Jumat, 20 Mei 2016

Makalah Kaidah-Kaidah Fiqh



A.   Pengertian Qawaidul Fiqhiyah
Yang dimaksud dengan qawaidul fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki:
اَلْاًمْرُالْكُلِيُّالًّذِي يَنْطَبِقُ عَلَيْهِ جُزْءِيَّاتٌ كَثِيْرَةٌيُفْهَمُ اَحْكَامُهَامِنْهَا
“Suatu perkara yang kulli yang bersesuaian dengan juz’iyah yang banyak dari padanya diketahui hukum-hukum juz’iyat itu.”
Sedangkan  dalam  tinjauan   terminologi kaidah atau wawaidul punya  beberapa   arti,   menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan bahwa kaidah itu adalah :
اَلْقَضَا يَا اْلكُلِيَّةُ الَّتِى يَنْدَرِ جُ تَحْتَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا حُكْمُ جُزْ ئِيَّا تٍ كَثِيْرَ ةٍ

”Kaum yang bersifat universal (kulli) yang diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.

Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
حُكْمُ كُلِيُّ يَنْطَبِقَ عَلَى جَمِيْعٍ جُزْ ئِيَّا تِهِ

”Hukum   yang   biasa   berlaku    yang   bersesuaian   dengan   sebagian   besar bagiannya”.
      Singkatnya, kaidah fiqh merupakan kaidah yang dirumuskan dari berbagai macam aturan fiqh dalam berbagai bidangnya, cara mempelajarinya berawal dari mempelajari mmateri fiqh dan merupakan pedoman praktis yang bijaksana dalam mengambil keputusan hukum.
Kaidah fiqhiyah disebut juga kaidah syari’iyah yang berfungsi untuk memudahkan mujtahid mengistinbathkan hukum yang bersesuaian dengan tujuan syarak dan kemaslahatan manusia.
B.   SIFAT QA’IDAH FIQHIYAH
Imam Syathibi berpendapat bahwa qa’idah-qa’idah fiqhiyah tersebut harus bersifat qath’iyah dan keqath’iyahannya tidak dapat diambil dari hanya satu dalil, tetapi harus diambil dari hasil pemeriksaan sejumlah dalil yang menunjuk kepada suatu pengertian dan tidak berlawanan dengan dalil dasar (Al-qur’an dan Sunnah).

C.   Sejarah Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah
Sejarah perkembangan dan penyusunan qawaidul fiqhiyah diklasifikasikan menjadi 2 stadium, yaitu stadium pembentukan dan stadium penyusunan (kodifikasi).
1.      Stadium Pembentukan
Masa pertumbuhan dan pembentukan  berlangsung  selama tiga abad lebih. Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase sejarah hukum islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H).Pada stadium pembentukan, sulit dilacak pencetus-pencetus kaidah fiqhiyah, yang jelas kaidah-kaidah itu dicetuskan oleh pakar-pakar fuqaha’ seperti Imam Madzahib.
2.      Stadium Kodifikasi
Dalam sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam mazhabnya masing-masing.
Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah bertujuan agar kaidah-kaidah itu dapat berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa berikutnya, serta untuk mempertahankan loyalitas hasil ijtihad para mazhabi, sehingga bagi pengikutnya tidak bermazhab bil qouli (hasil ijtihad), namun yang lebih tepat adalah bermazhab bil manhaji (metodologinya).
Qaidah Kulliyah itu jumlahnya banyak sekali. Ada sebagian ulama yang menetapkan sebanyak 40 buah dan ada sebagian yang lain menetapkan lebih dari itu. Disamping ada beberapa ulama yang merentang Qaidah-qaidah Kulliyah menjadi berpuluh-puluh qaidah, terdapat juga sebagian ulama yang memadatkannya menjadi beberapa Qaidah Kulliyah induk.
Al-Qadhi Abu Sa’id mengatakan bahwa ulama Syafi’iyah memulangkan seluruh ajaran Imam Syafi’I kepada 4 kaidah. Yakni:
1.    اَلْيَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَكِّ
1.      (Keyakinan itu tidak dapat dikalahkan oleh keraguan)
2- اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
2.      (Kesukaran dapat menarik kepada kemudahan)
3- َالضَّرَرُيُزَالُ
3.      (Kemudharatan harus dilenyapkan)
4- اَلْعَا دَ ةُ مُحَكَّمَةٌ
4.      (Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum).
Sebagian ahli ilmu golongan muta’akhkhirin menambahkan satu kaidah lagi dari empat kaidah diatas, yaitu:
-5-اّلْأُمُوْرَبِمَقَا صِ
5.      (Segala urusan tergantung kepada tujuannya).
[1]Kaidah-kaidah tersebut sebagai induk karena berpuluh-puluh kaidah fiqhiyah bernaung dan dapat dikembalikan kepadanya.
Kami cenderung bahwa kaidah-kaidah induk itu ada lima dan qaidah induk yang terakhir ini kami jadikan qaidah nomor satu. Lima kaidah induk ini kami beri nama “Qawaidul-khams”.
A.    Lima Kaidah Induk (Qawaidul khams)
a.      Qaidah Yang Berkaitan Dengan Tujuan
[2]اّلْأُمُوْرَبِمَقَا صِدِهَا
“Segala urusan tergantung kepada tujuannya”
[3]Maksud dari kaidah ini adalah setiap perkara bergantung pada tujuan, motif dan niatnya. Dengan kata lain, niat, motif, dan tujuan terkandung dalam hati seseorang sewaktu melakukan suatu perbuatan menjadi kriteria yang menentukan nilai dan status hukum yang ia lakukan.
            [4]Kaidah ini didasarkan kepada firman Allah SWT:
وَمَا اُمِرُوْااِلَّالِيَعْبُدُااللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاء
Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus
Rasulullah pun bersabda:
انماالآعمال بالنيا ت وانما لكل امرئ مانوى
Sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya bagi seseorang hanyalah apa yang ia niati
Adapun cabang-cabang dari kaidah ini adalah:
1. Kaidah pertama
مَالَايُشْتَرَطٌ التَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلًةً وَتَفْصِيْلًااِذَاعَيَّنَهُ ؤَاَخْطَالَمْ يَضُرَّ
“Sesungguhnya (amalan) yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global maupun tafshili, apabila kemudian dipastikan dan ternyata salah maka kesalahannya tidak membahayakan (tidak membatalkan).
Misalnya dalam shalat tidak diisyaratkan niat menentukan bilangan rakaat, kemudian musholli niat shalat magrib dengan 4 rakaat dan pelaksanaannya tetap 3 rakaat maka shalatnya tetap sah.
2. Kaidah kedua:
وَمَايُشْتَرَطُ فِيْهِ تَعَرُّضُ فَالْخَطَاءُ فِيْهِ مُبْطِلٌ

“Suatu (amalan) yang disyaratkan untuk dijelaskan, maka kesalahannya akan membatalkan perbuatannya.”
Misalnya, seseorang melakukan shalat dzuhur kemudian dia niat shalat ashar, maka shalatnya tidak sah.
[5]3. Kaidah Ketiga:
اَلنِّيَّةُفِي الْيَمِيْنِ تَخَصِّصُ الَّفْظَ العَامَ وَلَاتُعَمِّمَ الْخَاصَ
“Niat dalam sumpah mengkhususkan lafal umum, dan tidak pula menjadikan umum pada lafal yang khusus.”
Kaidah tersebut disebutkan oleh ar-Rofi’I dalam “ar-Raudloh”.
Misalnya orang yang bersumpah tidak akan bicara dengan seseorang tetapi yang dimaksud ialah orang tertentu yakni Ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada Ahmad.
b.      Kaidah Yang Berkaitan Dengan Keyakinan
1.    اَلْيَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَكِّ[6]
(Keyakinan itu tidak dapat dikalahkan oleh keraguan)
Maksud dari kaidah tersebut adalah keyakinan itu tidak bisa hilang dengan keraguan. Namun demikian, suatu yang diyakini keberadaannya tidak bisa hilang,
kecuali berdasarkan dalil yang pasti(qath’i), bukan semata-mata oleh argumen yang hanya bernilai saksi/tidak qath’i.
Qaidah ini bersumber dari firman Allah SWT:
وَمَا يَتَّبِعْ أَكْثَرُ هُمْ إِلَّا ظَنَّا‘ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِى مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا[7]
“dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran”( Q.S Yunus: 36)
[8]Para ulama membawakan Hadis Nabi sebagai alasan kaidah tersebut sebagai alasan kaidah tersebut yang berbunyi:
إِذَاسَكَّ اَحَدُكُمْ فِى الصَلَا تِهِ فَلَمْ يَدْ رِكُمْ صَلىَّ ثَلَاثًا أَمْ اَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ         وَلْيَبْنِ عَلىَ مَااسْتَيْقَنَ
“Apabila ragu-ragu salah seorang di antara kamu dalam mengerjakan shalatnya, tidak mengetahui beberapa (rakaat) shalat telah dilakukan apakah tiga atau empat, maka hendaklah ia singkirkan keragu-raguannya itu. Berpeganglah pada yang yakin.”(H.R Muslim).
Disamping itu terdapat pula beberapa kaidah yang semakna dengan kaidah di atas, yakni:
1. Kaidah Pertama:
اَلْأَصْلُ بَقَاءَمَاكَانَ عَلىَ مَاكَانَ
“Asal itu tetap sebagaimana semula, bagaimanapun keberadaannya.”
Misalnya ada dua orang yang mengadakan utang-piutang, dan keduanya berselisih apakah utangnya sudah dibayar atau belum sedang si pemberi utang bersumpah bahwa utang itu belum dilunasi, maka sumpah pemberi utang itu akan dimenangkannya karena yang demikian itu yang yakin menurut kaidah diatas.
2. Kaidah kedua:
[9]اَلْأَصْلُ بَرَاءَةُالذِّمَّةِ
“Asal itu terlepas dari tanggungan.”
Misalnya jika terjadi pertengkaran antara tertuduh dan penuduh, selama penuduh tidak ada bukti yang dimenangkan adalah pengakuan tertuduh.
3. Kaidah ketiga:
اَلْأَصْلُ اْلعَدَمٌ
“Asal itu adalah tidak ada (tidak adanya beban)
Misalnya terjadi perselisihan antara pembeli dengan penjual tentang barang yang cacat yang sudah dibeli, maka kasus ini dimenangkan yang penjual, karena waktu pembeliannya barang itu masih belum ada cacatnya.
4. Kaidah keempat
اِنَّ مَا ثَبَتَ بِيَقِيْنٍ لَا يَرْ تَفِحُ إِلَّا بِيَقِيْنٍ
“Sesungguhnya yang telah tetap dengan yakin tidak boleh dihilangkan kecuali dengan yakin pula.”
Misalnya dalam suatu jamaah shalat, imam bingung apakah shalat asharnya 3 rakaat atau 4 rakaat, maka ia meyakinkan 3 rakaat sehingga ia ingin berdiri, namun makmum memperingatkan dengan bacaan “Subhanallah” berarti bilangan rakaatnya sudah genap 4 rakaat, dikala ini imam harus mengikuti makmum.
5. Kaidah kelima:
مَنْ شَكَ اَفَعَلَ شَيٌئًا أَمْ لَافَاْ لأَصْلُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلَهُ
“Siapa yang ragu-ragu apakah telah mengerjakan sesuatu atau belum, maka asalnya adalah tidak atau belum mengerjakan.”
Misalnya ada seseorang yang ragu-ragu dia sudah melaksanakan shalat dzuhur atau belum, maka dia harus meyakinkan dirinya beranggapan belum melaksanakan shalat dzuhur.
6. Kaidah Keenam:
اَلْاَصْلُ فِى الْعِبَا دَاتِ التَّوْ فِيْقِ وَاْلِاتْبَاعُ
“Hukum asal dari ibadah adalah mengikuti ajaran yang ditetapkan.”(Abdul Hamid Hakim, 1983:188)
Misalnya jumlah rakaat shalat maghrib adalah 3 rakaat maka tidak boleh ditambah dan juga tidak boleh dikurangi.
c.       Kaidah yang Berkaitan Dengan Kondisi Menyulitkan
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
(Kesukaran dapat menarik kepada kemudahan)
[10]Maksudnya, apabila dalam suatu keadaan kita terdesak untuk melanggar ketentuan agama, sedang jalan keluarnya tidak ditemukan, maka kita diberi kemudahan atau keringanan yakni boleh melanggarnya, sekadar mengeluarkan kita dari kesempitan tersebut.
Dasar atau alasan kaidah tersebut, para ulama membawakan firman Allah yang berbunyi:
. . .يُرِيْدُاللهِ بِكُمُ الْيُسْرَى وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ . . .(البقرة: 185)[11]
“…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran untukmu… (Q.S. Al-Baqarah: 185).
Sehubungan dengan kaidah dan ayat tersebut di atas, perlu diketahui bahwa, ada beberapa sebab untuk adanya keringanan:
1.      Orang yang sedang dalam perjalanan
Orang yang sedang dalam perjalanan diberi kemudahan, antara lain adalah untuk mengqasar shalat, ,menjamak shalat.
2.      Orang sakit
Orang sakit diberi kemudahan atau keringanan dengan boleh bertayamum walaupun ada air, boleh melakukan sambal duduk.
3.      Orang yang dipaksa
Yang dimaksudkan disini adalah seperti, orang yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kufur. Dalam hal ini diberi keringanan yakni “tidak berdosa ” mengucapkannya, asalkan hatinya tetap beriman, atau dipaksa memakan sesuatu yang haram.
4.      Orang yang terlupa
Misalnya yang makan atau minum tanpa sengaja, padahal ia sedang berpuasa. Dalam hal ini puasanya tidak batal.
5.      Karena kebodohan [12]
Yang dimaksudkan adalah, seperti orang yang “berbicara” dalam shalat, karena kebodohannya, yakni tidak mengetahui bahwa hal tersebut terlarang dalam shalat. Yang demikian tidak membatalkan shalatnya.
6.      Karena satu kesulitan
Yang dimaksudkan adalah, seperti seorang yang sedang dalam kesulitan air, maka diperbolehkan ia beristinja dengan batu, atau terpaksa melakukan shalat dengan kain terkena najis.
d.      Kaidah yang Berkaitan Dengan Kemudharatan
الضَّرَرُيُزَالُ
(Kemudharatan harus dilenyapkan)
Maksud kaidah tersebut adalah, menghilangkan kemudlaratan atau bahaya lebih diutamakan dari yang lainnya.
Dasar kaidah diatas, para ulama membawakan firman Allah yang berbunyi:
وَلَاتُفْسِدُوْا فِى الْأَرْضِ. (البقرة: ه ه)
“Janganlah engkau membuat kerusakan di bumi.” (Q.S Al-Baqarah :55)
Di dalam kaidah tersebut sebenarnya telah tercakup beberapa kaidah, antara lain adalah:
1.      Kaidah pertama
اَلضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْ رَاتِ
“Kemadlaratan-kemadlaratan itu dapat memperbolehkan keharaman”
Misalnya, seseorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi itu boleh dimakan sebatas keperluannya.
2.      Kaidah kedua:
[13][14]اَلضَّرَ رُ لَا يُزَا لُ بِالضَّرَ رِ
“Kemadaratan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemadaratan yang lain.
Misalnya seseorang yang kelaparan tidak boleh mengambil makanan orang yang kelaparan juga.

3.      Kaidah ketiga:
دَرْءُالْمَفَاسِدِ اَوْلىَ مِنْ جَلْبِ الْمَصَا لِحِ
“Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik maslahah.”
Seperti pada kasus seseorang yang ingin mengambil manfaat dari suatu lahan, tetapi akan terjadi kerusakan alam sekitarnya, maka manfaat tersebut tidak perlu diambil dengan mendahulukan kerusakan alam.
4.      Kaidah keempat:
ما ابيح للضرورة يقد ر بقد رها
“sesuatu yang diperbolehkan karena madarat diperkirakan sewajarnya atau menurut batasan ukuran kebutuhan minimal.”
Maksudnya adalah sesuatu dibolehkan karena madarat itu dibolehkan sekedarnya, tidak boleh berlebih-lebihan.
5.      Kaidah kelima:
اَلْمَيْسُوْ رُ لَا يُسْقَطُ بِالْمَعْسُوْ رِ
“Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan kesulitan.”
Misalnya seseorang yang buntung tangan atau kakinya maka cara wudunya cukup membasuh yang ada.
6.      Kaidah keenam:
مَا جَا زَ لِعُذْ رٍ بَطَلَ بِزَوَلِهِ
“Apa yang diizinkan karena adanya udzur, maka keizinan itu hilang manakala udzurnya hilang.” (Wahbah az-Zuhaili, 1982:245)
Misalnya kebolehan berwudhu dengan bertayamum bagi orang yang sakit tertentu, maka ketika seseorang tersebut sudah sembuh maka kebolehan untuk bertayamum itu hilang, dan dia harus kembali berwudhu.
7.      Kaidah ketujuh

اَلْحَا جَةُ الْعَا مَةُ اَوِالْخَا صَّةُ تَنْزِ لُ
“Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempatnya darurat.” (Wahbah az-Zuhaili, 1982:261)
Misalnya pada dasarnya transaksi jual-beli diharuskan terpenuhi semua rukun dan syarat-syaratnya, baik mengenai pembeli, penjual, barang dan akadnya, namun untuk mempermudah transaksi tersebut maka diperbolehkan akad salam (pesanan) walaupun pada dasarnya hal itu tidak mengikuti hukum asal.

e.       Kaidah yang Berkaitan Dengan Adat dann Kebiasaan
اَلْعَا دَ ةُ مُحَكَّمَةٌ
(Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum).
Artinya, suatu kebiasaan dapat dijadikan Patoka hukum. Kebiasaan dalam istilah hukum sering disebut sebagai ‘urf atau adat. Menurut kesepakatan jumhur ulama, suatu adat bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:
a.          Tidak bertentangan dengan syariat;
b.         Tidak menyebabkan kemafsadatan dan menghilangkan kemaslahatan;
c.          Telah berlaku pada umumnya orang muslim;
d.         Tidak berlaku dalam ibadah mahdhah;
e.          ‘urf tersebut sudah memasyarakat
            Kaidah ini bersumber dari firman Allah SWT:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الّدِ ينِ مِنْ حَرَجٍ
     “Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (Q.S Al-Hajj: 78).
        Dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Bajjar, dan Ibnu Mas’ud:
ما راه المسلمون حسنا فهو عندالله حسن وما راه المسلمون سيئا فهو عند الله سيئ (رواه أحمد والبزار والطبرانى فى الكبير عن ابن مسعو د)
     “Apa yang dipandang baik oleh orang islam, maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang baik, dan apa yang dipandang buruk oleh orang islam, maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk.”
        Cabang-cabang kaidah ini adalah:
1.      Kaidah Pertama:
كُلٌّ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْ عُ مُطْلَقًا وَلَا ضَا بِطَ لَهُ فِيْهِ وَلَا فِى الُّلغَةِ يُرْ جَعُ فِيْهِ اِلَى الْعُرْ فِ
            “Semua yang diatur oleh syara’ secara mutlak namun belum ada ketentuan dalam agama serta dalam bahasa maka semua itu dikembalikan kepada uruf.
            Misalnya hukum syariah menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar itu, maka ketentuan itu dikembalikan pada kebiasaan dan kesepakatan.

2.      Kaidah kedua
[15]لا ينكر تغيير الأحكا م بتغيير الأزمنة والأمكنة
            “Tidak diingkari perbedaan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.”
            Misalnya hukum dinegara satu pasti berbeda dengan negara yang lainnya, karena perbedaan tempat
3.      Kaidah ketiga:
المعر وف عر فا كالمشر وط شرط
            “ Yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.”
            Misalnya di jawa bila tiba waktu Maulud Nabi, pasti di sana melakukan kirab budaya islam, terus melakkan tablig akbar ataupun pengajian serta shalawatan.Selama perayaan budaya tersebut tidak melanggar syarat yang telah ditentukan, maka ‘urf atau kebudayaan tersebut bisa terus dilaksanakan.
2.      Kaidah keempat:
الثابت بالمعروف كالثبت بالنص
            “Yang ditetapkan urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash.”
            Contoh-contoh dari kaidah-kaidah tersebut adalah menjual buah di pohon. Hal ini tidak boleh menurut qiyas, karena tidak jelas jumlahnya, tapi karena sudah menjadi kebiasaan (adat), maka ulama membolehkannya; mereka yang mengajarkan al-Qur’an dibolehkan menerima gaji, hal itu antara lain agar al-Qur’an tetap eksis di kalangan umat Islam; dan adat istiadat yang berkembang di masyarakat.
            Contoh lain menurut kebiasaan yang berlaku adalah makanan atau minuman yang disuguhkan kepada tamu, boleh dimakan tanpa membayar. Tetapi jika ada ketentuan lain, hendaknya ada keterangan lebih dahulu, baik dengan menyodorkannya daftar harga maupun dengan pengumuman.
            Atau kasus lain, seorang minta tolong kepada seorang makelar untuk menjualkan kendaraan bermotornya tanpa menyebutkan upahnya. Jika telah laku, maka orang yang menyuruh menjualkan barangnya harus memberikan komisi kepada makelar yang menjualkannya menurut kebiasaan yang berlaku, yaitu 2 % dari harga penjualnya, kecuali ada perundingan lain.
B.     Urgensi atau Manfaat Qawaidul Fiqhiyah
1.      Dengan berpegang kepada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa.
2.      Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi
  1. Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
  2. Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
  3. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar.



[2]Yahya Muhtar, Rahman Fatchur, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islami, Bandung. Al-Ma’arif. 1986. Hlm. 487.
[3] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, Bandung. PT REMAJA ROSDAKARYA. 2014. Hlm. 132.

[4] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, Bandung. PT REMAJA ROSDAKARYA. 2014. Hlm. 132.
[5] Usman Muchlis, Kaidah-kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah, Jakarta. PT RajaGrafindo Persada. 1996. Hlm. 112.
[6] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, Bandung. PT REMAJA ROSDAKARYA. 2014. Hlm. 133.
[7] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, Bandung. PT REMAJA ROSDAKARYA. 2014. Hlm. 133.
[8] Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqh Satu Dan Dua, Jakarta. KENCANA PRENADA MEDIA GROUP. 2010. Hlm. 134.
[9] Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqh Satu Dan Dua, Jakarta. KENCANA PRENADA MEDIA GROUP. 2010. Hlm. 134-136.

[10] Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqh Satu Dan Dua, Jakarta. KENCANA PRENADA MEDIA GROUP. 2010. Hlm. 135-137
[11] Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqh Satu Dan Dua, Jakarta. KENCANA PRENADA MEDIA GROUP. 2010. Hlm. 136 - 137.
[12] Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqh Satu Dan Dua, Jakarta. KENCANA PRENADA MEDIA GROUP. 2010. Hlm. 137.
[13] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, Bandung. PT REMAJA ROSDAKARYA. 2014. Hlm. 136-137

[15] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, Bandung. PT REMAJA ROSDAKARYA. 2014. Hlm. 137-139.

1 komentar: