Jumat, 20 Mei 2016

Makalah Perbedaan Pendapat Para Ulama



A.    Sebab-sebab perbedaan pendapat
      Salah satu kenyataan dalam fiqh adalah adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama.meskipun demikian kebijaksanaan fiqh menetapkan bahwa perbedaan pendapat itu disenangi,dan mendahulukan apa yang telah disepakati daripada hal-hal lain dimana terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama.
Adapun sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah:
1.    Karena berbeda dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah baik dalam Al-Quran maupun hadits.
2.    Karena berbeda tanggapanya terhadap hadits.ada hadits yang sampai kepada sebagian ulama,tetapi tidak sampai kepada ulama yang lain.kslsu hadits tersebut diketahui oleh semua ulama,sering terjadi sebagian ulama menerimanya sebagai haditsh sahih,sedangkan sebagian yang lain menganggap dha,if,isadan lain sebagainya.
3.    Berbeda dalam menanggapi kaidah-kaidah ushul.misalnya ada para ulama yang berpendapat bahwa lapal am sudah ditakh’sis itu bisa di jadikan hujah.ulama-ulam berpendapat bahwa mahfum itu hujah,kemudian berbeda lagi pendapatnya terhadap makhfum mukhalafah.
4.    Berbeda btanggapanya tentang ta’arudl(pertentangan antara dalil) dan tarjih(menguatkan stu dalil atas dalil yang lain) Seperti:tentang nasakh dan mansukh,tentang pentakwilan,dan lain sebagainya yang dibahas secara luas dalam ilmu ushul fiqh.
5.    Berbeda pendapat dalam menetapkan dalil yang sifatnya ijtihadi. Ulama sepakat bahwa Al-Quran dan Al Sunah Al-shahihah adalah sumber hukum.tetapi berbeda pendapatnya istishan,al-maslahahnal-mursalah,pendapat sahabat,dan lain-lainya yang[1]digunakan dalam era berijtihad.sering pula terjadi,disepakati tentang dalilnyatetapi penerapanya berbeda-beda.sehingga mengakibatkan hukumnya berbeda pula . misalnya tentang Qiyas:jumhur ulama berpendapat bahwa Qiyas adalah dalil yang bias digunakan,tetapi dalam menetapkan illat hukumnya maka berbeda pula dalam hukumnya.

Dari keterangan diatas jelas bahwa perbedaan  pendapat para ulama itu pada prisipnya disebabkan karena berbeda dalam cara beijtihad. Berbeda dalam berijtihad mengakibatkan berbeda dalam fiqh sebagai hasil ijtihad. Disamping itu sering pula terjadi perbedaan pendapat akibat pengaruh lingkungan dimana ulama tersebut hidup. Seperti Qaul Qadim dan Qawl Jadid dari Imam Al-Syafi’i. Qaul Qadim merupakan hasil ijtihad Imam Al-Syafi’i ketika beliau hidup di bagdad. Sedangkan Qawl Jadid merupakan hasil ijtihad imam Al-Syafi’I ketika beliau hidup di mesir. Imam Abu Hanifah dihadapkan kepada masyarakat yang lebih maju peradabannya di irak, sehingga di tuntut untuk berpikir secara lebih rasional akibatnya rasionalitas lebih mewarnai mazhab Hanafi. Sebaliknya Imam Maliki berhadapan dengan masyarakat Madinah, tempat nabi berjuang dan membangun umatnya sehingga beliau dituntut untuk lebih mengikuti dan mempertahankan ‘urf Ahli Madinah. Hal inilah mazhab Maliki lebih bernuasa tradisional.
Perlu ditekankan disini bahwa disamping perbedaan pendapat banyak pula masalah yang disepakati para ulama, baik dalam hal-hal yang berkaitan dengan dalil kulli ataupun dalil juz’i seperti wajib melakasanakan solat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, menunaikan zakat, naik haji bagi yang mampu, wajib melaksanakan keadilan, melaksanakan amanah, wajib memelihara ukhuwah, musyawarah, dan lain-lain. Haram melakukan pencurian ,perampokan, pembunuhan, zina, minuman khamr, menuduh zin, menghina orang, melakukan riba, menipu dalam timbangan, menjadi saksi palsu, dsb.[2]
Perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan hukum syar’iyah tidak hanya terjadi antar madzhab, perbedaan pendapat ulama ini juga terjadi dalam lingkungan madzhab mereka. Banyak orang mengingkari perbedaan pendapat ulama ini, disebabkan keyakinannya yang menyatakan bahwa agama ini satu, syariat juga satu, kebenaran itu satu tidak bermacam-macam dan sumber hukum hanya satu yaitu wahyu ilahi. Selanjutnya mereka mengatakan, mengapa harus ada perbedaan pendapat, dan mengapa madzhab-madzhab fiqh tidak menyatu?. Mereka menyangka bahwa perbedaan pendapat ulama akan berakibat terjadinya benturan-benturan dalam syariah dan perpecahan, dan menyamakan perbedaan pendapat ini sama seperti perpecahan yang terjadi dalam tubuh agama Kristen yang terpecah menjadi Ortodoks, Katolik dan Protestan.Semuannya ini adalah kesalahpahaman yang batil. Perlu diketahui bahwa perbedaan pendapat ulama merupakan rahmat yang memberikan kemudahan bagi umat Islam, menjadi kekayaan intelektual yang besar yang dapat dibanggakan. Perbedaan pendapat ini hanya sebatas perbedaan far’iyah (cabang) dan metode ilmiah, bukan dalam ushul, pondasi agama dan i’tikad. Dalam sejarah Islam, tidak ditemukan bahwa perbedaan pendapat ini menjadi biang perpecahan, permusuhan dan pengoyak kesatuan muslimin.  
Perlu dijelaskan bahwa perbedaan ulama hanya sebatas akibat dari perbedaan metode pengambilan hukum yang menjadi kebutuhan pasti dalam dalam memahami hukum dari dalil-dalil syariah, seperti perbedaan dalam masalah penafsiran nash-nash hukum berikut penjelasan-penjelasan yang dilakukan. Hal ini disebabkan karakter bahasa Arab yang terkadang mempunyai makna lebih dari satu, juga disebabkan riwayat hadits, kwalitas keilmuan ulama, atau disebabkan adanya upaya ulama tertentu dalam menjaga kemaslahatan dan kebutuhan secara umum.[3]
Berikut adalah enam penyebab penting perbedaan pendapat ulama dalam mengambil hukum syariah:

1.      Perbedaan Dalam Memaknai lafadz-lafadz Arabiah.
Perbedaan dalam memberikan makna ini disebabkan oleh bentuk lafadz yang global (mujmal), mempunyai banyak makna (musytarak), mempunyai makna yang tidak bisa dipastikan khusus atau umumnya, haqiqah dan majaz-nya, haqiqah dan 'uruf-nya, atau disebabkan mutlaq atau muqayyad-nya, atau perbedaan I’rab. Contoh simpel dari penyebab ini adalah pemaknaan lafadz “al-Qur’u”, apakah dimaknai suci atau haid. Juga seperti lafaz amr (perintah), apakah menunjukkan wajib atau sunat. Dan masih banyak contoh yang lain.
2.      Perbedaan Riwayat
Perbedaan riwayat hadits yang menjadi rujukan hukum diakibatkan oleh beberapa hal. Pertama adalah adanya hadits yang hanya sampai kepada satu mujtahid dan tidak sampai pada mujtahid yang lain. Kedua adalah sampainya satu hadits kepada seorang mujtahid dengan sanad yang dla’if, sementara hadits tersebut sampai kepada mujtahid yang lain dengan sanad yang shahih. Ketiga: Seorang mujtahid berpendapat bahwa terdapatnya perawi dhaif dalam riwayat sabuah hadits membuat hadits tidak dapat diterima, sedangkan mujtahid yang lain tidak demikian. 
3.      Adanya Perbedaan Dasar hukum
Perbedaan dasar hukum yang dimaksud ialah dasar hukum selain al-Quran, hadits dan ijma’, seperti Istihsan, mashalih mursalah, qaul shahabi, istishab dan sadd al-dzariah
4.      Perbedaan dalam Kaidah-kaidah usul
Perbedaan ini seperti perbedaan pendapat tentang digunakannya kaidah “al-‘am al-makhsush laisa bihujjah/lafadz yang bermakna khusus yang dikhususkan tidak dapat dijadikan hujjah”, “Al-mafmun laisa bihujjah/kepahaman konteks tidak bisa dijadikan hujjah” dan lain-lain.
5.      Ijtihad Menggunakan Qiyas.
Ini adalah penyebab yang paling luas, dimana ia mempuyai dasar, syarat dan illat. Illat pun juga mempunyai syarat dan tata cara dalam mengaplikasikannya. Semua ini menjadi potensi bagi timbulnya perbedaan.


6.      Pertentangan Dasar Hukum berikut Tarjihnya
Masalah ini sangat luas yang menjadi perbedaan pandangan dan menimbulkann banyak perdebatan. Masalah ini membutuhkan ta’wil, ta’lil, kompromi (jam’u), taufiq, naskh dan lain-lain.[4]
Dengan penjelasan ini dapat diketahui bahwa hasil ijtihad para imam madzhab tidak mungkin untuk diikuti semua, meskipun boleh dan wajib mengamalkan salah satunya. Semua perbedaan adalah masalah ijthadiyah, dan pendapat-pendapat yang bersifat dzanni (dugaan), yang harus dihormati dan dianggap sama. Amatlah salah jika perbedaan tersebut menjadi pintu timbulnya fanatisme, permusuhan dan perpecahan diantara kaum muslimin yang telah disifati dalam al-Qur’an sebagai umat yang bersaudara dan diperintah untuk berpegang teguh kepada tali Allah. Wallahul Musta’an 5)
B.     Pengaruh Perbedaan pendapat Para Ulama
            Perbedaan pendapat ini sudah terjadi sejak masa Nabi,hanya saja pada zaman nabi apabila terjadi perbedaan pendapat dikalangan sahabat yang memberikan keputusan akhir yaitu Nabi sendiri.dengan demikian,perbedaan pendapat dapat terselesaikan.umat pun mengikuti keputusan Nabi ini .pada zaman sahabat terutama pada zamanKhulafa-Rasyidin,untuk masaalah-masalah yang berkaitan  dengan kemaslahatan umat selalu dimusyawarahkan oleh Khalifah dengan anggota-anggota majelis permusyawaratan.keputusan musyawarah ini menjadi pegangan umat.
            Perbedaan pendapat dalam masalah  lainya tidak langsung berkaitan dengan kepentingan ummat.perbedaan pendapat para ulama dalam bidang fiqh inintidak memberikan pengaruh yang negatif sampai kezaman imam-imam mujtahidin.mereka tahu pasti dimana dimungkinkan perbedaan pendapat,dan dimana perbedaan pendapat pada masa itu mereka cukup toleran dan menghargai pendapat yang lain.Imam Syafi’imenghargai pendapat Imam malik dan Imam malik juga menghargai pendapat Abu Hanifah.
            Namun,setelah orang fanatik kepada satu mazhab atau kepada satu pejndapat ulama,maka sering perbedaan pendapat ini mengakibatkan hal-hal yang tidak pada tempatnya.melampaui batas-batas yang harus dipegang bersama,merusak persatuan dan kesatuan umat serta ukhwah islamiyah yang dibina oleh Rasulullah SAW.prof.hasbi menyatakan:apabila kita perhatikan keadaan masyarakat islam dewasa ini dan sebabnya mereka bergolong-golongan ditinjau dari segi hukum islam niscaya nyatalah bahwa diantara sebab-sebab itu ialah perbedaan pegangan,perbedaan anutan,dan peerbedaan anutan,dan perbedaan ikutan.dan untunglah ditanah air kita Indonesia ini pengaruh perbedaan anutan dan golongan tidaklah meruncing,jika dibandingkian dengan keadaan diluar negeri seperti di india,di Persia dan lain-lain tempat.’’’pengaruh negatif dan perbedaan pendapat ini ternyata bisa dinetralisasi dengan pendidikan yang meluaskan wawasan berpikir tentang hikum islam,Antara lain dengan cara muqaranah al-madzahib dan membaca kitab-kitab imam madzhab.[5]

C.    Hikmah Perbedaan Pendapat Para Ulama
      Perbedaan pendapat tidak akan mengakibatka pengaruh yang negatif. Bahkan,perbedaan pendapat bisa memberikan hikmah yang besar.dengan berfikir kritis dan bersikap terbuka terhadap perbedaan pendapat para Ulama,maka perbedaan pendapat itu akan memberikan hikmah yang besar.dengan berfikir kritis dan bersikap terbuka terhadap perbedaan pendapat para Ulama,maka perbedaan pendapat itu akan memberikan hikmah yang besar,berikut ini akan dikemukakan beberapa hikmah dapat ditarik dari perbedaan pendapat tersebut.
      Kita memiliki sejumlah besar hasil ijtihad yang memungkunkan untuk memilih mana mana alternatif yang terbaik diantara pendapat para ulam yang bisa diterapkan untuk masa sekarang ini.cra inilah yang sedang ditempuh para ahli hokum islam.sekarang telah tebukti dalam perkembangan hokum islam terakhir.
      Disamping itu dengan adanya perbedaan pendapat para ulama,kita akan tahu alas an masing-masing ulama tentang pendapatnya tersebut,sehingga memungkinkan kita untuk mentarjih atau cenderung kepada pendapat yang mempunyai ulama yang ada,dengan melihat kepada cara beristinbat,akan nilai Al-Quran dan Sunah.
      Kita melihat kenyataan bahwa bagaimanapun juga selama diperkenankan ijtihad,maka berarti diperkenankan adanya perbedaan pendapat.sebab iijtihd mengakibatkan adanya perbedaan pendapat para ulama.ini berarti dituntut sikap toleran terhadap kenyataan adanya perbedaan pendapat.kenyataan lain adalah umat islam pada umumny yang tidak mampu berijtihad akan mengikuti salah satu pendapat ulama,baik dengan cara ittiba’ maupun taklid.ini bisa dipahami karena umat islam yang awam mempunyai I’tikad baik untuk bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan ajaran agama..yang tahu ajaran agama itu adalah ulama(ahli agama).
      Maka dengan ittikad baiknya itu mereka mengikuti salah seorang Ulama..apalagi mereka sering dengar Al-Ulama warasat Al-anbiya para ulama itu adalah ahli waris para nabi.oleh karena itu,kedudukan Ulama sangat tinggi dimata mereka,fatwa ulama  pada pandangan mereka sama dengan fungsi dalil pada pandangan mujtahid.hal ini tampak dari ungkapan:Qaul Al-muffi fi haqq al-am ka al-addilla fi haqq al-mujtahid.
      Sekalipun keharusan kembali kepada Al-Quran dan sunnah sudah lama dikumandangkan,dan disepakati oleh seluruh imam mazhab,tetapi tampaknnya belum ada model thuruq al-istinbatyang baru,akibatnya,sering terjadi adanya pendapat baru,tetapi jika diteliti ternyata telah ada,mungkin ditemukan pada mazhab hanafi,atau maliki,atau syafi, atau ulama lainya (Al-tharabi, Tsar,laits bin Sa,ad,dan lain-lain)cara berintisbat untuk masalah barupun ternyata sama dengan salah satu imam mazhab.dhahiri menekankan pada dilahir nash,sedangkan maliki dan hanafi lebih menekankan pada kemaslahatan dan semangat ajaran,metode-metode lainya dalam ilmu ushul fiqh.[6]
Akhirnya dapat dinyatakan bahwa perbedaan pendapat adalah wajar dalam masalah-masalah ijtihadiyah selama kita tetap bisa menjaga persatuan dan ukhuwah islamiyah.perbedaan pendapat menjadi tidak wajar apabila menjurus kepada perselisihan dan permusuhan,serta melampaui batas-batas dalil kulli.[7]
D.    MENYINGKAPI PERBEDAAN PANDANGAN DALAM FIQIH
Perbedaan pandangan dalam masalah-masalah fiqih di kalangan para ulama terjadi karena beberapa alasan dan beberapa kondisi. Sikap terbaik dalam menghadapi perselisihan di antara ulama adalah sebagaimana ayat berikut:
Description: C:\Users\Acer\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\nisa59.png
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah Dan taatilah Rasulmu, dan Ulil amri  Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.“ (An-Nisa: 59)[8]
Ini adalah prinsip agung yang mesti diikuti oleh setiap muslim, yaitu mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Apa maksudnya?Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan: Mujahid dan lebih dari satu orang salaf berkata: yaitu kembalikan kepada kitabullah dan sunah Rasul-Nya. Ini adalah perintah dari Allah ‘Azza wa Jalla bahwa semua hal yang diperselisihkan manusia, baik perkara pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, maka hendaknya perselisihan itu dikembalikan menurut keterangan Alquran dan As-Sunnah. Sebagaimana firman-Nya: tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Syura:10) Maka, apa-apa yang dihukumi oleh kitabullah dan sunah Rasul-Nya, dan hal tersebut dinyatakan benar oleh keduanya, maka itulah Al-haq (kebenaran), dan selain itu adalah kesesatan. (Tafsir Alquran Al-‘Azhim, 2/345)
Ini yang pertama. Kemudian, jika kedua pihak merasa pendapatnyalah yang lebih sesuai dengan Alquran dan As-Sunnah dengan penelitian masing-masing, tanpa hawa nafsu dan fanatik, maka hendaknya mereka memegang dan meyakini pendapatnya itu, tanpa mengingkari pendapat saudaranya, apalagi meremehkannya, dan menyerang pihak yang berbeda.
Oleh karenanya, perlu nampaknya kita perhatikan nasihat dan contoh baik dari para imam terdahulu dalam menyikapi perselisihan ini.
Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan Ats-Tsauri, sebagai berikut:
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau melarangnya.” (Imam Abu Nu’aim Al-Asbahany, Hilyatul Auliya’, 3/133)
Berkata Imam an Nawawi Rahimahullah:  “Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepakati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/131. Mawqi’ Ruh Al-Islam)[9]
Jadi, yang boleh diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’. Adapun zona ijtihadiyah, maka hendaknya menerima dengan lapang dada dan tidak saling mengingkari.
Imam As-Suyuthi Rahimahullah berkata dalam kitab Al-Asybah wa An Nazhair:Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Sesungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As-Suyuthi, Al-Asybah wa An Nazhair, 1/285)
Berkata Asy Syaikh Dr. Umar bin Abdullah Kamil: “Ijtihad itu, jika dilakukan sesuai dengan dasar-dasar ijtihad dan manhaj istimbat (konsep penarikan kesimpulan hukum) dalam kajian ushul fiqh (dasar-dasar fiqih), maka wajib menghilangkan sikap pengingkaran atas hal ini. Tidak boleh seorang mujtahid mengingkari mujtahid lainnya, dan tidak boleh seorang muqallid (pengekor) mengingkari muqallid lainnya, jika tidak demikian maka akan terjadi fitnah.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al-Hiwar wal Qawaid Al-Ikhtilaf, hal. 43. Mauqi’ Al-Islam)
Al-Ustadz Hasan Al-Banna Rahimahullah menjelaskan -setelah Beliau menerangkan sebab-sebab perselisihan fiqih di antara umat Islam:
“Bahwa sebab-sebab itu membuat kita berkeyakinan bahwa upaya penyatuan dalam masalah furu’ adalah pekerjaan mustahil, bahkan bertentangan dengan tabiat agama ini. Allah menghendaki agar agama ini tetap terjaga dan abadi, dan dapat mengiringi kemajuan zaman. Untuk itu agama ini harus muncul dalam warna yang mudah, fleksibel dan lentur, tidak jumud atau keras.” (Majmu’ah Ar Rasa-il, hal. 26)
Dalam Risalah Al-Khamis beliau juga berkata: “Bahwa perselisihan dalam masalah furu’ (cabang) merupakan masalah yang mesti terjadi. Hal itu karena dasar-dasar Islam dibangun dari ayat-ayat, hadits-hadits dan amal, yang kadang dipahami beragam oleh banyak pikiran. Karena itu, maka perbedaan pendapat pun tetap terjadi pada masa sahabat dulu. Kini masih terjadi dan akan terus terjadi sampai hari kiamat. Alangkah bijaknya Imam Malik ketika berkata kepada Abu Ja’far, tatkala Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al-Muwatha’ (himpunan hadits karya Imam Malik), “Ingatlah bahwa para sahabat Rasulullah telah


[1] A.Djazuli.2004.ilmu fiqih.Bandung: KENCANA PENADA MEDIA GROUP.

[2] A.Djazuli.2004.ilmu fiqih.Bandung: KENCANA PENADA MEDIA GROUP.
[3] Sumber: Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Wahbah Zuhaili, Juz. 1 hlm: 83-88
[4] Sumber: Al-Fiqh Al-Islamy Wa Adillatuh, Wahbah Zuhaili, Juz. 1 hlm: 83-88

[5] A.Djazuli.2004.ilmu fiqih.Bandung: KENCANA PENADA MEDIA GROUP.
[6] Mujtaba, Saifudin. 2012.Ilmu Fiqh Sebuah Pengantar.Jember: STAIN Jember Press

[7] Mujtaba, Saifudin. 2012.Ilmu Fiqh Sebuah Pengantar.Jember: STAIN Jember Press

[8] PDF/perbedaan pandangan fiqih
[9] PDF/perbedaan pandangan fiqih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar