Minggu, 08 Mei 2016

Makalah Fiqh dan Legislasi



Fiqh dan Legislasi (Taqnin)
A.      Arah dan Perkembangan Pentaqninan
1.      Islam dan Kolonialisme
            Setelah dunia Islam membebaskan diri dari penjajahan Barat dan kemudian membentuk negara nasionalnya masing-masing serta mengurus dan mengatur sendiri bidang-bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, dan kebudayaannya ternyata terdapat aspek yang kurang ataupun tidak sesuai dengan ketentuan ajaran Islam di satu sisi. Di sisi lain, tidak mungkin mengganti keseluruhan dari apa yang sekarang telah berlaku secara sekaligus, karena akan mengakibatkan kekosongan intuisi dan kekacauan dalam kehidupan masyarkat, serta tidak realistis. Dengan kata lain, menerapkan keseluruhan warisan hukum Islam juga tidak Islami. Dengan demikian, diambil jalan tengah dengan mengambil aturan-aturan fiqh yang relevan.
            Menghadapi kenyataan ini, umumnya dunia Islam menggunakan cara al-Tadrij fi al-Tasri’ (bertahap di dalam penerapan hukum) dengan membiarkan terus berlakunya hukum yang memenuhi persyaratan kemaslahatan umat dan menambah atau bahkan mengganti aturan yang dianggap tidak aspiratif dan tidak sesuai dengan kebutuhan umat.
            Seperti telah disinggung pada bab-bab sebelumnya bahwa dalam proses pembentukan ilmu fiqh, fiqh ini menjadi bahan bagi pembentukan berbagai peraturan baik perundang-undangan, peraturan pemerintah, bahkan di dalam peraturan-peraturan daerah.
            Arah semacam ini tampaknya sedang ditempuh di seluruh dunia Islam, termasuk di Indonesia, demi untuk kepastian hukum. Di dalam fiqh, sangat beragam perbedaan pendapat para ulama. Bahkan satu mazhab tertentu pun tidak menjamin adanya kesatuan pendapat. Ini pulalah yang mendorong kekhlifahan Turki Usmani mengeluarkan Majalah al-Ahkam yang memuat 1851 Pasal, meskipun Turki menganut mazhab Hanafi. Alasannya, dalam mazhab Hanafi, banyak pendapat yang berbeda, bahkan bertentangan. Hal ini tidak berarti warna suatu mazhab tidak memengaruhi dalam pentaqninan. Misalnya, warna mazhab Syafi’i tetap tampak di dalam Inpres No. 11 tahun 1991 di Indonesia. Demikian pula warna mazhab Hanbali di Saudi Arabia. Artinya, kultur masyarakat setempat tetap berpengaruh di dalam pembeentukan perundangan-undangan, terutama di bidang hukum keluarga (al-Akhwal al-Syakhsiyah) artinya pula: kesadaran hukum masyarakat menjadi penting.
            Dibidang hukum Islam hukum keluarga, tampaknya pentaqninan mengambil dari semua mazhab selama maslahat bagi kehidupan bahkan juga mengambil dari hukum lain selama sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah, implikasinya adalah mempelajari hukum Islam harus dengan muqaranah madzahib (perbandingan mazhab) bahkan dengan perbandingan hukum, baik sistem hukum adat maupun hukum Romawi (Barat).
            Politik hukum suatu negara sangat menetukan di dalam arah pentaqninan, artinya political will penguasa sangat menentukan karena perundang-undangan pada prinsipnya adalah produk politik. Untuk negara-negara yang menyatakan diri sebagai Islamic State (Negara Islam), seperti: Saudi Arabia, Iran, Pakistan, Brunei Darussalam, Maurituania, hal ini mungkin tidak jadi masalah, karena politik hukumnya memang menerapkan hukum Islam.
            Akan tetapi, bagi Negara Muslim atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia dan Mesir, Politik hukum negara yang bersangkutan menjadi sangat penting. Untuk kasusu Indonesia mislanya, peluang untuk pentaninan ini menjadi terbuka setelah GBHN dinyatakan bahwa bahan di dalam pembentukan hukum nasional adalah: hukum Adat, hukum Barat, dan hukum Islam.
            Dalam pentaqninan ini, ijtihad yang dilakukan pada umumnya adalah ijtihad fi Tatbiq al-Ahkam (ijtihad di dalam penerapan hukum) dengan menggunakan metoda Ijtihad Jama’i (ijtihad kolektif); prosesnya adalah dengan menghadirkan para pakar dibidang ilmu-ilmu yang berhubungan dengan materi yang dibahas, untuk memberikan pertimbangan keadaan yang sesungguhnya dan dihadiri pula oleh para ahli agama, khususnya ahli hukum Islam, untuk memberikan pertimbangan hukumnya (al-Hukm qabla bayan dhulnmun, wa tark al-hukm ba’da bayan dhulmun). Dengan cara ini diharapkan hasil ijtihadnya lebih benar, lebih baik dan indah serta lebih arif untuk kemaslahatan hidup bersama.
            Akhirnya bisa dinyatakan dengan bahwa dengan pentaqninan ini, ilmu fiqh ini sedang mengalami fase baru perubahan; perubahan dengan tidak meninggalkan jati dirinya yang tercermin di dalam dalil-dalil kauli, kaidah-kaidah kuliyah, maqashid al-syari’ah dan semangat ajarannya yang adil, memberi rahmat, maslahat dan mengandung makna bagi kehidupan: atau dengan ungkapan lain: al-Muhafadlah ‘ala al-Qadim al-Shalih wa al-Akhdz bi al-Jadid al-Ashlah (Mempertahankan yang lama yang maslahat dan mengambil yang baru yang lebih maslahat).[1]

2.      Fase Pen-taqnin-an
            Perkembangan ilmu fiqh untuk mencapai kepada fase pen-taqnin-an ini melalui proses yang panjang, setidaknya melalui empat tahapan:
1.        Tahap pemebntukan mazhab yang resmi, di dalam  Tarikh alTasyri’ kita temukan fakta sejarah bahwa khalifah Ja’far al-Mansur telah meminta kepada Imam Malik untuk menjadikan mazhab Malik, menjadi mazhab resmi di seluruh wilayah kekuasaannya. Imam Malik menolak permintaan khalifah Ja’far al-Mansur dengan lasan akan menganggu kebebasan berijtihad. Artinya, apabila mazhab Maliki menjadi mazhab resmi negara maka para mujtahid tidak akan bebas lagi berijtihad, sebab harus mengikuti mazhab resmi penguasa. Pada masa sekarang yang masih menggunakan mazhab resmi negara anatara lain: Saudi Arabia dengan mazhab Hanbali-nya dan Brunei Darusslam dengan mengambil mazhab Syafi’i sebagai mazhab resmi negar, atau Iran dengan mazhab Syi’ah Imamiyah. Sudah barang tentu kebijakan semacam ini akan memperkuat mazhab dan menyebarluaskan karena seperti yang dikatakan Ibnu Khaldun “manusia akan mengikuti agama penguasanya” (Al-Nas’ala Dini Mulukihim).
2.        Setelah adanya mazhab yang resmi menjadi mudah untuk pembentukan taqnin, dengan mengikuti mazhab yang resmi tadi. Contoh yang paling baik untuk fase ini adalah Majalah Al-Ahkam al-Adliyah yang dikeluarkan pada masa kekhalifahan Turki Ustmani yang mengambil seluruhnya dari mazhab resmi kekhalifahan Turki Utsmani yaitu mazhab Hanafi.
3.        Pentaqninan dengan mengambil bahan-bahan dari mazhab resmi tertentu, selama sesuai dengan kemaslahatan. Contohnya; kadang-kadang hukum dalam hukum keluarga pada zaman kekhalifahan Turki Utsmani mengambil mazhab Maliki. Misalnya, batalnya talak yang dijatuhkan karena di paksa atau dijatuhkan ketika sedang mabuk (Qanun Huquq al-‘adilah Turki Utsmani Tahun 1917, Pasal 57, 104, dan 105). Demikian pula halnya dalam kasus suami yang pergi atau hilang tanpa berita serta tidak memberi nafkah. Kemudian istrinya menggugat, maka pengadilan harus mengabulkan gugatan istri setelah mencari suami dengan sungguh-sungguh (pasal 126). Pasal 185, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, “Hukum Kewarisan”. Menyatakan bahwa ahli waris yang meninggal lebih dulu daripada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173 (membunuh, mencoba membunuh, atau menganiaya). Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Dalam kasusu pewaris meninggalkan anak perempuan dan anak laki-laki yang telah meninggal, ini bukan washiyah wajibah sehingga tidak boleh melebihi sepertiga harta warisan. Dalam kasus di atas, kalau diganti anak perempuan 1/2 cucu 1/2, sisanya ashabah. Cucu 1/2-3/6; kalau wasiat wajib tidak boleh lebih dari 1/3-2/6. Fase ketiga ini kemudian diikuti oleh sebagian negara-negara Arab seperti Mesir, Syria, Irak, dan Tunisia.
4.        Pada fase keempat ini, dunia Islam tidak hanya mengambil dari berbagai mazhab di dalam fiqh, tetapi juga mengadopsi beberapa bagian hukum-hukum barat; mislanya di dalam undang-undang hukum dagang baik di darat maupun di laut, yang dahulu belum mendapatkan perhatian yang serius dari Fuqoha, meskipun prinsip-prinsip hukumnya telah ditemukan, tetapi rinciannya sebagai bahan di dalam pentaqninan masih memerlukan penelitian, termasuk fatwa-fatwa yang kemudian jadi bahan taqnin.

            Pengaruh hukum barat ini nampaknya sulit dihindari, baik karena sekarang kita memasuki era globalisasi, maupun karena lamanya dunia Islam dijajah oleh Barat yang menerapkan hukumnya di daerah jajahannya. Di Malaysia misalnya: ada hukum cambuk, hukum cambuk ini dikenal di kalangan Fuqaha karena ada dalam Al-Qur’an, tetapi Malaysia juga menerapkan hukuman gantung yang tidak dikenal di kalangan Fuqaha. Meskipun hukuman mati di dalam hukum pidana Islam dikenal untuk kejahatan yang sangat berbahaya bagi masyarakat tetapi bukan dengan cara digantung. Hukuman gantung rupanya diambil dari hukum Inggris yang pernah menjajah Malaysia.
            Di dalam mengadopsi hukum-hukum Barat ini perlu kehati-hatian, dalam arti perlu penelitian tentag falsafah hukumnya, prinsip-prinsipnya, dan asas-asasnya. Tolak ukurnya adalah: dalil-dalil kulli baik dari Al-Qur’an maupun Hadits, Maqosidu Syari’ah, kaidah-kaidah kuliah fiqhiyah dan semangat hukum Islam, yang merupakan identitas hukum Islam. Akar filosofinya diberi landasan filosofis Islami (Sayyid Quthb).
            Apabila tidak bertentangan dengan keeempat hal tersebut tidak ada salahnya mengadopsi dari hukum Barat, sebab kemungkinan besar hukum Baratpun mengadopsi dari hukum Islam pada zaman keemasan Islam, sedangkan Barat masih dalam kegelapan.[2]

B.       Metode Legislasi
            Ayat-ayat Al-Qur’an secara terus-menerus diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sejak awal masa kenabiannya (609 M) hingga menjelang wafatnya (632 M), dalam rentang waktu kira-kira 23 tahun. Di mana pada masa tersebut satu-satunya sumber hukum Islam adalah wahyu ilahi, baik yang berbentuk Al-Qur’an maupun Sunnah (perkataan dan tindakan Nabi SAW). Ayat-ayat Al-Qur’an yang beragam pada umumnya diwahyukan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi Nabi SAW dan pengikutnya di Makkah dan Madinah. Sejumlah ayat Al-Qur’an merupakan jawaban langsung atas persoalan yang diajukan orang-orang muslim dan juga orang-orang non-muslim selama masa kenabian tersebut. Banyak dari ayat-ayat tersebut dimulai dengan kalimat “Mereka bertanya kepadamu tentang...” Sebagai contoh:

Description: C:\Users\user\Pictures\Screenshot_2016-05-02-19-10-12.png
Description: C:\Users\user\Pictures\Screenshot_2016-05-02-19-10-12.png
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar,  tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (mengahlangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah.”[3]

Description: C:\Users\user\Pictures\Screenshot_2016-05-02-19-30-42.png
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah; ‘pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.’“[4]

Description: C:\Users\user\Pictures\Screenshot_2016-05-02-19-34-59.png

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidl. Katakanlah: ‘Haidl itu adalah kotoran,’ oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidl; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.’”[5]

            Demikian juga mengenai masalah legislasi/tasyri’ Islam yang terdapat dalam Sunnah, banyak yang berasal dari jawaban-jawaban atas persoalan yang ada, atau yang berasal dari ungkapan-ungkapan yang dibuat pada saat terjadinya peristiwa. Sebagai contoh, pada satu kesempatan, salah seorang sahabat Nabi SAW bertanya, “Ya Rasulullah! Kami mengarungi lautan dan jika kami berwudlu dengan air segar yang kami bawa kami akan kehausan. Dapatkah kami berwudlu dengan air laut?” nabi SAW menjawab, “air laut itu suci dan semua bangkai binatang laut itu halal dimakan.”
            Alasan dipakainya metode legislasi/tasyri’ ini adalah demi tercapainya tahapan (gradasi) dalam pembuatan hukum, sehingga dengan pendekatan ini hukum yang diberlakukan bisa lebih mudah diterima oleh orang Arab yang sebelumnya sangat bebas. Selain itu, pentahapan juga akan membuat mereka lebih mudah dalam mempelajari dan memahami hukum karena alasan dan konteks legislasi/tasyri’ telah dikenal oleh mereka. Metode legislasi (tasyri’) secara bertahap ini tidak terbatas pada soal hukum sebagai suatu keseluruhan, tetapi juga menyangkut pada pembuatan sejumlah hukum yang bersifat perseorangan. Legislasi?tasyri’ tentang shalat adalah contoh yang bagus mengenai tahapan dalam membuat hukum yang bersifat perseorangan. Pada awal periode Makkah, shalat pada awalnya dikerjakan dua kali per-hari, satu kali di waktu pagi dan satunya lagi di malam hari. Singkatnya, sebelum hijrah ke Madinah, shalat lima kali sehari telah mulai dikerjakan oleh umat Islam. Namun demikian, shalat pada masa itu hanya terdiri dari dua rakaat. Setelah umat Islam awal terbiasa mengerjakan shalat secara teratur, jumlah rakaat ditingkatkan menjadi empat rakaat di setiap shalat, kecuali shalat shubuh dan maghrib.[6]
           
C.      Dasar legislasi (Tasyri’) dalam AL-Qur’an
            Al-Qur’an menyatakan bahwa pewahyuan dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi manusia. Islam tidak menghapus semua tradisi dan praktek-praktek pra-islam. Sebaliknya, Islam menghilangkan setiap segi yang merusak dan menghapus semua adat yang merugikan masyarakat. Karenanya, legislasi islam melarang bunga (dalam pinjam-meminjam) karena dengan bunga berarti mengambil keuntungan yang tidak adil terhadap sekelompok masyarakat yang kurang beruntung. Zina dilarang karena hal itu mengeksploitasi wanita dan dan merusak ikatan keluarga. Minum-minuman keras juga dilarang karena bisa merusak fisik, psikologis dan spiritual yang bisa membebani khususnya individu dan juga masyarakat secara keseluruhan. Praktek perdagangan diperbaiki dengan membuat dasar persetujuan perdagangan yang saling menguntungkan, dan menolak atau mengharamkan semua transaksi bisnis yang bersifat menipu. Sistem mengenai pernikahan diatur dengan mempertegas bentuk-bentuk tertentu dan melarang bentuk-bentuk lainnya, seperti perzinaan atau yang semacamnya. Dasar perceraian juga diatur, meskipun relatif sederhana.
            Karena kehadiran Islam bukan untuk menghancurkan peradaban, moralitas dan adat-istiadat manusia, namun untuk membangun peradaban baru dengan moralitas dan adat-istiadat baru, dengan memperhatikan segi kemaslahatan umat manusia. Hal-hal yang merugikan dihilangkan dan yang bermanfaat ditetapkan. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an:

Description: C:\Users\user\Pictures\2016-05-02-20-42-31--927820363.pngDescription: C:\Users\user\Pictures\2016-05-02-20-42-31--927820363.png
Description: C:\Users\user\Pictures\2016-05-02-20-42-31--927820363.png
Artinya: “...yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.”[7]

            Islam pada dasarnya merupakan suatu sistem yang bersifat membangun dan bukannya sebaliknya, merusak. Tujuannya adalah reformasi, bukan hanya bersifat mengontrol atau mengatur semata. Perlu dicatat, bahwa penetapan Islam terhadap beberapa adat-istiadat masyarkat Arab bukan berarti bahwasannya Islam mengambil hukum-hukum dan prinsip-prinsipnya dari sumber-sumber lain, juga bukan berarti bahwa semua praktek yang ditetapkannya bukan merupakan bagian dari hukum Tuhan. Apa saja yang ditetapkan Islam merupakan bagian integral dari peraturan-peraturan ketuhanan dengan alaan-alasan berikut ini:
a)        Sebagian dari praktik-praktik tersebut merupakan warisan dari generasi sebelumnya kepada masyarakat, di mana para nabi diutus kepada mereka. Contoh: tentang ibadah haji, yang mana telah dilembagakan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
b)        Prinsip-prinsip Islam tidak bertentangan dengan nalar manusia, juga bukannya tidak dapat dipahami. Alih-alih, prinsip-prinsip Islam membebaskan intelek manusia dari irasionalitas. Karenanya, prinsip-prinsip Islam mengakui hasil aktifitas intelektual manusia yang bermanfaat.
c)        Jika pratik-praktik yang diwarisi tidak ada, belum dipraktikan oleh para nabi sebelumnya, Islam akan melembagakannya karena manusia membutuhkan hal-hal yang demikian.

            Meskipun demikian, jumlah praktik-praktik yang diwarisi Islam, sebenarnya, cukup sedikit bila dibandingkan dengan praktik-praktik yang dihapus. Lebih dari itu, sangat sedikit lagi adalah praktik-praktik warisan itu tidak lagi dilakukan dalam bentuk dan cara seperti sebelumnya. Hanya dasarnya saja yang tak tersentuh oleh perubahan Islam.
            Agar legislasi Islam mencapai tujuan reformasinya, serangkaian perintah dan larangan kemudian dibuat memodifikasi aturan tingkah laku yang mengatur sistem sosial Islam. Karena itu, dalam pembuatan hukum, wahyu al-Qur’an mempertimbangkan empat prinsip dasar berikut:
1.        Menghapuskan Kesulitan
            Sistem Islam diwahyukan untuk kemaslahatan manusia. Sistem Islam memberi manusia petunjuk dalam semua aspek kehidupannya agar terjamin baginya cara hidup yang bermartabat dalam suatu masyarakat yang adil, yang memiliki komitmen untuk mengabdi kepada Tuhan. Hukum Islam bukan berarti suatu pembebanan, yang menciptakan kesulitan bagi manusia untuk bisa berkembang secara spiritual, seperti halnya beberapa sistem yang mereka anggap demikian. Sistem Islam didesain untuk memfasilitasi kebutuhan individu dan masyarakat. Demikian juga, pembangunan pilar-pilar yang menjadi sandaran Islam adalah untuk mengahpus kesulitan yang tidak perlu, sejauh hal itu dimungkinkan. Bukti-bukti yang mendukung fakta bahwa hukum Islam didasarkan pada konsep menghilangkan kesulitan dapat ditemukan dalam berbagai ayat al-Qur’an. Berikut ini beberapa ayat al-Qur’an yang terkait dengan hal tersebut:
Description: C:\Users\user\Pictures\Screenshot_2016-04-10-13-06-23.png
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”[8]
Description: C:\Users\user\Pictures\2016-04-10-12-57-00--843884539.png
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”[9]
Description: C:\Users\user\Pictures\Screenshot_2016-04-10-13-17-49.png
Artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”[10]

            Karena prinsip-prinsip inilah, Allah telah membuat syariah yang memuat hukum-hukum yang bersifat meringankan, seperti bolehnya membatalakan puasa dan menggantinya di lain kesempatan karena alasan-alasan tertentu, bolehnya mengqashar atau menjama’ shalat bagi para musafir. Lebih dari itu, mengkonsumsi hal-hal yang dilarang (seperti daging babi dan alkohol) dalam keadaan yang benar-benar terpaksa juga diperbolehkan. Terdapat dalam surat al-Maidah (5): 3 yang artinya “Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

2.        Mengurangi Kewajiban-kewajiban Agama
             Konsekuensi alamiah dari prinsip tersebut (memudahkan) adalah, bahwa jumlah keseluruhan kewajiban agama relatif hanya sedikit. Dengan demikian, tindakan-tindakan dan hal-hal yang dilarang dalam legislasi Islam lebih sedikit bila dibandingkan dengan hal-hal yang diperbolehkan, baik melalui perintah langsung atau tidak langsung. Prinsip kemudahan secar jelas dapat dilihat ketika al-Quran menjelaskan tentang hal-hal yang dilarang dan yang diperbolehkan. Dalam kasus pelarangan, sub kategori-kategorinya disebutkan dan disertakan, sementara dalam kasus pembolehan, suatu kelonggaran umum diberikan dengan jumlah kategori yang lebih besar. Sebagai contoh, berkenaan dengan makanan yang dilarang, Allah berfirman:

Description: C:\Users\user\Pictures\2016-05-02-20-49-05--927820363.pngDescription: C:\Users\user\Pictures\2016-05-02-20-49-05--927820363.png
Description: C:\Users\user\Pictures\2016-05-02-20-49-05--927820363.png

Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.”[11]

            Di sisi lain, berkaitan dengan makanan yang diperbolehkan atau dihalalkan, al-Quran menyatakan:
Description: C:\Users\user\Pictures\2016-04-10-13-31-30--843884539.jpegDescription: C:\Users\user\Pictures\2016-04-10-13-31-30--843884539.jpeg 
Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka.”[12]

            Meskipun kenyataannya hal-hal yang dilarang sangat sedikit bila dibandingkan dengan yang diperbolehkan, dosa seseorang yang terpaksa melanggar larangan juga ikut dijelaskan. Allah SWT memberikan kelonggaran hukum di sejumlah ayat yang terdapat dalam al-Qur’an. Sebagai contoh:

Description: C:\Users\user\Pictures\2016-05-02-20-50-19-1026283041.pngDescription: C:\Users\user\Pictures\2016-05-02-20-50-19-1026283041.png

Artinya: “Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[13]

3.        Merealisasikan Kesejahteraan Masyarakat
            Karena hukum Islam terutama diperuntukkan demi kebaikan semua manusia, Rasulullah SAW merupakan seorang Rasul yang diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Allah telah menyatakan dalam al-Quran:

Description: C:\Users\user\Pictures\Screenshot_2016-04-10-14-06-12.png
Artinya: “Katakanlah: ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua . . . ,”[14]

Nasakh (pembatalan)
            Keberadaan Nasakh di dalam legislasi Islam di antaranya sebagai bentuk manifestasi upaya mempertimbangkan kesejahteraann manusia dalam legislasi Islam. Tuhan bisa jadi menetapkan suatu hukum yang sesuai untuk orang-orang pada saat penetapannya, atau bisa juga dengan maksud khusus. Namun demikian, kesesuaiannya bisa saja terhenti atau maksud khususnya bisa saja telah tercapai. Dalam keadaan seperti itu, kebutuhan hukumnya berhenti dan tidak berlaku lagi.
            Dalam nasakh, tercakup pertimbangan-pertimbangan berdasarkan kondisi-kondisi dan kesejahteraan umat manusia. Pembuatan hukumnya lebih mementingkan kemaslahatan manusia.
            Nabi SAW juga sering menyebut alasan rasionalnya di balik ketetapan-ketetapan hukumnya. Sebagai contoh, dalam masalah nasakh tentang larangan ziarah kubur, beliau diriwayatkan pernah menyatakan, “Saya pernah melarang kalian untuk menziarahi kubur, namun izin telah diberikan padaku untuk menziarahi makam ibunda saya. Karenanya, ziarahlah kalian, karena hal itu bisa mengingatkan seseorang tentang kehidupan yang akan datang.”
            Penjelasan mengenai alasan-alasan hukum mengindikasikan bahwasannya ada atau tidak adanya hukum bergantung pada ada atau tidak adanya sebab-musababnya. Apabila manfaat dari hukum yang ditetapkan itu masih ada, maka hukum itu akan dilanjutkan; namun jika manfaatnya telah berubah karena perubahan keadaan, hukum tersebut juga harus berubah.
            Keputusan untuk mempertimbangkan kebutuhan manusia juga terdapat dalam metodologi penetapan hukum. Berkaitan dengan hukum-hukum yang tidak mengalmi perubahan seiring dengan berubahnya waktu dan kondisi, Allah SWT akan menguraikan detil-detilnya secara rinci dan jelas demi kemaslahatan semua umat manusia.

4.        Merealisasikan Keadilan Universal
            Syariat Islam memandang, semua manusia sama dalam hal kewajiban mematuhi hukum dan tanggung jawabnya atas pelanggaran terhadapnya. Hukum-hukum yang disebutkan dalam al-Quran bersifat umum, tidak membeda-bedakan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
            Pernah pada zaman Nabi, seorang perempuan dari bani Makhzum yang disegani telah mencuri beberapa barang, perhiasan dan mengakui perbuatannya ketika kasusnya diadukan kepada Nabi SAW. Sebelum keputusan dijatuhkan, kepala sukunya berusaha menemui Usamah bin Zaid yang memiliki kedekatan hubungan dengan Rasulullah SAW agar bersedia menengahinya dan mengupayakan keringanan hukuman. Ketika Usamah melakukan pendekatan kepada Rasulullah SAW, beliau menjadi murka dan berkata pada Usamah, “Apakah engkau mau menjadi penengah terhadap salah satu hukuman yang telah ditetapkan Allah?” Nabi SAW kemudian memanggil orang-orang agar berkumpul, kemudian beliau bersabda, “Orang-orang sebelum kalian menjadi hancur karena mereka membiarkan para bangsawan ketika mereka mencuri, dan menerapkan hukuman pada orang yang lemah apabila mereka mencuri. Demi Allah SWT! Jikalau anak perempuanku, Fatimah, mencuri, saya akan memotong tangannya!”[15]

D.      Konsep Fiqh Siyasah
            Fiqih Siyasah bukan kajian yang baru di antara ilmu pengetahuan yang lainnya, keberadaan Fiqih Siyasah sejalan dengan perjalanan agama Islam itu sendiri. Karena Fiqih Siyasah ada dan berkembang sejak Islam menjadi pusat kekuasaan dunia. Perjalanan hijrahnya Rasullulah ke Madinah, penyusunan Piagam Madinah, pembentukan pembendaharaan Negara, pembuatan perjanjian perdamaian, penetapan Imama, taktik pertahanan Negara dari serangan musuh yang lainnya. Pembuatan kebijakan bagi kemaslahatan masyarakat, umat, dan bangsa, dan kemudian pada masa itu semua dipandang sebagai upaya-upaya siyasah dalam mewujudkan Islam sebagai ajaran yang adil, member makna bagi kehidupan dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Semua proses tersebut merupakan langkah awal berkembangnya kajian fiqih siyasah, dimana fiqih siyasah menerima dengan tangan terbuka apa yang dating dari luar selama itu untuk kemaslahatan bagi kehidupan umat. Bahkan menjadikannya sebagai unsur yang akan bermanfaat dan akan menambah dinamika kehidupannya serta menghindarkan kehidupan dari kekakuan dan kebekuan, dalam kesempatan hari ini.
Perpaduan antara politik dan agama yang merupakan  akibat langsung dari hakikat teologi Islam juga terungkap dalam kawasan teori konstitusioanal. AI-Quran sebagai undang-undang, perilaku keagamaan, tetapi yang lebih tinggi, kitab suci itu merupakan hokum dasar dan tertinggi yang tidak dapat digolongkan sebagai argument serius tentang konstitusi Negara Islam. Sumber hokum konstitusi Islam yang kedua yang tidak kalah penting adalah Sunah atau segala perkataan dan praktek kehidupan Nabi Muhammad SAW, manusia yang dipilih Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada sernua manusia.
Sumber hokum konstitusi Islam yang ketiga adalah Ijma' yang berarti kesepakatan universal atau kosensus yang bersifat umum. Ijma' melibatkan upaya kolektif yang terdiri dari anggota-anggota suatu kelompok atau keseluruhan masyarakat untuk meraih sebuah kesepakatan hokum tentang suatu masalah tertentu. Sedangkan sumber hokum konstitusi yang keempat adalah Qiyas yaitu metode yang digunakan untuk memecahkan suatu masalah yang berkenaan dengan legalitas suatu bentuk perilaku tertentu. Dalam Islam metode ini digunakan untuk memperluas hokum-hokum syariah yang bersifat umum kepada berbagai kasus individu yang tak terbatas atas dasar kesamaan atau ketidakselarasan dengan beberapa kasus lama yang telah dijelaskan dalam Qur'an dan Sunnah.
Dalam kajian fiqh siyasah, legislasi atau kekuasaan legislative disebut juga dengan al-sulthah al-tasyri’iyah, yaitu kekuasaan pemerintah Islam dalam membuat dan menetapkan hukum. Dalam wacana fiqh siyasah, istilah al-sulthah al-tasyri’iyah digunakan untuk menunjukan salah satu kewenangan atau kekuasaan pemerintah Islam dalam mengatur masalah kenegaraan, di samping kekuasaan eksekutif (al-sulthah al-tanfidzhiyah) dan kekuasaan yudikatif (al-sulthah al-qadha’iyah). Dalam konteks ini kekuasaan legislative (al-sulthah al-tasyri’iyah) berarti kekuasaan atau kewenangan pemerintah Islam untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dan dilaksanakan oleh masyarakatnya berdasarkan ketentuan yang telah diturunkan Allah SWT dalam syari’at Islam
Orang-orang yang duduk dalam lembaga legislative ini terdiri dari para mujtahid danahli fatwa (mufti) serta para pakar dalam berbagai bidang. Ada dua fungsi lembaga legislative. Pertama, dalam hal-hal ketentuannya, sudah terdapat di dalam nash Al-Qur’an dan Sunnah, undang-undang yang dikeluarkan oleh  al-sulthah al-tasyri’iyah adalah undang-undang Ilahiyah yang disyari’atkanNya dalam Al-Qur’an dan dijelaskan oleh Nabi SAW. Kedua, melakukan penalaran kreatif (ijtihad) terhadap permasalahan yang secara tegas tidak dijelaskan oleh nash. Kewenangan lain dari lembaga legislative adalah dalam bidang keuangan negara. Dalam masalah ini, lembaga legislative berhak mengadakan pengawasan dan mempertanyakan pembendaharaan negara, sumber devisa dan anggaran pendapat dan belanja yang dikeluarkan Negara kepada kepala Negara selaku pelaksana pemerintahan.
Unsur-unsur legislasi dalam fiqh siyasah dapat dirumuskan sebagai berikut :
a.         Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk menetapkan hukum yang akan diberlakukan dalam masyarkat Islam .
b.         Masyarakat Islam yang akan melaksanakan.
c.         Isi peraturan atau hukum yang sesuai dengan nilai dasar syari'at Islam.
d.        Ummah. Dalam konteks agama Islam, kata ummah bermakna seluruh persebaran umat Islam atau "komunitas dari orang-orang yang beriman" (ummatul mu'minin), dan dengan demikian bermakna seluruh Dunia Islam. Ungkapan "kesatuan umat" (ummatul wahidah) dalam Al-Qur'an merujuk kepada seluruh kesatuan Dunia Islam. Al-Qur'an menyatakan: "Sesungguhnya umatmu ini (agama tauhid) adalah umat (agama) yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku (QS Al-Anbiya' [21]: 92). Kata-kata umat ternyata memiliki ruang lingkup yang berlapis. Lapisan pertama, kata umat bisa disamakan dengan makhluk Tuhan, sehingga burungpun disebut umat, semut yang berkeliaran pun juga bias disebut umat dari umat-umat Allah. Lapisan kedua, kata umat berarti umat manusia secara keseluruhan. Lapisan ketiga, kata umat berarti suatu komunitas manusia. Dalam lapisan ini bisa dibedakan antara umat Islam dan umat non-muslim.




DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Nasar. 1996. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Djazuli, H. A. 2005. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta: Kencana
Philips, Abu Ameenah Bilal. 2005. Asal-usul dan Perkembangan Fiqh Analisis Historis atas Mazhab, Doktrin dan Kontribusi. Terj, M. Fauzi Arifin. Bandung: Nuansa.
Sudirman, Tebba Eta. 1993. Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya. Terj, Hendro Prasetyo. Bandung: Mizan




[1] H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh, Kencana, Jakarta, 2005, hal. 163-166.
[2] Ibid. Hal 166-169
[3] QS. Al-Baqarah (2): 217.
[4] QS. Al-Baqarah (2): 219.
[5] QS. Al-Baqarah (2): 222.
[6] Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul dan Perkembangan Fiqh Analisis Historis atas Mazhab, Doktrin dan Kontribusi, Nuansa, Bandung, 2005, hal: 1-5

[7] QS. Al-A’raf (7): 157.
[8] QS. Al-Baqarah (2): 286
[9] QS. Al-Baqarah (2): 185
[10] QS. An-Nisa (4): 28.
[11] QS. Al-Maidah (5): 3.
[12] QS. Al-Maidah (5): 5.
[13] QS. Al-Baqarah (2): 173.
[14] QS. Al-A’raaf (7): 158.
[15] Abu Ameenah Bilal Philips, Asal-usul dan Perkembangan Fiqh Analisis Historis atas Mazhab, Doktrin dan Kontribusi, Nuansa, Bandung, 2005, hal: 14-31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar