Jumat, 20 Mei 2016

Makalah Sumber-Sumber Hukum Fiqh



A.    Al-Quran sebagai Sumber Hukum Ilmu Fiqh
1.      Pengertian Al Qur’an
Menurut bahasa Al-Quran  berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan, atau qur’anan yang berarti bacaan. Sedangkan menurut istilah, Al-Quran adalah Kalam Allah  yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW yang sampai kepada kita berupa teks dengan jalan mutawatir.[1]
Adapun menurut para ulama klasik, Al-Quran adalah Kalamulllah yang diturunkan pada Rasulullah dengan bahasa arab, merupakan mukjizat dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ibadah.
2.      Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber islam
Text Box: إِنَّآ أَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِتَحۡكُمَ بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُۚ وَلَا تَكُن لِّلۡخَآئِنِينَ خَصِيمٗا ١٠٥ Allah menurunkan Al-Quran itu, gunanya untuk dijadikan dasar hukum, dan disampaikan kepada ummat manusia untuk diamalkan segala perintahnya dan ditinggalkan segala larangannya, sebagaiman firman Allah :
Artinya :         
“Sesungguhnya kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kbenaran, supaya kamu menjadi antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantan karena membela orang-orang yang khianat.”(An-Nisa: 105)
Al-Quran sebagai kitab Allah SWT menempati posisi sebagai sumber hokum pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqih. Al-Quran juga membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya. Karena kedudukan Al-Quran itu sebagai sumber utama dan pertama bagi penetapan hukum, maka apabila seseorang ingin menemukan hukum maka dilakukan penyelesainnya terlebih dahulu berdasarkan dengan Al-Quran.
Apabila menggunakan sumber hukum lain di luar Al-Quran, maka harus sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan tidak boleh melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Al-Quran. Hal ini berarati bahwa sumber-sumber hukum selain Al-Quran tidak boleh menyalahi apa yang telah ditetapkan Al-Quran. Al-Quran juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesamanya, dan hubungan manusia dengan alam.
2.      Hukum yang terkandung dalam Al-Quran 
Hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran adalah sebagai berikut:
1)      Hokum itiqadiyah, yaitu hokum yang berhubungan dengan keimanan kepada Allah SWT, kepada malaikat, kepada kitab Allah, kepada para rasul, dan kepada hari akhir.
2)      Hokum khuluqiyah, yaitu hokum-hukum yang berhubungan dengan akhlak, manusia wajub berakhlak yang baik dan menjauhi akhlak yang buruk.
3)      Hokum amaliyah, yaitu hokum yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia. Hokum amaliyah ini dibagi menjadi dua yaitu hokum ibadah dan hokum muamalah.[2]
Adapun jika dilihat dari keseluruhan ayat-ayat Al-Quran mengandung berbagai macam dilalah hokum, antara lain:
1)      Suatu ayat yang mengandung suatu perintah yang jelas dan tegas, namun tidak dijelaskan caranya.
2)      Suatu ayat yang mengandung peritah yang jelas tempatnya namun tidak dijelaskan batasannya. [3]
B.     Hadis Sebagai Sumber Hukum Ilmu Fiqh
Hadis menurut bahasa adalah khabar atau berita. Menurut istilah, Al-Hadis adalah segala berita yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Meliputi: sabda perbuatan beliau, dan perbuatan para sahabat yang beliau diamkan dalam arti membenarkannya (taqrr). Hadis lazim pula disebut sunnah, atau sunnah Rasulullah SAW., sedangkan menurut bahasa sunnah berarti kelakuan, perjalanan, pekerjaan, atau cara.[4]
As-Sunnah atau Al-HAdis adalah sumber hokum islam yang kedua setelah Al-Quran, berupa perkataan (sunnah Qauliyah), perbuatan (sunnah Fi’liyah), dan sikap diam (sunnah taqririyah) Rasulullah yang tercatat (sekarang) dalam kitab-kitab hadis yang merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang Al-Quran.
Ucapan, perbuatan dan sikap diam nabi dikumpulkan tepat pada awal penyebarab Islam. Orang-orang yang mengumpulkan Sunnah nabi (dalam kitab-kitab hadis) menelusuri seluruh jalur riwayat ucapan, perbuatan dan pendiaman nabi. Hasilnya di kalangan Sunni terdapat enam kumpulan hadis utama, seperti yang dikumpukan antara lain oleh Bukhari dan Muslim yang dengan segera mendapatkan pengakuan di kalangan Sunni sebagai sumber nilai dan norma kedua sesudah kitab suci Al-Quran.
Di kalangan Syi’ah juga terdapat proses serupa tetapi disamping ucapan-ucapan nabi, ditambahkan pula ucapan para Imam Syi’ah, yang menjelaskan arti petunjuk nabi itu dan menjadi bagian kumpulan hadis. Salah satu kumpulan hadis yang menonjol di kalangan Syi’ah adalah Usul il’kafi karya Kulaini.[5]
Melalui kitab-kitab hadis, seorang muslim mengenal nabi dan mengenal isi Al-Quran.tanpa As-Sunnah sebagian besar isi Al-Quran akan tersembunyi di mata manusia. Di dalam AlQuran tertulis misalnya perintah untuk mendirikan salat. Tanpa As-Sunnah orang tidak akan tahu bagaimana cara mengerjakannya. Salat yang menjadi tiang semua pusat ibadah Islam, tidak akan dapat dikerjakan tanpa perbuatan nabi sehari-hari. Ini berlaku pula pada seribu satu hal lain sehingga hamper tidak perlu lagi untuk menyatakan hubungan yang vital antara Al-Quran dengan sunnah Rasulullah, yang telah dipilih Allah untuk menjadi pembawa dan penerang bagi petunjuk-Nya.[6]
Text Box: قُلۡ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَۖ فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَإِنَّمَا عَلَيۡهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيۡكُم مَّا حُمِّلۡتُمۡۖ وَإِن تُطِيعُوهُ تَهۡتَدُواْۚ وَمَا 
عَلَى ٱلرَّسُولِ إِلَّا ٱلۡبَلَٰغُ ٱلۡمُبِينُ ٥٤ 
Hadis merupakan sumber hokum islam yang wajib diikuti, dan diamalkan baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Allah memerintahkan agar orang Islam percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan agar menaati dan melaksanakan segala bentuk peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun laranga. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasu sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada Allah SWT. [7]
Firman Allah SWT:
Artinya:
“Katakanlah! Taatlah kepada Allah dan Rasulnya; dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul SAW itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu dapat petunjuk.”(QS. An-Nur:54)
Kemudian dalam ayat yang lain, Allah SWT juga berfirman:
Text Box: وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ
 ٱلۡعِقَابِ ٧


Artinya:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”(QS. Al-Hasyr:7)
Dari gambaran ayat tersebut, meunjukkan betapa urgennya kedudukan penetapan kewajiban taat dan patuh terhadap semua yang disampaikan oleh Rsul Muhammad SAW. Dengan demikian dapat diungkapkan bahwa kewajiban taat kepada Rasul SAW dan larangan medurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak diperselisihkan oleh umat muslim.
Adapun salah satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadis sebagai pedoman hidup, disamping Al-Quran sebagai pedoman hidup utamaya. Sabda Rasullulah SAW:
Artinya:
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnah Rasulnya.” (HR. Malik)
Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
“Wajib bagi sekalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin , berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya.”(HR. Abu Daud dan Ibn. Majah
Di samping fungsi hadis sebagai peletak hokum, juga berfungsi sebagai penjelas Al-Quran, baik berupa penjelas ayng global, paenagkhusus yang umum, atau pembatas yang mutlak. Firman Allah SWT:
Text Box: بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِۗ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ ٤٤

Artinya:
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab, dan kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan.”(QS. An-Nahl: 44)
Memposisikan hadis secara structural sebagai sumber hokum kedua, atau secara fungsional sebagai penjelas terhadap Al-Quran merupakan suatu keniscayaan. Nabi Muhammad SAW dalam kapasitanya sebagai nabi dan rasul, adalah mediator yang menjadi penengah atau juru bicara antara dua belah pihak (Tuhan dan mkhluk-Nya) yang berkomunikasi, sehingga tanpa beliau, pesan-pesan tersebut akn sulit dipahami.
Hadis mempunyai kewenangan penetapan hokum yang tidak terdapat dalam Al-Quran. Kewenangan hadis dalam menetapkan hokum baru, telah menjadi kesepakatan para ulama. Orang yang menentang kewenangan dan kemandirian hadis dalam menetapkan hokum, hanyalah orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang agama Islam.[8]
Menurut banyaknya orang yang menyampaikan atau memberitakannya, hadis dibagi menjadi tiga, yaitu:
1)      Hadis mutawatir, adalah segala sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh sekian banyak sahabat, sehingga karena banyaknya, mustahil mereka bersepakat untuk berdusta bersama-sama. Jumlah orang yang meriwayatkan hadis harus dapat dibuktikan baik dalam generasi pertama, kedua, maupun ketiga.
2)      Hadis masyhurah, adalah segala sesuatu yang datang dari Rasulullah yang diraiwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih sahabat, namun jumlahnya tidak sebanyak hadis mutawatir. Akan tetapi pada generasi kedua dan ketiga jumlah orang yang meriwayatkan hadis masyhur sama dengan jumlah orang yang meriwayatkan hadis mutawatir.
3)      Hadis ahad, adalah segala sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW yang diraiwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih sahabat, namun jumlahnya tidak sebanyak hadis mutawatir. Sesudah generasi sahabat tersebut, hadis tersebut kemudian diriwayatkan oleh seorang, dua orang atu lebih generasi tabi’in dan seterusnya sama oleh generasi tabiin.[9]
Adapun dilihat dari kualitas atau integrias pribadi yang meriwayatkannya secara lisan dari generassi ke generasi berikutnya, hadis dapat diklasifikasikan kedalam tiga kelompok, yaitu:
1)      Hadis shahih, adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, yaitu orangyang senantiasa berkata benar dan menjauhi perbuatan terlarang, mempunyai ketelitian sempurna, sanad bersambung kepada nabi Muhammad, tidak mempunyai cacat dan tidak pula berbeda.
2)      Hadis hasan, adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai nabi Muhammad, tidak mempunyai cacat, dan tidak pula bertentangan dengan periwayatnya yakni orang-orang yang terpercaya.
3)      Hadis dha’if, adalah hadis yang tidak mempunyai syarat yang harus dipumyai oleh hadis shahih dan hadis hasan. Merupakan hadis yang bertentangan dengan Al-Quran, tidak sesuai dengan akidah Islam dan bertentangan dengan hadis yang lain.[10]
C.    Ijtihad Sebagai Sumber Hukum llmu Fiqh
1.      Pengertian Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata “ijtahada-yajtahidu-ijtihadan” yang artinya mencurahkan tenaga dan pikiran atau mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Sedangkan Ijtihad sendiri berarti mencurahkan segala kemampuan berpikir untuk mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syarak, yaitu Al Quran dan Hadist. Orang yang menetapkan hukum dengan jalan ini disebut mujtahid. Hasil dari ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al Quran dan Hadist.
Adapun pengertian ijtihad maenurut para ahli adalah sebagai berikut:
·         Menurut Wahbah Al-Zuhaily, ijtihad bukanlah satu kesatuan yang utuh, tidak dapat dibagi-bagi tanpa menguasai berbagai masalah. Seorang mujtahid sudah dapat melakukan ijtihad dalam satu bidang tertentu, jika tidak, maka hokum Islam akan menjadi beku statis.
·         Menurut Ibnu Human, ijtihad adalah pengarahan kemampuan ahli fiqh untuk menemukan hokum syariat yang bersifar zhani.
·         Menurut Abu Zahrah, ijtihad adalah pengarahan ahli fiqh dalam mengistinbatkan hokum yang amaliah dari dalil-dalil yang terperinci.
·         Menurut Muhammad Syawkani, ijtihad adalah pengarahan kemampuan dalam memperoleh hokum syariat yang amaliah dengan cara istinbat.[11]
Lapangan atau medan di mana ijtihad dapat memaimkam peranannya adlah sebagai berikut:
1)      Masalah-maslah baru, yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash Al-Quran atau hadis secara jelas.
2)      Maslah-maslah baru, yang hukumnya belum diijma’i oleh ulama
3)      Nash-nash dhanni dan dalil-dalil hokum yang diperselisihkan
4)      Hokum islam yang kausalitas hukumnya atau ‘illatnya diketahui oleh mujtahid
2.      Hukum ijtihad
Menurut Syekh Muhammad Kudlari bahwa hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1)      Waib’Ain yaitu seseorang yang ditanya tentang suatu masalah, dan masalah itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri mengalami sutau peristiwa yang ia sendiri juga ingin mengetahui hukumnya.
2)      Wajib Kifayah yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya, sedangkan selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang mujtahid telah menyelesaikan dan mentapkan hukum sesuatu tersebut, maka kewajiban mujtahid yang lain telah gugur.
3)      Sunnah yaitu ijtihad terhadap suatu masalah aatau peristiwa yang belum terjadi.
3.      Metode Ijtihad
1)      Ijma
a)      Pengertian Ijm
Dari segi bahasa, kata ijma merupakan masdar (kata benda verbal) dari kata “ajma’a” yang artinya memutuskan dan menyepakati sesuatu. Sedangkan menurut istilah, ijma adalah kesepakatan (consensus) seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu sesudah wafatnya rasul atas hukum syara’ untuk satu peristiwa (kejadian).[12]
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa pengertian tentang ijma’, yaitu:
a)      Terdapat beberapa orang mujtahid karena kesepakatan baru, bisa terjadi apabila ada beberapa mujtahid.
b)      Kebulatan pendapat harus tampak nyata, baik dengan perbuatan, perkataan maupun fatwa.
c)      Kebulatan pendapat orang-orang yang bukan mujtahid, tidak disebut ijma’.
b.      Macam-macam ijma
a)      Ijma Sharih, dari segi bahasa, Sharih artinya jelas, jadi Ijma Sharih adalah Ijma yang memaparkan pendapat banyak utama secara jelas dan terbuka, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
b)      Ijma Sukuti, dari segi bahasa, Sukuti artinya diam, jadi Ijma Sukuti adalah sebagian mujtahid memaparkan pendapat-pemdapatnya secara terang dan jelas mengenai suatu hukum suatu peristiwa melalui perkataan atau perbuatan, sedangkan mujtahid yang lain tidak memberikan komentar apakah ia menerima atau menolak.

2)      Qiyas
a.      Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahsa berarti menyamakan atau mengukurkan sesuatu dengan yang lain. Menurut para ahli Ushul Fiqh merumuskan Qiyas adalah menayamakan atau mengukur satu kejadian yang tidak ada nash tentang hukumnya dengan kejadian yang ada nash tentang hukumnya di dalam hukum yang disebutkan di dalam nash karena ada kesamaan antara dua kejadian itu di dalam illat hukum tersebut.[13]
b.      Macam- macam Qiya
a)      Qiyas Aula
Text Box: وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ إِمَّا يَبۡلُغَنَّ عِندَكَ ٱلۡكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوۡ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلٗا كَرِيمٗا ٢٣ Qiyas aula yaitu qiyas yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya hukum. Misalnya berkata kepada kedua orang tua dengan mengatakan ‘uh, eh, busyet,’ atau kata-kata lain yang semakna dan menyakitkan itu hukumnya haram, sesuai dengan firman Allah SWT:



Artinya :
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.”(QS. Al-Isra: 23)


b)      Qiyas Musawi
Qiyas musawi yaitu qiyas yang apabila ‘illatnya mewajibkan adanya hukum dan sama antara hukum yang ada pada al-ashlu maupun hukum yang ada pada al-far’u (cabang). Contohnya, keharaman memakan harta anak yatim. Firman Allah SWT:
Text Box: إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا إِنَّمَا يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ نَارٗاۖ 
وَسَيَصۡلَوۡنَ سَعِيرٗا ١٠


Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”(QS An-Nisa: 10)
c)      Qiyas Adna
Qiyas adna yaitu adamya hukum al-far’u lebih lemah bila dirujuk dengan hukum al-ashlu. Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadl (riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar-menukar antar dua bahan kebutuhan pokok atau makanan).
Dalam masalah kasus ini, ‘illah hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan yang bisa dimakan dan ditakar. Namun ada segi yang lain dari ‘illah gandum yang tidak terdapat pada apel, yaitu apel tidak makanan pokok. Oleh karenannya, ‘illah yang ada pada apel lebih lemah diabndingkan dengan illat yang ada pada gandum yang menjadi makanan pokok.
c.       Kedudukan dan Dasar Kehujjahan Qiyas
Sebagian ulama sunni berpendapat bahwa qiyas adalah salah satu sumber hokum islam. Ulama yang menjadikan qiyas sebagai sumber hokum (musbitul qiyas) dan mereka mempunyai dasar yang kuat baik dari nash maupun dari akal.[14]
Text Box: فَٱعۡتَبِرُواْ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَبۡصَٰرِ ٢ Dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang menyuruh manusa untuk menggunakan akalnya. Firman allah SWT:

Artinya:
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.”(QS. Al-Hasyr: 2)
3)      Istihsan
a.      Pengertian Istihsan
Menurut bahasa istihsan berarti menganggap baik. Sedangkan menurut istilah ahli ushul yang dimaksud dengan istihsan adalah ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar), atau dari hukum kully (umum) kepada hukum yang bersifat istisna’i (pengecualkian), karena ada dalil syara’ yang menghendaki perpindahan itu.
b.      Kedudukannya sebagai sumber hukum islam
Jumhur ulama menolak berhujjah dengan istihsan, sebab berhujjah dengan istihsan berarti menetapkan hukum berdasarkan waktu. Golongan Hanafiyah membolehkan berhujjah dengan istihsan. Menurut mereka, berhujjah dengan istihsan hanyalah berdalilkan qiyas khafy yang dikuatkan terhadap qiyas jaly atau menguatkan satu qiyas terhadap qiyas lain yang bertentangan dengannya berdasarkan dalil yang menghendaki penguatan itu. Atau berdalilkan Maslahat untuk mengecualikan sebagian dari hukum kully.
4)      Istishab
a.      Pengertian Istishab
Istishab adalah mengambil hukum yang telah ada atau ditetapkan pada masa lalu dan tetap dipakai hingga masa-masa selanjutnya, selama tidak ada yang mengubahnya. Atau sebaliknya, apa yang tidakditetapkan di masa lalu, terus demikian keadaannya sampai ada dalil yang menetapkan hukumnya.[15]
b.      Kedudukannya sebagai sumber hukum islam
a)      Menjadikan istishab sebagai pegangan dalam menuntukan hukum sesuatu peristiwa yang belum ada hukumnya, baik dalam Al-Quran, as-sunnah maupun ijma.
b)      Menolah istishab sebagai pegangan dalam menetapkan hokum.[16]

5)      Mashalihul Mursalah
a.      Pengertian Mashalihul Mursalah
Mashalih bentuk jama dari mashlahah, artinya kemaslahatan, kepentingan. Mursalah berarti terlepas. Dengan demikian mashalihul mursalah berarti kemaslahatan yang terlepas. Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan kepada kemaslahatan, yaitu manfaat bagi manusia atau kemadharatan atas mereka. Al Khawarizmi menyatakan bahwa mashlahah ialah menjaga tujuan syara’ dengan jalan menolok mafsadat (kerusakan) atau madharat dari makhluk.


b.      Syarat-syarat berpegang kepada Mashalihul Mursalah
1.      Maslahat itu harus jelas dan pasti dan bukan hanya berdasarkan kepada prasangka.
2.      Maslahat itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
3.      Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan dengan nas atau ijma.
c.       Kedudukannya sebagai sumber hukum islam
1.      Jumlah ulama menolaknya sebagai sumber hukum, dengan alasan :
1)      Bahwa dengan nas-nas dan qiyas yang dibenarkan, syariat senantiasa memperhatikan kemaslahatan umat manusia. Tak ada satupun kemaslahatn manusai yang tidak diperhatikan oleh syariat melalui petunjuknya.
2)      Pembinaan hukum islam yang semata-mata didasarkan kepada maslahat berarti membuka pintu bagi kenginan hawa nafsu.
2.      Imam Malik membolehkan berpegang kepadanya secara mutlak. Namun menurut imam Syafi’i boleh berpegang kepada mashalihul mursalah apabila sesuai dengan dalil kully atau dalil juz’iy dari syara. Pendapat kedua ini berdasarkan :
1)      Kemaslahatan manusia selalu berubah-ubah dan tidak ada habis-habisnya, jika pembinaan hukum dibatasi hanya pada maslahat-maslahat yang ada petunjuknya dari syar’I (Allah), tentu banyak kemaslahatan yang tidak ada status hukumnya pada masa dan tempat yang berbeda-beda.
2)      Para sahabat dan tabi’in serta mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syar’i. Misalnya membuat penjara, mencetak uang, mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al-Quran dan sebaginya. [17]
6)      Al-‘Urf
a.      Pengertian Al-Urf
Al-‘Urf adalah segala sesuatau yang sudah saling dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat dan sudah menjadi adat istiadat, baik nerupa perkataan , perbuatan maupun meninggalkan. Atau juga Urf adalah sikap perbuatan dan perkataan yang biasa dilakukan oleh manusia seluruhnya.[18]
Menurut ahli syar’i bahwa antara adat istiadat dengan ‘Urf amali itu tidak ada bedanya. Diantara contoh ‘Urf amali ialah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dan tidak mengucapkan sighat yang diucapkan. Contoh ‘Urf Qauly ialah orang telah mengetahui bahwa kata arrajul itu untuk laki-laki, bukan untuk perempuan. 
b.      Macam-macam Al-Urf
Secara garis besar Al-‘Urf terbagi menjadi dua yaitu :
1.      ‘Urf shahih, yaitu apa yang telah dikenal orang tersebut tidak bertentangan dengan syari’at, tidak menghalalkan yang haram, dan tidak menggugurkan kewajiban. Misalnya orang telah mengerti bahwa orang yang melamar itu menyerahkan sesuatu kepada perempuan yang dilamar, berupa emas dan pakaian. 
2.      ‘Urf fasid, yaitu apa yang dikenal itu bertentangan dengan syara. Contoh nya orang mengetahui bahwa untuk menduduki suatu jabatan itu dengan memberikan uang  sogokan (risywah).

7)      Syar’u Man Qablana
a.      Pengertian Syar’u man Qablana
Syar’u man qablana adalah syari’at yang diturunkan kepada orang-orang sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya islam dan telah terjadi pada sebalum masa nabi Muhammad SAW., kemudian syari’at itu masih digunakan.[19]
Pada dasarnya syari’at yang diturunkan untuk dijadikan pedoman hidup manusia, sejak dahuku hingga masa-masa selanjutnya bersumber dari satu yaitu Allah. Namun karena masa turun dan keadaan pemakaiannya berbeda, maka kententuan-ketentuan dalam syariat itu juga mengalami penyesuaian. Karenannya, di antara isi syrai’at tersebut ada yang berlaku terus untuk umat selanjutya dan ada yang tidak.[20]
b.      Pembagian dan hukumnya
1)      Apa yang disayriatkan kepada mereka juga ditetapkan kepada umat Nabi Muhammad, baik penetapannya itu melalui perintah melaksanakan, seperti puasa, maupun melalui kisah, seperti qishash.
2)      Apa yang disyariatkan kepada mereka tidak disyariatkan kepada kita. Misalnya yang disyariatkan kepada Nabi Musa, seperti “Dosa orang jahat itu tidak akan terhapus selain membunuh dirinya sendiri” dan “pakaian yang terkena najis itu tidak suci kecuali harus dipotong bagian yang terkena najis tersebut”. Terhadap syariat jenis kedua ini pada ulama sepakat untuk ditinggalkan, karena syariat kita telah menghapusnya.[21]
8)      Saddudz Dzari’ah
a.      Pengertian Sadudz Dzari’ah
Dzarai’ jama dari kata dzari’ah artinya jalan. Saddudz dzari,ah berarti menutup jalan. Menurut istilah ulama ushul fiqh bahwa yang disebut dengan dzaria’ah ialah masalah yang lahirnya boleh (mubah) tetapi dapat membuka jalan untuk melakukan perbuatan yang dilarang.
Dengan demikian, saddudz dzari’ah berarti melarang perkara-perkara yang lahirnya boleh, karena ia membuka jalan dan menjadi pendorong kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Seperti melarang perbuatan/ permainan judi tanpa uang .
b.      Kedudukannya sebagai sumber hukum islam
1)      Menurut Imam Malik bahwa saddudz dzari’ah dapat dijadikan sumber hukum, sebab sekalipun mubah akan tetapi dapat mendorong dan membuka perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama.
Al-Qurtubi, seorang ulama Madzhab Maliki menyatakan : “sesungguhnya apa-apa yang dapat mendorong terjerumus kepada perkara yang dilarang (maksiat) adakalanya secara pasti menjerumuskan dan tidak pasti menjerumuskan.”
Yang pasti menjerumuskan kepada maksiat bukanlah termasuk suddudz dzari’ah tetapi harus dijauhi, sebab perbuatan maksiat wajib ditinggalkan. Yang tida pasti menjerumuskan kepada maksiat, itulah yang termasuk suddudz dzari’ah.
Guna menjauhkan diri dari terjerumus kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agam, maka kita wajib menjauhkan diri dari perkara-perkara yang lahirnya mubah, tetapi lambat laun dapat membawa dan mendorong kita kepada perbuatan maksiat.
2)      Menurut Imam Abu Hanafi dan Imam Syafi’I, bahwa saduddz dzari’ah tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap diperlakukan sebagai mubah.
Hadis nabi Muhammad SAW:
Artinya:
“Tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan.”
Artinya:
“Bagi siapa yang berputar-putar di sekitar larangan (Allah) lama kelamaan dia akan melanggar larangan tersebut.”
9)      Madzhab Shahabi
a.      Pengertian Mazhab Shahabi
Mazhab Shahaby ialah fatwa-fatwa para sahabat megenai berbagai masalah yang dinyatakan setelah rasulullah SAW wafat. Fatwa-fatwa mereka itu ada yang telah dikumpulkan oleh para tabi’in sebagaimana mereka mengumpulkan hadist-hadist Rasulullah. Fatwa-fatwa sahabat ini ada yang berdasarkan ijtihad mereka, yang terbagi menjadi dua, yaitu hasil ijtihad yang mereka sepakati (ijma sahaby) dan hasil ijtihad yang tidak disepakati.
b.      Kedudukan Mazhab Shahabi
1)      Mazhab sahabat yang berdasarkan kepada sabda dan perbuatan serta ketetapan Rasul wajib ditaati, sebab hakekatnya ia merupakan Sunnah Rasul.
2)      Mazhab sahabat yang berdasakan hasil ijtihad tetapi telah mereka sepakati (ijma sahaby) dapat dijadikan hujah dan wajib ditaati, sebab mereka di samping dekat dengan Rasul, mereka mengetahui rahasia-rahasia tasyri’ dan mengetahui perbedaan pendapat mengenai peristiwa yang sering terjadi. Contoh Mazhab sahabat yang telah mereka sepakati, antara lain ialah mengenai bagian harta waris bagi nenek, yaitu seperenam. 
3)      Mazhab sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadikan hujah dan tidak wajib diikuti. Abu Hanifah dan Imam Syafi’i menyatakan : “tidak melihat seorang pun ada yang menjadikan perkataan sahabat untuk dijadikan hujjah”, sebab perkataan sahabat tersebut didasarkan kepada ra’yu dan di antara sahabat sendiri juga berbeda pendapat, dan mereka tidak luput dari keslahan.[22]
10)  Dalalatul Iqtiran
a.      Pengertian Dalalatul Iqtiran
Dalalatul Iqtiran ialah dalil-dalil yang menunjukan kesamaan hukum terhadap sesuatu yang disebutkan bersamaan dengan sesuatu yang lain.
b.      Kedudukanya sebagai sumber hukum islam
1)      Jumhur ulama berpendapat bahwa dalalatul iqtiran tidak dapat dijadikan hujjah, sebab bersamaan dalam satu susunan tidak mesti bersamaan dalam hukum.
2)      Abu Yusuf dari golongan Hanafiyah, Ibnu Nashar dari golongan Malikiyah, dan Ibnu Hurairah dari kalangan Syafi’iyah menyatakan dapat dijadikan hujjah. Alasan mereka bahwa sesungguhnya ‘athaf itu menghendaki musyarakah. [23]


[1]  A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2, (Jakarta: 2010), hlm.143
[2]  Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor: Galia Indonesia, 2010), hlm.84
[3]  A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2, (Jakarta: 2010), hlm.146
[4]  Mustafa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.13
[5]  Daud Ali, Mohammad, Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm.98
[6]  Daud Ali, Mohammad, Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm.100
[7]  MGMP Madrasah Aliyah, Fiqih, (Sragen: Akik Pusaka, 2008), hlm.23
[8]  Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor: Galia Indonesia, 2010), hlm.86
[9]  Daud Ali, Mohammad, Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm.109
[10]  Daud Ali, Mohammad, Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm.110
[11]  Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor: Galia Indonesia, 2010), hlm.88
[12]  MGMP Madrasah Aliyah, Fiqih, (Sragen: Akik Pusaka, 2008), hlm.29
[13] MGMP Madrasah Aliyah, Fiqih, (Sragen: Akik Pusaka, 2008), hlm.31
[14]  MGMP Madrasah Aliyah, Fiqih, (Sragen: Akik Pusaka, 2008), hlm.33
[15]  Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor: Galia Indonesia, 2010), hlm.93
[16]  MGMP Madrasah Aliyah, Fiqih, (Sragen: Akik Pusaka, 2008), hlm.44
[17]  MGMP Madrasah Aliyah, Fiqih, (Sragen: Akik Pusaka, 2008), hlm.46
[18]  Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor: Galia Indonesia, 2010), hlm.93
[19]  Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor: Galia Indonesia, 2010), hlm.94
[20]  MGMP Madrasah Aliyah, Fiqih, (Sragen: Akik Pusaka, 2008), hlm.47
[21]  MGMP Madrasah Aliyah, Fiqih, (Sragen: Akik Pusaka, 2008), hlm.48
[22]  MGMP Madrasah Aliyah, Fiqih, (Sragen: Akik Pusaka, 2008), hlm.49
[23]  MGMP Madrasah Aliyah, Fiqih, (Sragen: Akik Pusaka, 2008), hlm.50

Tidak ada komentar:

Posting Komentar