Jumat, 20 Mei 2016

Makalah Syariah, Fiqh, Ushul Fiqh



A.    Pengertian Syari’ah
Karena fiqih itu berkaitan erat dengan syari’ah atau bahkan syari’ah itu merupakan induk fiqih, maka sebelumnya membicarakan pengertian fiqih terlebih dahulu dijelaskna secara sederhana arti syari’ah itu.[1]
Secara leksikal syari’ah berarti “ jalan ketempat pengairan “ atau ‘ jalan yang harus diikuti “, atau ‘ tempat lalu disungai “. Arti terakhir ini digunakan orang Arab sampai sekarang untuk maksud kata syari’ah.
Kata “syari’ah” atau dengan yang seakar dengan itu muncul beberapa kali dalam al-Qur’an seperti dalam:
a.       Surat al-Maidah ayat 48:
Description: http://ahadees.com/images/quran/arabic/5_48.gif
 “ dia telah mensyariatkan beagimu tentang agama, apa yang telah diwasiatkan pada nuh….”        
            Dari ayat al-Quran tersebut diatas “agama” ditetapkan Allah untuk manusia yang disebut “syari’at” dari arti lughawi, karena umat Islam selalu melaluinya yang dihidupinya di dunia. Kesamaan syari’at Islam dengan jalan air adalah dari segi bahwa siapa yang mengikuti syari’ah itu ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagaimana dia menjadikan syari’ah sebagai penyebab kehidupan jiwa manusia.
            Diantara pakar-pakar Hukm Islam memberikan definisi kepada syari’ah itu dengan “segala titah allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia diluar yang mengenai akhlak”. Dengan demikian syari’ah itu adalah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliah.
            Walaupun pada mulanya syari’ah itu diartikan “agama” sebagaimana disinggung Allah dalam surat al-Syura ayat  13, kemudian dikhususkan penggunannya untuk hukum alamiah. Pengkhususan ini dimaksudkan karena syari’ah berlaku untuk masing-masing umat yang mumgkin berbeda dengan umat sebelumnya. Dengan demikian pengertian “syariah” lebihh khusus dari pada agama. Syariah’ah adalah hukum alamiah yang berbeda menurut perbedaan rasul yang membawanya dan setiap yang datang kemudian memperbaiki dan meluruskan syari’at yang lalu karena generasinya sudah berbeda, situasi dan kondisi umat yang mengamalkan juga sudah berbeda, sedangkan dasar agama yaitu tauhid hanya satu yang bersifat universal dan tidak terpengaruh pada waktu dan tempat.
            Diantara ulama ada yang mengkhususkan lagi penggunaan kata syari’ah itu dengan “apa yang bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan perkara pada mahkamah dan tidak mencakup kepada halal dan haram. Seorang ulama bernama Qatadah menurut yang diriwayatkan oleh al-thabari, ahli tafsir dan sejarah, manggunakan kata syari’ah kepada hal yang menyangkut kewajiban, hak, perintah dan larangan; tidak termasuk di dalamnya aqidah, hikmah dan ibarat yang tercakup dalam agama. Mahmud Syaltut mengartikan syari’ah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah bagi hambanya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan sesama manusia dan alam sekitarnnya”. Dr.Farouk Abu Zeid menjelaskan bahwa syari’ah ialah “ apa-apa yang ditetapkan Allah melalui lisan Nabi-nya. Allah adalah pembuat syari’ah yeng menyangkut kehidupan agama dan kehidupan dunia”.


B.     Kaidah Syari’ah
 Kaidah syari’ah adalah maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib” (Semua yg menjadi penyebab kewajiban dengannya maka hukumnya wajib).
Maksudnya adalah contoh saja bila sebagaimana kita ketahui bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya wajib, dan membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat kita akan melakukan shalat kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus membeli dulu, maka membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu dipakai untuk melaksanakan shalat yg wajib .Contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat kantong baju hukumnya mubah saja, lalu saat akan bepergian kita akan membawa siwak dan baju kita tak berkantong, maka perlulah bagi kita membuat kantong baju untuk menaruh siwak, maka membuat kantong baju di pakaian kita menjadi sunnah hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh siwak yg hukumnya sunnah.
Sebagaimana penulisan al-Qur’an yg merupakan hal yg tak perlu dizaman Nabi saw, namun menjadi sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai banyak yg membutuhkan penjelasan al-Qur’an, dan menjadi wajib hukumnya setelah banyaknya para sahabat yg wafat, karena ditakutkan sirnanya al-Qur’an dari ummat, walaupun Allah telah menjelaskan bahwa al-Qur’an telah dijaga oleh Allah.
Hal semacam ini telah difahami dan dijelaskan oleh para khulafa’urrasyidin, sahabat radhiyallahu’anhum, Imam dan Muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang muslimin yg awam, namun hanya sebagian saudara saudara kita muslimin yg masih bersikeras untuk menentangnya, semoga Allah memberi mereka keluasan hati dan kejernihan, Karena perlu kejernihan hati untuk menerangkan fiqih dan syariah.
C.    Pengertian Fiqh
 Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgj5078GF9zNGZkoQRdJUB44u4bVd_MEiM-tqzy5QpazoTIiccg9kBfFU2P0h712FhRWoM8ETamxqKvMXty-dxAZ5nt3eJAHzgfS00XSO3GSJ79q2Fs9WX_XN5WLMUKKhufFvwWd3Kgs8HA/s600/Att+taubat.pngDi dalam al-Quran tidak kurang dari 19 ayat yang berkaitan dengan kata Fiqh dan semuanya dalam bentuk kata kerja, seperti di dalam surat at-Tawbah ayat 122.







 “tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
Dari ayat ini, dapat ditarik satu pengertian bahwa Fiqh itu berarti mengetahui, memahami, dan mendalami ajaran-ajaran agama secara keseluruhan. Jadi pengertian Fiqh dalam arti yang sangat luas sama dengan  pengertian syari’ah dalam arti yang sangat luas. Inilah pengertian Fiqh pada masa sahabat atau pada abad pertama Islam.
Ibnu Khaldun mengatakan bahwa : “Pada permulaan Islam orang-orang yang ahli di dalam agama yang selalu mengembalikan persoalan kepada al-Quran, tahu tentang nasikh dan mansukh, tahu tentang ayat-ayat yang mutasyabih dan muhkamah serta tahu tentang pemahaman-pemahaman yang mereka dapatkan dari Rasullah saw. disebut dengan al-qurra. Mereka disebut al-qurra karena mereka membaca Al-Quran dan masih jarang pada masa itu orang yang dapat membaca”.
Dalam perkembangan selanjutnya, yakni setelah daerah Islam meluas dan setelah cara istinbath menjadi mapan serta Fiqh menjadi satu ilmu yang tersendiri, maka Fiqh diartikan dengan “Sekumpulan hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan yang diketahui melalui dalil-dalilnya yang terperinci dan dihasilkan dengan jalan ijtihad”. [2]Atau lebih jelas lagi seperti yang dikemukakan oleh al-Jurjani berikut ini:
“Fiqh menurut bahasa berarti paham terhadap tujuan seseorang pembicara. Menurut istilah: Fiqh ialah mengetahui hukum-hukum syara yang amaliah (mengenai perbuatan, perilaku) dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci. Fiqh adalah ilmu yang dihasilkan oleh pikiran serta ijtihad (penelitian) dan memerlukan wawasan serta perenungan. Oleh sebab itu Allah tidak bisa disebut sebagai “Faqih” (ahli dalam Fiqh), karena bagi-Nya tidak ada sesuatu yang tidak jelas”.
Pada masa ini orang yang ahli di dalam Fiqh disebut sebagai Faqih atau dengan menggunakan bentuk jama’ yaitu Fuqaha. Fuqaha ini termasuk dalam kategori ulama, meskipun tidak setiap ulama adalah Fuqaha. Ilmu Fiqh disebut pula dengan ilmu furu, ilmu alhal, ilmu halal wa al-haram, syara’i wa al-ahkam.
Seperti halnya dalam ilmu-ilmu lain, dalam disiplin ilmu fiqh-pun, Fuqaha sering berbeda di dalam menakrifkan (mendefinisikan) ilmu Fiqh. Di samping definisi dari al-Jurjani penulis sebutkan di atas. Seperti diketahui al-Jurjani menganut mazhab Hanafi masih ada definisi lain dari mazhabi Hanafi, di mana Fiqh diartikan dengan “Ilmu yang  menerangkan segala hak dan kewajiban”. Definisi ini menunjukkan defini Fiqh dalam arti yang sangat luas, termasuk di dalamnya masalah-masalah yang berkaitan dengan akidah yang dikalangan mazhabi Hanafi disebut dengan Fiqh Akbar.[3]
Al-Ghazali dari mazhab Syafi’i mendefinisikan Fiqh dengan “Faqih itu mengetahui dan memahami, akan tetapi dalam tradisi para ulama, Faqih diartikan dengan suatu ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang tertentu bagi perbuatan para mukalaf seperti wajib, haram, mubah (kebolehan), sunnah, makruh, sah, fasid, batal, qodla, ada’an dan yang sejenisnya”.
Jelas bahwa pengertian Faqih itu berkembang. Mula-mula Faqih meliputi keseluruhan ajaran agama, kemudian Faqih diartikan dengan ilmu tentang perbuatan mukalaf, sehingga tidak termasuk ilmu kalam dan ilmu tasawuf, dan terakhir Faqih dipersempit lagi, yaitu khusus hasil ijtihad para mujtahid.
Definisi Fiqh yang dikemukakan di atas, hanya sekedar contoh. Sudah tentu masih banyak definisi-definisi yang lain. Para ulama berbeda di dalam menakrifkan Fiqh karena berbeda di dalam memahami ruang lingkup Fiqh dan dari sisi mana mereka melihat Fiqh. Walaupun demikian, tampaknya ada kecenderungan bersama bahwa Fiqh adalah satu sistem hukum yang sangat erat kaitannya dengan agama Islam. 

D.    Kaidah Fiqh
 Materi Fiqh itu banyak sekali, dan dari materi-materi yang banyak itu ada hal-hal yang serupa, kemudian diikat dalam satu ikatan. Ikatan inilah yang menjadi kaidah fiqh. Oleh karena itu Abu Zahrah menta’rifkan kaidah fiqh dengan, “Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu qiyas yang mengumpulkannya, atau kembali kepada prinsip fiqh yang mengikatnya.
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy memberikan pengertian kaidah kulliyah fiqhiyah dengan; “Kaidah-kaidah kulliyah itu tiada lain daripada prinsip-prinsip umum yang melengkapi kebanyakan juz’iyyah-nya”.
“Kaidah fiqhiyah itu mencakup rahasia-rahasia syara dan hikmah-hikmahnya yang dengannya seluruh furu’ dapat diikat, dan dapat diketahui hukum-hukumnya serta dapat diselami maksudnya”.
Jadi, kaidah-kaidah fiqh itu mengklasifikasikan masalah-masalah furu’ (fiqh) menjadi beberapa kelompok, dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan-kumpulan dari masalah-masalah yang serupa.
Sebagai contohl, ada kaidah fiqh yang berbunyi,
مَا لاَيُدْرَكُ كُلُهُ يُتْرَكُ كُلُهُ
“Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya (dengan sempurna) jangan ditinggalkan seluruhnya”.
Maksudnya apabila melaksanakan sesuatu yang lebih baik dan tidak sanggup melaksanakannya secara keseluruhan dengan sempurna, maka sesuatu yang baik itu harus tetap dilaksanakan sesuai dengan kemampuan yang ada.
Kaidah ini berlaku bagi berbagai macam materi fiqh di dalam berbagai bidang fiqh. Misalnya di dalam fiqh ibadah: Apabila tidak mampu shalat wajib sambil berdiri, shalatlah sambil duduk, apabila tidak mampu sambil duduk, shalatlah sambil berbaring. Di dalam bidang  mu’amalah: Apabila tidak ada saksi yang adil, pakailah saksi meskipun dinilai kurang keadilannya. Di dalam bidang jinayah (hukum pidana Islam) apabila terhadap pembunuh tidak bisa dilaksanakan hukuman mati (karena dimaafkan oleh wali terbunuh misalnya) maka dijatuhkan kepadanya hukuman diat, apabila diatnya dimaafkan, dikenakan kepadanya hukuman ta’zir (hukuman yang ditentukan oleh ulil amri baik macamnya maupun jumlahnya). Di dalam fiqh siyasah: Apabila tidak menyampaikan seluruh ajaran Islam, sampaikanlah meskipun satu ayat; Apila sulit mencari pemimpin yang memenuhi kriteria, maka angkatlah pemimpin meskipun kurang memenuhi kriterianya. Sudah tentu masih banyak lagi contoh-contoh lain yang termasuk ke dalam ruang lingkup kaidah fiqh.
E.     Pengertian Ushul Fiqh
 Ushul Fiqh Ushul fiqh berasal dari dua kata, yaitu ushul bentuk jamak dari ashl dan kata fiqh, yang masing-masing memilki arti pengertian yang luas. Ashl secara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi maupun bukan”. Adapun menurut istilah, ashl mempunyai beberapa arti berikut:
1)        Dalil, yakni sebagai landasan hukum. Seperti pernyataan para ulama Ushul Fiqh bahwa ashl dari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah dan sunnah Rasul.
2)      Qa’idah, yakni dasar atau fondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad saw. :        نبى الاسلام على خمسة أصول
Artinya: “Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).”
3)      Rajih, yaitu yang terkuat. Seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqh:                                          الأصل فى الكلام الحقيقة
Artinya: “Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya.” Maksudnya yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna hakikat dari perkataan tersebut.
4)      Far’u (cabang), seperti perkataan ulama ushul: الولدفرع للأب
Artinya: “Anak adalah cabang dari ayah.” Menurut Al-Baidhawi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ushul fiqh yaitu : معرفة دلائل الفقه اجمالا وكيفية الإستفادة منهاوحال المستفد Artinya: “Ilmu pengetahuan tentang dalil fiqh secara global, metode penggunaan dalil tersebut, dan keadaan (persyaratan) orang yang menggunakannya.” Dari beberapa pengertian dapat disimpulkan bahwa Ushul Fiqh adalah ilmu yang mempelajari tentang aturan-aturan, pedomam-pedoman serta objek-objek dalil hukum syara’ secara global dengan seluk beluknya yang akan menyampaikan  kita kepada hokum
F.     Kaidah Ushul Fiqh
 Sesungguh secara rinci materi fiqh itu kembali kepada raturan kaidah fiqh, namun yang penting diketahui ada lima kaidah fiqh yang dianggap oleh sebagian ulama menjadi dasar dan prinsip umum dari seluruh materi fiqh.
Kelima kaidah itu adalah :
1.                                                                                                                                                  اَاْلاُ مُوْر مَقَا صِدهَا
 “Setiap perkara itu menurut maksudnya”.          
Dalam Fiqh Jinayah ada perbuatan yang sengaja dan ada pula yang tidak disengaja, misalnya pembunuhan, pelukaan, atau pemukulan. Perbuatan sengaja adalah perbuatan yang dilakukan dengan niat. Sedangkan yang tidak disengaja tidak ada niat. Dalam fiqh Muamalah, setiap akad yang diucapkan dengan kata-kata kinayah (kiasan), maka keabsahannya dikemabalikan kepada niat, yaitu apa yang dimaksud atau diniatkan oleh si pelaku tersebut. Bahkan sering juga diucapkan dengan tegas, tetapi maksudnya lain. Seperti : “Saya pinjamkan barang ini kepadamu selama sebulan dengan bayaran sekian”. Dalam hal ini meskipun diucapkan pinjaman, tetapi karena ada bayaran, maka yang dimaksud mestilah sewa-menyewa. Oleh karena itu, timbul kaidah lain yang berbunyi :
ااَلْعِبْرةُ فِى العُقُودِ لِلْمَقَا صِدِ وَاْلمَعَا نِى لاَ لَللأَ لَفَا ظِ
“Yang dipegangi di dalam aqad adalah maksud dan pengertian-annya, bukan ucapan dan bentuk perkataannya”.
Kaidah fiqh yang pertama ini mempunyai dasar antara lain dari Hadits umar;
اِنَمَا اَعْمَلُ بِا لِنّيَاتِ وَاِنَّمَالِكُلٍ امْرٍ ئٍ مَانَوَى
Segala amal perbuatan itu semata-semata menurut niatnya dan bagi setiap manusia itu sesuai dengan apa yang ia niatkan (Rawahu Jamaah)
Kaidah-kaidah cabang yang dapat ditarik dari kaidah pokok ini antara lain:
a.                                                                                                                                                                               لاثواب الاّ بالنّية:
 “Tidak ada pahala kecuali dengan niat (terhadap perbuatan yang diperbuat itu)".
b.                                                                                                ما يشترط فيه التّعيين فالخطأ فيه مبطل
Dalam amal yang disyaratkan  menyatakan niat, maka kekeliruan pernyataannya membatalkanamalnya.
c.                    
 مايشترط التعرّض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلا اذا عيّنه
 وأخطأ ضرّ
Perbuatan  yang secara keseluruhan diharuskan niat tetapi secara terperinci tidak diharuskan menyatakan niatnya, maka bila dinyataka niatnya dan ternyata keliru, maka berbahaya.
d.                   
 مالا يشترط التعرّض له جملة ولاتفصيلا اذا عيّنه وأخطأ لم يضرّ
Perbuatan yang secara keseluruhan, maupun secara terperinci tidak disyaratkan mengemukakan niat, bila dinyatakannya dan ternyata keliru, maka tidak berbahaya.
e.                                                                                                                                     مقاصد اللفظ على نيّة اللا فظ
Maksud lafazh itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya.

2.                                                                                                                                             اَلْيَقِينُ لاَيُزَال بِا لشَّكّ ِ
“Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan”
Contohnya : Apabila ia yakin telah berwudhu, kemudoan sesudah lama datang keraguan apakah sudah batal atau belum, maka ia tetap dalam keadaan suci. Juga sebaliknya: Apabila dia yakin belum wudhu sebelumnya, sesudah lama timbul keraguan apakah sudah wudhu atau belum, maka ia tetap dalam keadaan berhadats.
Di bidang muamalah : Apabila ada bukti kuitansi seseorang berutang, kemudian timbul perselisihan tentang sudah bayar menurut yang berutang dan belum bayar menurut yang mengutangkan, maka yang dipegang perkataan yang mengutangkan, sebab yang meyakinkan adanya utang dengan bukti tadi.
Di bidang jinayah : Apabila dihadapkan seorang tersangka ke hadapan hakim, kemudian bukti-bukti tidak cukup sehingga meragukan apakah orang itu melakukan tindak pidana atau tidak, maka yang dipegang adalah orang itu tidak melakukan tindak pidana. Sebab yang meyakinkan adalah manusia itu tidak salah.
Akan tetapi, apabila terhadap yang meyakinkan tadi datang bukti-bukti lain yang meyakinkan pula, maka kaidah tersebut tidak berlaku lagi. Yang digunakan adalah kaidah yang merupakan cabang dari kaidah tersebut di atas yaitu :
اَلْيَقِينُ يُزَالُ بِاليَقِيْنِ مِثْلِهِ   “keyakinan bisa dihilangkan dengan keyakinan lain yang tingkatnya sama”.
Dalam contoh di atas : Yakin sudah berwudhu, tapi juga kemudian yakin sudah batal, maka dia dalam keadaan berhadats. Yakin berhadats tapi kemudian karena yakin sudah wudhu, maka orang tadi dalam keadaan suci. Yakin punya utang tapi kemudian yakin pula utang sudah dibayar (lunas) karena ada bukti pembayaran, maka dia bebas dari utangnya dan seterusnya.
Kaidah tersebut di atas antara lain didasarkan kepada Hadits Abdullah bin Zaid
شُكِيَ إِلى رَسُولِ اللّهِ صَلَى الله عَلَيهِ وَسَلَمَ الرّ ِ خَلُ يُخَيَّلُ أَنَهُ يَجِدُ الشَيْئَ فِى الصَلَا ةِ، قَا لَ لَايَنْصَرِ فْ حَتَّى يَسْمَعُ صَوْتًااوْيَجْدَرِيْحَا
“Dikemukakan kepada Rasullah tentang seorang laki-laki yang selalu merasa berhadats dalam shalatnya Nabi menerangkan: Janganlah orang tersebut keluar dari shalatnya sampai dia mendengar suara kentutnya atau mencium baunya”. (Riwayat Bukhari-Muslim)
Contoh untuk kaidah ini banyak sekali di antaranya, boleh batal puasa apabila bepergian, adanya aturan jama dan qasar dalam shalat, adanya aturan shalat bagi yang sakit dan lain sebagainya. Dalam muamalah boleh melakukan bae-almuathoh (jual beli) untuk barang-barang yang tidak seberapa harganya tanpa ijab qabul. Apabila tidak ada saksi yang betul-betul adil boleh menggunakan saksi yang kurang keadialnnya, Apabila tidak bisa dijatuhkan hukuman had karena tidak memenuhi syarat, maka dijatuhkan hukuman ta’zir.
Kaidah ini mengharuskan menghilangkan kemudharatan serta pengaruh dari kemudharatan tersebut. Contohnya : Seperti makan barang haram karena terpaksa, tidak ada makanan lain dan apabila tidak memakannya bisa mati. Adanya aturan al-Khiyar dalam muamalah. Adanya kebolehan membela diri dalam jinayah. Membuka aurat sesuai dengan yang diperlukan untuk pengobatan penyakit yang membahayakan kepada jiwa.
Kaidah ini penerapannya harus secara sangat hati-hati, kalau tidak akan melampaui batas-batas yang diperkenankan. Oleh karena itu, ada kaidah di atas yaitu antara lain:
مَااَبِحَ لِضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُبِقَدِرَهَا
“Apa yang dibolehkan karena kemudharatan diukur sekadar kemudharatan itu saja”.
Syarat-syarat penting yang harus diperhatikan agar tidak melampaui batas dalam menerapkan kaidah ini adalah: 1. Kemudharatan itu benar-benar terjadi bukan diperkirakan akan terjadi, 2. Dalam keadaan darurat yang dibolehkan itu  hanya sekadarnya saha, 3. Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan lain yang sama tingkatannya. Tidak boleh orang yang sedang kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga akan mati karena kelaparan.
Kaidah tersebut di atas berdasarkan Hadits Riwayat Ibn Majah dari Ibn Abbas:
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
“Tidak boleh memudharatkan diri sendiri dan tidak boleh memudharatkan orang lain”.

Sesungguhnya kaidah tersebut juga kembali kepada ayat Al-Quran yang berkaitan dengan keadaan terpaksa atau dipaksa (Al-Baqarah:173)
ااَلْعَا دَةُ مُحْكَمَةٌ
“Adat itu bisa ditetapkan sebagai hukum”.
Misalnya menentukan waktu terpendek atau terpanjang dari haid menentukan cacatnya barang yang diperjual belikan dalam kasus Khiyar al-Ayb. Hakim tidak boleh menerima hadiah, kecuali dari orang yang telah biasa memberikan hadiah kepadanya, dan tidak boleh lebih dari hadiah yang biasa diberikan. Syarat-syarat penggunaan al-Adah ini dapat dilihat kembali dalam pembahasan tentang ijtihad.
Kebutuhan itu ditempatkan pada  tempat darurat, baik kebutuhan itu bersifat umum atau khusus.
Kaidah tersebut berdasarkan kepada ayat yang menggunakan kata-kata ma’ruf. Ukuran ma’ruf juga sering kembali kepada adat kebiasaan.
Inilah lima macam kaidah Fiqhiyah yang banyak digunakan sebagai pembuka jalan untuk mendalami kaidah-kaidah lainnya.
Oleh karena kaidah fiqh ini berkaitan dengan sikap dan tingkah laku manusia, maka sering digunakan secara luas, diperlukan dalam kehidupan dan untuk memecahkan masalah-masalah yang bersifat pribadi, masalah-masalah dalam keluarga, masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya.
Apabila disederhanakan, proses pembentukan kaidah-kaidah fiqh dapat digambarkan sebagai berikut:

Sehubungan dengan ilustrasi tersebut, maka dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
1)      Bersumber dari Al-Quran dan Al-Sunnah, dan dengan menempuh produser baku ushul fiqh, maka akan akan lahir fiqh. Melalui penalaran deduktif, maka lahirlah berbagai bidang dan cabang fiqh akan sangat banyak dan beragam. Hal ini berkaitan dengan cakupan dan kecenderungan persoalan yang sedang dihadapi masyarakat dan menarik perhatian para ulama. Sebagian ulama meneliti ragam dan jumlah fiqh tersebut, dan melalui penalaran yang bersifat induktif berusaha menarik main stream-nya. Produk penalaran ini melahirkan apa yang dikenal sebagai kaidah-kaidah fiqh. Selanjutnya, kaidah-kaidah fiqh tadi di konfrimasikan dengan semangat, dalil kulli, dan maqashid al-syari’ah yang termaktub didalam Al-Quran dan Al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang pokok.
2)      Lebih daripada itu, ulama-ulama tertentu mencoba pula mengkritisi kaidah-kaidah fiqh tersebut. Pada umumnya, kritik tersebut berupa pengujian atas kesahihan rasional dan empiris kaidah-kaidah fiqh. Hasil pengujian tersebut melahirkan “kaidah fiqh yang mapan”, karena jangkauannya menyentuh semua perilaku manusia di mana pun (global) dan keseluruhan waktu (eternal).
3)      Dalam kapasitas sebagai kaidah yang telah mapan, kaidah-kaidah eksklusif tersebut bersama-sama dengan ushul fiqh menjadi metodologi hukum Islam. Berdasarkan proses pembentukan dan cakupannya, tidak berlebihan jika penulis menyatakan bahwa kaidah fiqh merupakan inclusive-theory of fiqh, atau setara dengan grand theory, yang mencakup beberapa middle- range theory dalam ilmu sosial.
Kaidah fiqh yang sudah mapan dan inklusif ini semisal iron law (“Hukum besi”) dalam bidang fiqh karena memiliki cakupan yang luas dari sudut ruang dan waktu. Dalam posisi ini, tentu saja terdapat kaidah-kaidah yang memiliki jenjang lebih rendah darinya. Penjenjangan kaidah-kaidah fiqh, mulai dari yang sangat luas hingga yang sangat sempit cakupannya, telah dilakukan oleh para ulama.
Kaidah fiqh merupakan warisan ulama terdahulu. Ia berupa hasil perenungan dan penelitian yang telah teruji. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan solusi alternatif, karena dapat dijadikan landasan dalam memecahkan persoalan-persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat secara benar, adil, dan arif.


[1] Syafe’I Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia

[2] Djazuli : Ilmu Fiqh Pengggalian, perkembangan dan penerapan hukum islam. Hal 5
[3]

1 komentar:

  1. The King Casino Company - Ventureberg
    It was born in septcasino.com 1934. The 사설 토토 사이트 Company offers luxury hotels, deccasino If you don't have a poker https://deccasino.com/review/merit-casino/ room in your house, then you'll find a poker room in ventureberg.com/ the

    BalasHapus