-maslah yang sifatnya pribadi, tidak berkaitan secara langsung dengan kemasalahatan umum.Mereka menanyakan masalahnya kepada salah seorang sahabat Nabi dan diberikan jawabannya. Dalam masalah-masalah ijtihadiyah termasuk dalam hal-hal yang belum ada nash-nya para sahabat berijtihad, ada yang menggunakan cara anologi dan ada yang berpegang kepada maslahat serta menolak kemafsadatan.
          Jadi, pada masa sahabat ini sudah ada tiga sumber yaitu Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Ijtihad sahabat. Ijtihad terjadi dengan ijtihad jama’i dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umum dan dengan ijtihad fardi dalam hal-hal yang bersifat pribadi. Untuk bentuk ijtihad fardi ada kemungkinan terjadi perbedaan pendapat dikalangan para sahabat, sebab :
          Pertama : Tidak semua ayat Al-Qur’an dan Sunnah itu qath’i dalalahnya atau penunjukkannya kepada maksud tertentu, sehingga memberikan kemungkinan penafsiran-penafsiran yang berbeda.
          Kedua : Hadits belum terkumpul dalam satu kitab tertentu dan tidak semua sahabat hafal hadits. Oleh karena itu, seorang mufti di Mesir akan memberi fatwa sesuai dengan pengetahuannya.
          Ketiga : Milieu dimana para sahabat berdomisili tidaklah sama. Keperluan-keperluannya berbeda dan penerapan kemaslahatan juga bisa berlainan.
          Diantara tokoh-tokoh fiqh pada periode sahabat ini adalah di Madinah : Abu Bakar Shiddieq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit. Abu Musa al-Asyari, Ubaiy bin Ka’ab, Abdullah bin Umar, dan Aisyah Radiyallahu Anha.
          Kemudian disusul oleh murid-muridnya yang terkenal dengan nama tujuh fuqaha di Madinah yaitu :
1). Abu Bakar bin Abdurahman bin Haris bin Hisyam.
2). Al-Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar Shiddieq.
3). Urwah bin Zubaer bin Awam al-Asadi.
4). Said bin Musayab.
5). Sulaeman bin Yasir
6). Khadijah bin Zaid bin Tsabit.
7). Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud.
          Di Mekkah: diantaranya sahabat Abdullah bin Abbas, kemudian disusul oleh murid-muridnya antara lain, Ikrimah Abu Muhammad Atho bin Abi Rabbah dan Mujahid bin Zuber.
          Di Kufah: Diantaranya sahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud yang kemudian disusul oleh para muridnya seperti Alqomah bin Qois bin Abdillah, Msruk bin al-Ajda Al-Hamdani, Al-Qodli Sureh Said bin Zubair, Asya’bi.
          Di Mesir: Abdullah bin Amr bin Ash, kemudian disusul oleh muridnya Yazid bin Abu Habib dan Alaist bin Sa’ad.
          Di Yaman: Sahabat Muadz bin Jabal.
          Yang ditinggalkan oleh periode sahabat ini adalah :
1). Penafsiran para sahabat dalam ayat-ayat hukum.
2). Sejumlah fatwa sahabat dalam kasus-kasus yang tidak ada nahs hukumnya.
3). Terpecahnya umat menjadi tiga golongan yaitu Khawarji, Syi’ah, dan Jumhur Muslimin atau Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Golongan Khawarji tidak mau menetapkan hukum berdasarkan hadits yang di riwayatkan oleh Utsma, Ali, Muawiyah dan yang diriwayatkan para sahabat yang mendukung Ali atau Muawiyah. Demikian pula halnya Syi’ah, tidak maju menerima hadits kecuali yang diriwayatkan oleh Ahli Bait. Adapun Ahli Sunnah Waljama’ah mau menggunakan semua hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dapat dipercaya dan adil tanpa membedakan salah seorang sahabat Nabi dengan sahabat Nabi lainnya.
          Dari uraian singkat ini tampak bahwa : Pada periode sahabat ini Islam mulai mendapat tantangan untuk menjawab masalah-masalah yang timbul pada masyarakat di luar Jazirah Arab dan mendorong para sahabat untuk berijtihad, disamping menghadapi perpecahan umat dalm tubuh masyarakatnya sendiri, akibatnya terus terasa dalam waktu yang sangat lama, juga dalam batas-batas tertentu tampak adanya kepastian dan kesatuan hukum untuk masalah-maslah yang berkaitan dengan kemaslahatan umat. Di samping itu di kota-kota besar ada tokoh-tokoh besar sahabat Nabi dan murid-muridnya yang memiliki otoritas hukum dan menjadi panutan masyarakat.
          Akhirnya dari sejarah, kita tahu bahwa masyarakat Islam ternyata sanggup melampaui masa krisisnya dan terus berkembang menuju puncak-puncak kemajuan di bidang ilmu, termasuk di bidang fiqh.[5]

C.    Periode Imam Mujtahid dan Pembukuan Ilmu Fiqh
          Periode ini berlangsung selama kurang lebih 250 tahun, dimulai dari awal abad kedua hijriahh samapai pertengahan abad ke empat hijriah.
1.      Sumber Hukum
          Ada dua hal penting tentang Al-Qur’an pada masa ini :
          Pertama : (adanya kegiatan0 menghafal Al-Qur,an. Kedua : memperbaiki tulisan Al-Qur’an dan memberi syakal terhadap Al-Qur’an.Hal ini dirasa penting, sebab orang muslim non Arab bisa salah dalam membaca Al-Qur’an maka Gubernur Irak waktu itu Ziyad bin Abihi meminta pada Abu al-Aswad Aduali untuk memberi syakal. Maka Abu al-Aswad Aduali memberi syakal di setiap akhir kata, yaitu : diberi satu titik di atas huruf sebagai tanda fathah, adapun tanda kasrah dengan satu titik dibawah huruf, tanda domah dengan satu titik di samping huruf dan tanda tanwin dengan dua titik. Kemudian Al-Kholil bin Ahmad memperjelas bentuk tanda-tanda ini yaitu dengan alif di atas huruf sebagai tanda fathah, ya di bawah huruf sebagai tanda kasrah dan wawu di atas huruf sebgai tanda domah. Disamping itu yang diberi tanda bukan hanya huruf akhir dari kata, akan tetapi seluruh huruf. Terakhir, Gubernur Irak Al-Hajaj bin Yusuf atas perintah khalifah Abdul Malik bin Marwan meminta kepada Nashr bin Ashim untuk menyempurnakannya, maka Nashr pun memberi tanda satu titik atau dua titik pada huruf-huruf yang tertentu, seperti qof dengan dua titik, fa dengan satu titik dan seterusnya.
          Untuk Hadits pun sebagai sumber hukum pada masa ini mulai dibukukan antara lain yang sampai pada kitab Al-Muwatho yang disusun oleh Imam Malik pada tahun 140 H. Kemudian pada abad ke 2 hijriyah dibukukan pula kitab-kitab musnad, antara lain musnad Ahmad Ibnu Hanbal. Pada abad ke 3 hijriyah dibukukanlah Kutubu Sittah, yaitu : Shahih Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Anasa’i, Aturmudzi, dan Ibn Majah.
          Pada masa ini seluruh cara berijtihad yang kita kenal sudah digunakan, meskipun para ulama disetiap daerah memiliki warna masing-masing dalam berijtihadnya. Misalnya, Abu Hanifah dan murid-muridnya di Irak selain Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma lebih menekankan penggunaan Qiyas dan Istihsan, sedangkan Imam Malik di Hizaz selain Al-Qur’an, Sunnah, Ijma lebih menekankan penggunaan Al-Maslahah Almursalah.
          Adapun sebab-sebab berkembangnya ilmu fiqh dan gairahnya berijtihad pada periode ini antara lain :
          Pertama : Wilayah Islam sudah sangat meluas ke Timur sampai ke Tiongkok, dan ke Barat sampai ke Andalusia (Spanyol sekarang) dengan jumlah rakyat yang banyak sekali.
          Kedua : Para ulama pada masa itu telah memiliki sejumlah fatwa dan cara berijtihad yang mereka didapatkan dari periode sebelumnya.
          Ketiga : Seluruh kamu muslimin pada masa itu mempunyai keinginan yang keras agar segala sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan Syari’ah Islam baik dalam ibadah mahdhah maupun dalam ibadah ghair mahdhah (mu’amalah dalam arti luas).
          Keempat : Pada periode ini memang dilahirkan ulama-ulama yang memiliki potensi untuk menjadi mujtahid.
2.      Yang Diwariskan oleh Periode ini Kepada Periode Selanjutnya
          Hal-hal terpenting yang diwariskan oleh periode ini kepada periode berikutnya antara lain :
1). Al-Sunnah yang telah dibukukan. Sebagian dibukukan berdasarkan urutan sanad, hadits dan sebgain lain dibukukan berdasarkan bab-bab fiqh. Disamping itu Al-Qur’an juga telah lengkap dengan syakalnya.
2). Fiqh yang telah dibukukan lengkap dengan dalil dan alasannya.
3). Dibukukannya ilmu ushul fiqh. Para ulama mujtahid mempunya warna masing-masing dalam berijtihadnya atas dasar prinsip-prinsip dan cara-cara yang ditempuhnya.
4). Adanya dua aliran yang menonjol pada periode ini yang terkenal dengan Madrasah Al-Hadits dan Madrasah Al-Ra’yi. Madrasah Al-Hadits kebanyakan terdapat di Hijaz dan Madrasah Al-Ra’yi umumnya terdapat di Irak. Penamaan Madrasah Al-Hadits atau Ahlul Hatdits tidaklah berarti mereka tidak mempergunakan Al-Ra’yi demikian pula penamaan Madrasah Al-Ra’yi tidak berarti bahwa mereka tidak mempergunakan Hadits. Penanaman ini disebabkan karena Madrasah Al-Ra’yi atau Ahlul Ra’yi di Irak menitikberatkan tinajuaannya kepada maksud-maksud dan dasar-dasar syara dalam pengambilan hukum mereka berkesimpulan bahwa hukum-hukum syara itu bisa dipahami maksud-maksudnya dan bertujuan untuk mewujudlkan kemaslahatan manusia. Oleh karena itu, hulkum syara berdasar pada prinsip yang sama dan maksud yang sama, maka tidak mungkin terjadi pertentangan diantara ketentuan-ketentuannya. Atas dasar konsep inilah mereka memahami nash yang ada, menguatkan nash atas nash yang lain dan memberikan hukum terhadap kasus-kasus, kadang-kadang dengan menakwilkan bunyi lahir suatu nash. Oleh karena itu mereka memperluas daerah ijtihad Bir-Ra’yi. Bahkan sering memberikan hukum terhadap sesuatu hal yang belum terjadi yang sering disebut Fiqh Iftirodi atau Fiqh Takdiri.
          Adapun Madrasah Al-Hadits di Hijaz, mereka lebih mengarahkan perhatiannya kepada Hadits dan fatwa sahabat. Mereka melihat kepada kata-kata yang adapada hadits tersebut serta menerapkannya terhadap kejadian-kejadian yang timbul tanpa membahas illat hukum dan prinsip-prinsipnya.
          Apabila terhadap perbedaan antara ketetapan nash dan akal pikiran, mereka memegang kepada nash. Oleh karena itu, mereka segan sekali melakukan ijtihad Bir-Ra’yi kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa.
          Fuqaha Irak memahami nash ini dari sisi pengertiannya yang rasional dan dari sisi tujuan nash tersebut, yaitu tujuan pembayaran zakat bagi fakir miskin. Oleh karena tujuan zakat untuk memberi manfaat kepada fakir miskin, maka ulama-ulama ahli Ra’yi membolehkan pembayaran dengan seekor kambing, misalnya denga uang seharga seekor kambing.
          Fuqaha Hijaz atau Ahlu Al-Hadits memahami nash tersebut sesuai dengan kata-katanya sendiri. Bagi mereka yang wajib dikeluarkan sebagai zakat itu adalah seekor kambing bukan barang lain dan bukan pula harganya.
          Adapun sebab-sebab timbulnya dua aliran ini antara lain adalah :
1). Lingkungan Irak lain dengan lingkungan Hijaz. Seperti diketahui di Irak telah berlaku satu sistem hukum yang meliputi baik hukum publik maupun hukum sipil. Dismping itu masyarakat Irak lebih terbuka ketimbang masyarakat Hijaz.
2). Hadits-hadits dan fatwa sahabat lebih banyak tersebar di Hijaz ketimbang di Irak.[6]

D.    Periode Taklid
          Akhir dari masa gemilang ijtihad pada periode imam mujtahid ditandai dengan telah tersusunnya secara rapi dan sistematis kitab-kitab fiqh sesuai dengan aliran berpikir mazhab masing-masing. Dari satu segi, pembukuan fiqh ini ada dampak positifnya yaitu kemudahan bagi umat Islam dalam beramal, karena semua masalah agama telah dapat mereka temukan jawabannya dalam kitab fiqh yang ditulis para mujtahid-mujtahid sebelumnya. Tetapi dari segi lain terdapat dampak negatifnya yaitu terhentinya daya ijtihad, karena orang merasa tidak perlu lagi berfikir tentang hukum, sebab semua telah tersedia jawabannya.
          Kegiatan ijtihad pada masa ini terbatas pada usaha pengembangan, pensyarahan, dan perincian kitab fiqh dari imam mujtahid yang ada (terdahulu) dan tidak muncul lagi mendapat atau pemikiran baru.
          Kitab fiqh yang dihasilkan para mujtahid terdahulu diteruskan dan dilanjutkan oleh pengikut mazhab kepada generasi sesudahnya, tanpa ada maksud untuk memikirkan atau mengkajinya kembali secara kritis dan kreatif meskipun situasi dan kondisi umat yang menjalankannya sudah sangat jauh berbeda dengan kondisi disaat fiqh itu dirumuskan oleh imam mujtahid. Karena itu sudah mulai banyak ketentuan-ketentuan fiqh lama itu yang tidak dapat di ikuti untuk diterapkan secara praktis. Selain itu sangat banyak masalah fiqh yang tidak dapat dipecahkan hanya dengan semata membolah-balik kitab-kitab fiqh yang ada itu. Jika pada masa imam mujtahid, fiqh yang disusunnya itu berjalan secara praktis dengan daya aktualitas yang tinggi, maka pada masa berikutnya fiqh dalam bidang-bidang tertentu sudah kehilangan daya aktualitasnya.[7]

E.     Periode Reformulasi Fiqh Islam
          Dalam satu segi, umat Islam menginginkan kembali kehidupannya diatur oleh hukum Allah. Tetapi dari segi lain, kitab-kitab fiqh yang ada pada waktu ini-yang merupakan formulasi resmi dari hukum syara’-belum seluruhnya berbeda dengan kondisi ulama mujtahid ketika mereka memformulasikan kitab fiqh itu.
          Keadaan demikian itu mendorong para pemikir Muslim untuk menempuh usaha reaktualisasi hukum yang dapat menghasilkan formulasi fiqh yang baru, sehingga dapat menuntun kehidupan keagaamaan dan keduaniaan umat Islam sesuai dengan persoalan zamannya.[8]

F.      Periode Kemunduran
          Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke empat hijriyah sampai kurang lebih abad ke tiga belas hijriyah yaitu pada masa pemerintah Turki Usmani memakai kitab undang-undang yang dinamai majalah Al-Ahkam Al-Adliyah. Dalam undang-undang tersebut materi-materi fiqih disusun dengan sistematis dalam satu kitab undang-undang hukum perdata.
1.         Faktor-faktor yang Menyebabkan Kemunduran
          Pada periode ini umat islam mengalami kemunduran di bidang politik, pemikiran, mental, dan kemasyarakatan yang megakibatkan pula kemunduran dalam bidang fiqh :
1). Kemunduran di bidang politik, misalnya terpecahnya dunia islam menjadi beberapa wilayah kecil yang masing-masing keamiran hanya sibuk saling berebut kekuasaan, saling memfitnah, dan berperang sesama muslim yang mengakibatkan ketidakamanan dan ketidaktentraman masyarakat muslim. Kondisi yang semacam ini pada gilirannya menyebabkan kurangnya perhatian terhadap ilmu dan pemikiran tentang fiqih.
2). Dengan dianutnya pendapat madzhab tanpa pikiran yang kritis serta dianggapnya sesuatu yang mutlak benar, menyebabkan orang tidak mau meneliti kembali pendapat-pendapat tersebut. Orang merasa cukup mengikuti madzhab tersebut bahkan mempertahankannya dan membelanya tanpa mengembalikan kepada sumber pokok Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini diperkuat lagi oleh penerapan satu madzhab tertentu bagi suatu wilayah kekuasaan tertentu. Misalkan pemerintah Turki termasuk para hakim-nya menganut dan membantu madzhab Hanafi. Kekuasaan disebelah barat mengokohkan madzhab maliki dan disebelah timur madzhab syafi’i.
3). Dengan banyaknya kitab-kitab fiqih, para ulama dengan mudah bisa menemukan jawaban-jawaban terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Hal ini tentu saja bermanfaat, akan tetapi apabila membacanya tanpa kritis dan tanpa membandingkan dengan pendapat madzhab-madzhab lain serta tanpa memperhatikan kembali Al-Qur’an dan As-Sunnah, membawa akibat kehilangan kepercayaan terhadap potensi yang besar yang ada pada dirinya. Tidak menghargai hasil ijtihad ulama-ulama lain dan merasa pendapat sendiri yang mutlak benar dalam masalah-masalah ijtihadiyah, sudah tentu akan mengarah kepada sikap yang tertutup dengan segala akibat-akibatnya.
4). Dengan jatuhnya Cordoba sebagai pusat kebudayaan islam di Barat tahun 1213 M dan kemudian jatuhnya Baghdad sebgai pusat kebudayaan islam di Timur tahun 1258 M, maka berhentilah denyut jantung kebudayaan islam baik di Barat maupun di Timur. Ditambah lagi dengan kehancuran masyarakat Islam masa itu. Ulama-ulama dibagian timur berusaha mencoba untuk menyelamatkan masyarakat yang sudah hancur itu dengan melarang berijtihad untuk menyeragamkan kehidupan social bagi seluruh rakyat, dengan demikian diharapkan timbulnya ketertiban social. Namun rupanya usaha ini tidak banyak menolong, karena nasib suatu masyarakat tidak hanya tergantung kepada keseragaman kehidupan social tetapi juga kepada hasil kekuatan dan kreativitas perorangan.
2.         Klasifikasi Mujtahid
          Kerja ulama pada masa ini masih sekitar ijtihad para imam-imam mujtahid yang sebelumnya, hal ini tidak mengandung arti tidak ada sama sekali ulama yang memiliki kemampuan berijtihad, hanya saja mereka dalam berijtihadnya masih mengikatkan dirinya dengan madzhab yang ada. Atas dasar masalah ini lalu muculah istilah-istilah seperti mujtahid mutlak, mujtahid fi al-madzhab, dan lain sebagainya.
1). Mujtahid mutlak, yaitu mujtahid yang mempunyai metodelogi yang mandiri dalam istimbath hukum, mereka inilah imam-imam madzhab. Seperti Abu Hanafi, Maliki, Al-Syafi’I, dan Ahmad Ibnu Hambal.
2). Mujtahid muntasib, yaitu para mujtahid yang mengikuti pendapat para imam adzhab dalam usul atau metode berijtihad, akan tetapi hasil ijtihad ada yang sama dan ada yang berbeda dengan pendapat imam madzhab seperti al-munzani dalam madzhab Al-Syafi’i.
3). Mujtahid fi al-mazhab yaitu mujtahid yang mengikuti imam madzhab baik dalam usul atau dalam furu hanya beda dalam penerapannya. Jadi, hanya memperluas atau mempersempit penerapan suatu yang telah ada dalam madzhab seperti Al-Ghazali dalam madzhab syafi’i.
4). Mujtahid fi al-masail, yaitu mujtahid yang membatasi diri hanya berijtihad dalam hal-hal yang belum di ijtihadkan oleh imam-imam mereka, seperti al-karhi dikalangan madzhab Hanafi dan Ibnu Arabia dikalangan madzhab Maliki.
5). Ahlu takhrij, yaitu fuqaha yang kegiatannya terbatas menguraikan dan memperjelas pendapat-pendapat yang samar dan janggal yang ada dalam madzhabnya seperti al-jashosh dalam madzhab Hanafi.
6). Ahli tarjih, yaitu fuqaha yang kegiatannya hanya menarjih atau menguatkan pendapat-pendapat yang berbeda yang ada dalam madzhabnya.[9]

G.    Periode Kebangunan Kembali
1.         Tanda-tanda Kemajuan
a.    Dalam bidang Perundang-undangan
          Periode ini dimulai dengan masa berlakunya majalah al-ahkam al-adliyah yaitu kitab undang-undang hukum perdata isalam pemerintah Turki Usmani pada tahun 1992 H atau tahun 1876 M. Baik bentuk da isi kitab fiqih dari satu madzhab tertentu. Bentuknya adalah bentuk da nisi madzhab tertetu saja.
b.   Bidang Pendidikan
           Diperguruan-perguruan tinggi agama di Mesir, Pakistan maupun di Indonesia dalam cara mempelajari fiqh tidak hanya dipelajari satu madzhab tertentu, tetapi dipelajari madzhab yang lain secara muqoronah atau perbandingan, bahkan juga dipelajari system hukum adat dan system hukum romawi. Dengan demikian diharapkan bahwa wawasan hukum dikalangan mahasiswa islam menjadi lebih luas juga lebih mendekatkan hukum islam dengan hukum keluarga tetapi juga berbagai bidang hukum lainnya. Pendekatan ini akan lebih intensif lagi apabila fakultas hukum diajarkan hukum islam, sehingga terjadi perpaduan yang harmonis sesuai dengan kebutuhan waktu dan tempat khususnya di Indonesia.
          Satu hal yang rasanya perlu mendapat tekanan disinilah mempelajari ushul fiqh haruslah mendapat perhatian yang lebih besar lagi untuk memungkinkan ilmu fiqih berkembang lebih terarah sebab ushul fiqih itulah cara pemikiran hukum dalam islam.
c.    Dibidang Penulisan Buku-buku dalam Bahasa Indonesia dan Penerjemahan
          Seperti kita ketahui ajaran islam pada umunya dan fiqh pada khusunya tertulis dalam puluhan ribu kitab yang berbahasa Arab. Sudah jarang tentu orang-orang Indonesia hanya sedikit yang bisa membaca dengan benar tulisan dalam bahasa arab. Tapi sekarang telah tampak kegiatan penulisan ushul fiqh dan fiqh dalam Bahasa Indonesia. Demikian halnya dengan penerjemahan menampakan kegiatan yang meningkat meskipun masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan kitab-kitab yang baik untuk diterjemahkan kedalam Bahasa yang dimengarti. Oleh karena itu, untuk mejadi seorag yang ahli dalam bidang fiqh tetap harus kembali membaca dan melihat kitab-kitab yang aslinya dalam Bahasa arab.
2.    Penilaian Dunia Internasional Terhadap Dunia Syari’ah Islam
          Pada bulan Agustus 1932 berlangsung konferensi perbandigan hukum internasional di Den Haag, Negeri Belanda. Dalam konferensi tersebut Prof. Dr. Ali badawi berbicara tentang hubungan antara agama dengan hukum, sebagai jalan untuk sampai kepada pembicaraan tentang Syari’ah Islam. Akhirnya konferensi tersebut memutuskan agar dalam konferensi selanjutnya diadakan bagian khusu bagi Syari’ah islam sebagai salah satu sumber dalam perbandingan hukum.
          Pada bulan Agustus 1937, diadakan lagi siding. Yang berbicara tentang Syar’ah islam waktu itu adalah Mahmud Syalut dengan judul :”Pertanggung Jawaban Pidana dan Perdata dalam Islam”. Serta Prof. Dr. Abdrahman Tag judul :” System Hukum Romawi dan System Hukum Islam”.
          Maka hasil dari konferensi memuskan Antara lain:
1). Hukum islam sebagai salah satu sumber hukum perundang-undangan umum.
2). Hukum islam berdiri sendiri, tidak mengambil dari hukum romawi.
3). Hukum islam adalah hukum yang hidup dan dapat berkembang.
          Pada bulan Juli 1951 di Den Haag diadakan pula konferensi pengacara-pengacara yang dihadiri 53 negara. Keputusan yang terpenting tentang hukum Islam adalah: mengingat adanya fleksibilitas didalam hukum Islam dan kedudukannya yang sangat penting maka satuan pengacara mengambil hukum islam menjadi bahan perbandingan.
          Pada bulan Juli 1951, Fakultas Universitas Paris mengadakan pembahasan tentang hokum Islam dalam kegiatan dengan nama “Pecan Hukum Islam”.
          Pada akhirya seminar tersebut memutuskan:
1). Tidak diragukan lagi bahwa prinsip-prinsip hukum Islam mempunyai nilai-nilai dari segi hukum.
2). Perbedaan pendapat dan madzhab mengandung kekayaan pengetahuan hukum yang menakjubkan. Oleh karena itu, hukum islam dapat memenuhi kebutuhan hidup modern.


[1] Bakry Nazar,  Fiqih Dan Ushul Fiqih, Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 1994 hal.81
[2] Al-Qaradhawi Yusuf, Fiqih Praktis, Jakarta: Gema Insani Press 2002 hal.7
[3] Djazuli A, Ilmu Fiqih, Jakarta: Kencana 2010 hal. 139

[4] Ibid. hal. 140
[5] Djazuli A, Ilmu Fiqih, Jakarta: Kencana 2010 hal.145

[6] Djazuli A, Ilmu Fiqih, Jakarta: Kencana 2010 hal. 150
[7] Syarifudin Amir, Ushul Fiqih 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu 1997 hal.32

[8] Ibid hal. 32
[9] Syarifudin Amir, Ushul Fiqih 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu 1997 hal. 155