A. Pengertian
Qawaidul Fiqhiyah
Yang dimaksud dengan qawaidul fiqhiyah adalah
sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki:
اَلْاًمْرُالْكُلِيُّالًّذِي يَنْطَبِقُ
عَلَيْهِ جُزْءِيَّاتٌ كَثِيْرَةٌيُفْهَمُ اَحْكَامُهَامِنْهَا
“Suatu perkara yang kulli yang bersesuaian
dengan juz’iyah yang banyak dari padanya diketahui hukum-hukum juz’iyat itu.”
Sedangkan dalam
tinjauan terminologi kaidah atau
wawaidul punya beberapa arti,
menurut Dr. Ahmad asy-syafi’i dalam buku Usul Fiqh Islami, mengatakan
bahwa kaidah itu adalah :
اَلْقَضَا يَا اْلكُلِيَّةُ
الَّتِى يَنْدَرِ جُ تَحْتَ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهَا حُكْمُ جُزْ ئِيَّا تٍ
كَثِيْرَ ةٍ
”Kaum yang bersifat universal (kulli) yang
diakui oleh satuan-satuan hukum juz’i yang banyak”.
Sedangkan
mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
حُكْمُ كُلِيُّ يَنْطَبِقَ
عَلَى جَمِيْعٍ جُزْ ئِيَّا تِهِ
”Hukum
yang biasa berlaku
yang bersesuaian dengan
sebagian besar bagiannya”.
Singkatnya, kaidah fiqh merupakan kaidah
yang dirumuskan dari berbagai macam aturan fiqh dalam berbagai bidangnya, cara
mempelajarinya berawal dari mempelajari mmateri fiqh dan merupakan pedoman
praktis yang bijaksana dalam mengambil keputusan hukum.
Kaidah fiqhiyah disebut juga kaidah
syari’iyah yang berfungsi untuk memudahkan mujtahid mengistinbathkan hukum yang
bersesuaian dengan tujuan syarak dan kemaslahatan manusia.
B. SIFAT QA’IDAH FIQHIYAH
Imam Syathibi berpendapat bahwa
qa’idah-qa’idah fiqhiyah tersebut harus bersifat qath’iyah dan keqath’iyahannya
tidak dapat diambil dari hanya satu dalil, tetapi harus diambil dari hasil
pemeriksaan sejumlah dalil yang menunjuk kepada suatu pengertian dan tidak
berlawanan dengan dalil dasar (Al-qur’an dan Sunnah).
C. Sejarah
Perkembangan Qawaidul Fiqhiyah
Sejarah perkembangan dan penyusunan qawaidul
fiqhiyah diklasifikasikan menjadi 2 stadium, yaitu stadium pembentukan dan
stadium penyusunan (kodifikasi).
1. Stadium
Pembentukan
Masa
pertumbuhan dan pembentukan
berlangsung selama tiga abad
lebih. Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijrah. Periode ini dari segi pase
sejarah hukum islam, dapat dibagi menjadi tiga zaman Nabi muhammad SAW, yang
berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in
serta tabi’ tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M / 100-351 H).Pada stadium pembentukan, sulit dilacak
pencetus-pencetus kaidah fiqhiyah, yang jelas kaidah-kaidah itu dicetuskan oleh
pakar-pakar fuqaha’ seperti Imam Madzahib.
2. Stadium Kodifikasi
Dalam
sejarah hukum islam, abad IV H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada zaman ini,
sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan) pendapat imam
mazhabnya masing-masing.
Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fiqhiyah
bertujuan agar kaidah-kaidah itu dapat berguna bagi perkembangan ilmu fiqh pada
masa-masa berikutnya, serta untuk mempertahankan loyalitas hasil ijtihad para
mazhabi, sehingga bagi pengikutnya tidak bermazhab bil qouli (hasil
ijtihad), namun yang lebih tepat adalah bermazhab bil manhaji (metodologinya).
Qaidah Kulliyah itu jumlahnya banyak sekali.
Ada sebagian ulama yang menetapkan sebanyak 40 buah dan ada sebagian yang lain
menetapkan lebih dari itu. Disamping ada beberapa ulama yang merentang
Qaidah-qaidah Kulliyah menjadi berpuluh-puluh qaidah, terdapat juga sebagian
ulama yang memadatkannya menjadi beberapa Qaidah Kulliyah induk.
Al-Qadhi Abu Sa’id mengatakan bahwa ulama
Syafi’iyah memulangkan seluruh ajaran Imam Syafi’I kepada 4 kaidah. Yakni:
1.
اَلْيَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَكِّ
1.
(Keyakinan
itu tidak dapat dikalahkan oleh keraguan)
2- اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
2.
(Kesukaran
dapat menarik kepada kemudahan)
3- َالضَّرَرُيُزَالُ
3.
(Kemudharatan
harus dilenyapkan)
4- اَلْعَا دَ ةُ مُحَكَّمَةٌ
4.
(Adat
kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum).
Sebagian ahli ilmu golongan muta’akhkhirin menambahkan
satu kaidah lagi dari empat kaidah diatas, yaitu:
-5-اّلْأُمُوْرَبِمَقَا صِ
5. (Segala urusan tergantung kepada
tujuannya).
[1]Kaidah-kaidah tersebut sebagai
induk karena berpuluh-puluh kaidah fiqhiyah bernaung dan dapat dikembalikan
kepadanya.
Kami cenderung bahwa kaidah-kaidah
induk itu ada lima dan qaidah induk yang terakhir ini kami jadikan qaidah nomor
satu. Lima kaidah induk ini kami beri nama “Qawaidul-khams”.
A. Lima Kaidah Induk (Qawaidul
khams)
a. Qaidah
Yang Berkaitan Dengan Tujuan
[2]اّلْأُمُوْرَبِمَقَا صِدِهَا
“Segala urusan tergantung kepada
tujuannya”
[3]Maksud dari kaidah ini adalah
setiap perkara bergantung pada tujuan, motif dan niatnya. Dengan kata lain,
niat, motif, dan tujuan terkandung dalam hati seseorang sewaktu melakukan suatu
perbuatan menjadi kriteria yang menentukan nilai dan status hukum yang ia
lakukan.
[4]Kaidah
ini didasarkan kepada firman Allah SWT:
وَمَا
اُمِرُوْااِلَّالِيَعْبُدُااللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاء
“Dan mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang
lurus ”
Rasulullah pun bersabda:
انماالآعمال بالنيا ت وانما لكل
امرئ مانوى
“Sesungguhnya segala amal
bergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya bagi seseorang hanyalah apa yang ia
niati”
Adapun cabang-cabang dari kaidah
ini adalah:
1. Kaidah pertama
مَالَايُشْتَرَطٌ التَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلًةً
وَتَفْصِيْلًااِذَاعَيَّنَهُ ؤَاَخْطَالَمْ يَضُرَّ
“Sesungguhnya (amalan) yang tidak disyaratkan
untuk dijelaskan, baik secara global maupun tafshili, apabila kemudian
dipastikan dan ternyata salah maka kesalahannya tidak membahayakan (tidak
membatalkan).
Misalnya dalam shalat tidak diisyaratkan niat menentukan bilangan
rakaat, kemudian musholli niat shalat magrib dengan 4 rakaat dan pelaksanaannya
tetap 3 rakaat maka shalatnya tetap sah.
2. Kaidah kedua:
وَمَايُشْتَرَطُ
فِيْهِ تَعَرُّضُ فَالْخَطَاءُ فِيْهِ مُبْطِلٌ
“Suatu
(amalan) yang disyaratkan untuk dijelaskan, maka kesalahannya akan membatalkan
perbuatannya.”
Misalnya,
seseorang melakukan shalat dzuhur kemudian dia niat shalat ashar, maka
shalatnya tidak sah.
[5]3. Kaidah Ketiga:
اَلنِّيَّةُفِي
الْيَمِيْنِ تَخَصِّصُ الَّفْظَ العَامَ وَلَاتُعَمِّمَ الْخَاصَ
“Niat
dalam sumpah mengkhususkan lafal umum, dan tidak pula menjadikan umum pada
lafal yang khusus.”
Kaidah tersebut
disebutkan oleh ar-Rofi’I dalam “ar-Raudloh”.
Misalnya
orang yang bersumpah tidak akan bicara dengan seseorang tetapi yang dimaksud
ialah orang tertentu yakni Ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada Ahmad.
b. Kaidah
Yang Berkaitan Dengan Keyakinan
1.
اَلْيَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَكِّ[6]
(Keyakinan itu tidak
dapat dikalahkan oleh keraguan)
Maksud dari kaidah tersebut adalah keyakinan
itu tidak bisa hilang dengan keraguan. Namun demikian, suatu yang diyakini
keberadaannya tidak bisa hilang,
kecuali berdasarkan dalil yang pasti(qath’i),
bukan semata-mata oleh argumen yang hanya bernilai saksi/tidak qath’i.
Qaidah ini bersumber dari firman Allah SWT:
وَمَا يَتَّبِعْ أَكْثَرُ هُمْ إِلَّا ظَنَّا‘
إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِى مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا[7]
“dan kebanyakan mereka tidak mengikuti
kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna
untuk mencapai kebenaran”( Q.S Yunus: 36)
[8]Para ulama membawakan Hadis Nabi
sebagai alasan kaidah tersebut sebagai alasan kaidah tersebut yang berbunyi:
إِذَاسَكَّ اَحَدُكُمْ فِى الصَلَا
تِهِ فَلَمْ يَدْ رِكُمْ صَلىَّ ثَلَاثًا أَمْ اَرْبَعًا فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلىَ مَااسْتَيْقَنَ
“Apabila ragu-ragu salah seorang
di antara kamu dalam mengerjakan shalatnya, tidak mengetahui beberapa (rakaat)
shalat telah dilakukan apakah tiga atau empat, maka hendaklah ia singkirkan keragu-raguannya
itu. Berpeganglah pada yang yakin.”(H.R Muslim).
Disamping itu terdapat pula
beberapa kaidah yang semakna dengan kaidah di atas, yakni:
1. Kaidah Pertama:
اَلْأَصْلُ بَقَاءَمَاكَانَ عَلىَ
مَاكَانَ
“Asal itu tetap sebagaimana
semula, bagaimanapun keberadaannya.”
Misalnya ada dua orang yang mengadakan
utang-piutang, dan keduanya berselisih apakah utangnya sudah dibayar atau belum
sedang si pemberi utang bersumpah bahwa utang itu belum dilunasi, maka sumpah
pemberi utang itu akan dimenangkannya karena yang demikian itu yang yakin
menurut kaidah diatas.
2. Kaidah kedua:
[9]اَلْأَصْلُ بَرَاءَةُالذِّمَّةِ
“Asal itu terlepas dari
tanggungan.”
Misalnya jika terjadi pertengkaran antara tertuduh dan penuduh, selama
penuduh tidak ada bukti yang dimenangkan adalah pengakuan tertuduh.
3. Kaidah ketiga:
اَلْأَصْلُ اْلعَدَمٌ
“Asal itu adalah tidak ada (tidak adanya beban)”
Misalnya terjadi perselisihan antara pembeli
dengan penjual tentang barang yang cacat yang sudah dibeli, maka kasus ini
dimenangkan yang penjual, karena waktu pembeliannya barang itu masih belum ada
cacatnya.
4. Kaidah keempat
اِنَّ مَا ثَبَتَ بِيَقِيْنٍ لَا يَرْ تَفِحُ
إِلَّا بِيَقِيْنٍ
“Sesungguhnya
yang telah tetap dengan yakin tidak boleh dihilangkan kecuali dengan yakin
pula.”
Misalnya dalam suatu jamaah shalat, imam bingung apakah shalat asharnya
3 rakaat atau 4 rakaat, maka ia meyakinkan 3 rakaat sehingga ia ingin berdiri,
namun makmum memperingatkan dengan bacaan “Subhanallah” berarti bilangan
rakaatnya sudah genap 4 rakaat, dikala ini imam harus mengikuti makmum.
5. Kaidah kelima:
مَنْ شَكَ اَفَعَلَ شَيٌئًا أَمْ
لَافَاْ لأَصْلُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلَهُ
“Siapa yang ragu-ragu apakah telah
mengerjakan sesuatu atau belum, maka asalnya adalah tidak atau belum
mengerjakan.”
Misalnya ada seseorang yang
ragu-ragu dia sudah melaksanakan shalat dzuhur atau belum, maka dia harus
meyakinkan dirinya beranggapan belum melaksanakan shalat dzuhur.
6. Kaidah Keenam:
اَلْاَصْلُ
فِى الْعِبَا دَاتِ التَّوْ فِيْقِ وَاْلِاتْبَاعُ
“Hukum
asal dari ibadah adalah mengikuti ajaran yang ditetapkan.”(Abdul Hamid Hakim,
1983:188)
Misalnya
jumlah rakaat shalat maghrib adalah 3 rakaat maka tidak boleh ditambah dan juga
tidak boleh dikurangi.
c. Kaidah
yang Berkaitan Dengan Kondisi Menyulitkan
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
(Kesukaran dapat menarik kepada kemudahan)
[10]Maksudnya, apabila dalam suatu keadaan kita
terdesak untuk melanggar ketentuan agama, sedang jalan keluarnya tidak
ditemukan, maka kita diberi kemudahan atau keringanan yakni boleh melanggarnya,
sekadar mengeluarkan kita dari kesempitan tersebut.
Dasar atau alasan kaidah tersebut, para ulama
membawakan firman Allah yang berbunyi:
“…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran untukmu… (Q.S. Al-Baqarah: 185).
Sehubungan dengan kaidah dan ayat tersebut di
atas, perlu diketahui bahwa, ada beberapa sebab untuk adanya keringanan:
1.
Orang
yang sedang dalam perjalanan
Orang yang
sedang dalam perjalanan diberi kemudahan, antara lain adalah untuk mengqasar
shalat, ,menjamak shalat.
2.
Orang
sakit
Orang
sakit diberi kemudahan atau keringanan dengan boleh bertayamum walaupun ada
air, boleh melakukan sambal duduk.
3.
Orang
yang dipaksa
Yang
dimaksudkan disini adalah seperti, orang yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat
kufur. Dalam hal ini diberi keringanan yakni “tidak berdosa ” mengucapkannya,
asalkan hatinya tetap beriman, atau dipaksa memakan sesuatu yang haram.
4.
Orang
yang terlupa
Misalnya yang makan atau minum tanpa sengaja,
padahal ia sedang berpuasa. Dalam hal ini puasanya tidak batal.
5.
Karena
kebodohan [12]
Yang dimaksudkan adalah, seperti orang yang
“berbicara” dalam shalat, karena kebodohannya, yakni tidak mengetahui bahwa hal
tersebut terlarang dalam shalat. Yang demikian tidak membatalkan shalatnya.
6.
Karena
satu kesulitan
Yang dimaksudkan
adalah, seperti seorang yang sedang dalam kesulitan air, maka diperbolehkan ia
beristinja dengan batu, atau terpaksa melakukan shalat dengan kain terkena
najis.
d. Kaidah
yang Berkaitan Dengan Kemudharatan
الضَّرَرُيُزَالُ
(Kemudharatan harus dilenyapkan)
Maksud kaidah tersebut adalah,
menghilangkan kemudlaratan atau bahaya lebih diutamakan dari yang lainnya.
Dasar kaidah diatas, para ulama membawakan
firman Allah yang berbunyi:
وَلَاتُفْسِدُوْا فِى الْأَرْضِ. (البقرة: ه ه)
“Janganlah engkau membuat
kerusakan di bumi.” (Q.S Al-Baqarah :55)
Di dalam kaidah tersebut
sebenarnya telah tercakup beberapa kaidah, antara lain adalah:
1. Kaidah pertama
اَلضَّرُوْرَاتُ
تُبِيْحُ الْمَحْظُوْ رَاتِ
“Kemadlaratan-kemadlaratan itu dapat
memperbolehkan keharaman”
Misalnya,
seseorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia
tidak makan menjadi mati, maka babi itu boleh dimakan sebatas keperluannya.
2. Kaidah kedua:
“Kemadaratan itu
tidak dapat dihilangkan dengan kemadaratan yang lain.
Misalnya
seseorang yang kelaparan tidak boleh mengambil makanan orang yang kelaparan
juga.
3.
Kaidah
ketiga:
دَرْءُالْمَفَاسِدِ
اَوْلىَ مِنْ جَلْبِ الْمَصَا لِحِ
“Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada
menarik maslahah.”
Seperti
pada kasus seseorang yang ingin mengambil manfaat dari suatu lahan, tetapi akan
terjadi kerusakan alam sekitarnya, maka manfaat tersebut tidak perlu diambil
dengan mendahulukan kerusakan alam.
4.
Kaidah
keempat:
ما
ابيح للضرورة يقد ر بقد رها
“sesuatu
yang diperbolehkan karena madarat diperkirakan sewajarnya atau menurut batasan
ukuran kebutuhan minimal.”
Maksudnya adalah sesuatu dibolehkan karena
madarat itu dibolehkan sekedarnya, tidak boleh berlebih-lebihan.
5. Kaidah kelima:
اَلْمَيْسُوْ
رُ لَا يُسْقَطُ بِالْمَعْسُوْ رِ
“Kemudahan itu
tidak dapat digugurkan dengan kesulitan.”
Misalnya
seseorang yang buntung tangan atau kakinya maka cara wudunya cukup membasuh
yang ada.
6.
Kaidah
keenam:
مَا
جَا زَ لِعُذْ رٍ بَطَلَ بِزَوَلِهِ
“Apa
yang diizinkan karena adanya udzur, maka keizinan itu hilang manakala udzurnya
hilang.” (Wahbah az-Zuhaili, 1982:245)
Misalnya
kebolehan berwudhu dengan bertayamum bagi orang yang sakit tertentu, maka
ketika seseorang tersebut sudah sembuh maka kebolehan untuk bertayamum itu
hilang, dan dia harus kembali berwudhu.
7.
Kaidah
ketujuh
اَلْحَا
جَةُ الْعَا مَةُ اَوِالْخَا صَّةُ تَنْزِ لُ
“Kebutuhan
umum atau khusus dapat menduduki tempatnya darurat.” (Wahbah az-Zuhaili,
1982:261)
Misalnya
pada dasarnya transaksi jual-beli diharuskan terpenuhi semua rukun dan
syarat-syaratnya, baik mengenai pembeli, penjual, barang dan akadnya, namun
untuk mempermudah transaksi tersebut maka diperbolehkan akad salam (pesanan)
walaupun pada dasarnya hal itu tidak mengikuti hukum asal.
e.
Kaidah yang Berkaitan Dengan Adat dann
Kebiasaan
اَلْعَا دَ ةُ مُحَكَّمَةٌ
(Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai
hukum).
Artinya, suatu kebiasaan dapat dijadikan Patoka hukum. Kebiasaan dalam
istilah hukum sering disebut sebagai ‘urf atau adat. Menurut kesepakatan
jumhur ulama, suatu adat bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:
a.
Tidak bertentangan dengan syariat;
b.
Tidak menyebabkan kemafsadatan dan menghilangkan
kemaslahatan;
c.
Telah berlaku pada umumnya orang muslim;
d.
Tidak berlaku dalam ibadah mahdhah;
e.
‘urf tersebut sudah memasyarakat
Kaidah
ini bersumber dari firman Allah SWT:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الّدِ
ينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan
dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (Q.S
Al-Hajj: 78).
Dan
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Bajjar, dan Ibnu Mas’ud:
ما راه المسلمون حسنا فهو عندالله
حسن وما راه المسلمون سيئا فهو عند الله سيئ (رواه أحمد والبزار والطبرانى فى
الكبير عن ابن مسعو د)
“Apa
yang dipandang baik oleh orang islam, maka menurut Allah pun digolongkan
sebagai perkara yang baik, dan apa yang dipandang buruk oleh orang islam, maka
menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk.”
Cabang-cabang
kaidah ini adalah:
1. Kaidah Pertama:
كُلٌّ
مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْ عُ مُطْلَقًا وَلَا ضَا بِطَ لَهُ فِيْهِ وَلَا فِى
الُّلغَةِ يُرْ جَعُ فِيْهِ اِلَى الْعُرْ فِ
“Semua yang diatur oleh
syara’ secara mutlak namun belum ada ketentuan dalam agama serta dalam bahasa
maka semua itu dikembalikan kepada uruf.
Misalnya
hukum syariah menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan
berapa banyak ketentuan mahar itu, maka ketentuan itu dikembalikan pada kebiasaan
dan kesepakatan.
2. Kaidah kedua
[15]لا ينكر تغيير الأحكا م بتغيير الأزمنة
والأمكنة
“Tidak diingkari
perbedaan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.”
Misalnya hukum dinegara
satu pasti berbeda dengan negara yang lainnya, karena perbedaan tempat
3. Kaidah ketiga:
المعر
وف عر فا كالمشر وط شرط
“ Yang baik itu menjadi
‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.”
Misalnya di jawa bila
tiba waktu Maulud Nabi, pasti di sana melakukan kirab budaya islam, terus
melakkan tablig akbar ataupun pengajian serta shalawatan.Selama perayaan budaya
tersebut tidak melanggar syarat yang telah ditentukan, maka ‘urf atau
kebudayaan tersebut bisa terus dilaksanakan.
2.
Kaidah
keempat:
الثابت
بالمعروف كالثبت بالنص
“Yang
ditetapkan urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash.”
Contoh-contoh
dari kaidah-kaidah tersebut adalah menjual buah di pohon. Hal ini tidak boleh
menurut qiyas, karena tidak jelas jumlahnya, tapi karena sudah menjadi
kebiasaan (adat), maka ulama membolehkannya; mereka yang mengajarkan al-Qur’an
dibolehkan menerima gaji, hal itu antara lain agar al-Qur’an tetap eksis di
kalangan umat Islam; dan adat istiadat yang berkembang di masyarakat.
Contoh
lain menurut kebiasaan yang berlaku adalah makanan atau minuman yang disuguhkan
kepada tamu, boleh dimakan tanpa membayar. Tetapi jika ada ketentuan lain,
hendaknya ada keterangan lebih dahulu, baik dengan menyodorkannya daftar harga
maupun dengan pengumuman.
Atau
kasus lain, seorang minta tolong kepada seorang makelar untuk menjualkan kendaraan
bermotornya tanpa menyebutkan upahnya. Jika telah laku, maka orang yang
menyuruh menjualkan barangnya harus memberikan komisi kepada makelar yang
menjualkannya menurut kebiasaan yang berlaku, yaitu 2 % dari harga penjualnya,
kecuali ada perundingan lain.
B.
Urgensi atau Manfaat Qawaidul Fiqhiyah
1.
Dengan
berpegang kepada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam
mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah
yang serupa.
2.
Dengan
memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi
masalah-masalah yang dihadapi
- Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
- Dengan kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh
- Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar.
[2]Yahya Muhtar, Rahman Fatchur, Dasar-dasar Pembinaan Hukum
Fiqh-Islami, Bandung. Al-Ma’arif. 1986. Hlm. 487.
[5] Usman Muchlis, Kaidah-kaidah Ushuliyah Dan Fiqhiyah, Jakarta.
PT RajaGrafindo Persada. 1996. Hlm. 112.
[8] Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqh Satu Dan Dua, Jakarta. KENCANA
PRENADA MEDIA GROUP. 2010. Hlm. 134.
[9] Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqh Satu Dan Dua, Jakarta. KENCANA
PRENADA MEDIA GROUP. 2010. Hlm. 134-136.
[10] Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqh Satu Dan Dua, Jakarta. KENCANA
PRENADA MEDIA GROUP. 2010. Hlm. 135-137
[11] Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqh Satu Dan Dua, Jakarta. KENCANA
PRENADA MEDIA GROUP. 2010. Hlm. 136 - 137.
[12] Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqh
Satu Dan Dua, Jakarta. KENCANA PRENADA MEDIA GROUP. 2010. Hlm. 137.
semangat lagi.perjelas simbol footnote dalam suatu paragraf
BalasHapus