Minggu, 08 Mei 2016

Makalah Teori Hukum



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hukum dan masyarat merupakan dua aspek yang tidak terpisahkan. Dimanaada masyarakat disitu ada hukum. Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah zoonpoliticon, artinya bahwa manusia pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpuldengan sesamanya. Jadi manusia adalah makluk yang suka bermasyarakat. Untukmencapai  hidup   teratur,   aman   dan   terjamin  hak-hak   masyarakat   maka   diperlukanhukum. Menurut paham positivisme bahwa,  hukum adalah suatu  perintah dari merekayang memegang kekuasaan tertinggi atau memegang kedaulatan. Hukum dianggapsebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersipat closed logical system.
      Aliran positivisme hukum yaitu the pure law teori memandang bahwa konseppenerapan hukum harus bersih dari anasir-anasir non yuridis seperti sosiologis, politis,historis dan etika. Peraturan hukum selalu merupakan hukum positif (tertulis).  Dariunsur sosiologis berarti bahwa ajaran Hans Kelsen tidak memberikan tempat bagihukum kebiasaan  yang hidup  dan  berkembang  dalam masyarakat. Sedangkan dari unsur etis konsepsi hukum Hans Kelsen tidak memberi tempat bagi berlakunya hukumalam. Etika memberikan suatu penilaian tentang baik buruknya suatu perbuatan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Mengetahui Hukum Alam ?
2.      Mengetahui Mazhab Sejarah (Aliran & Sejarah)?
3.      Mengetahui Teori Kedaulatan Tuhan?
4.      Mengetahui Teori Kedaulatan Rakyat?
5.      Mengetahui Teori Kedaulatan Negara?
6.      Mengetahui Teori Kedaulatan Hukum?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Teori Hukum Alam
Hukum alam (Natural Law atau Law of Nature) adalah sistem hukum yang konon ditentukan oleh alam, dan oleh karenanya bersifal universal.
Teori-teori Hukum Alam dapat dibagi atas beberapa macam yaitu:
1.      Hukum Alam yang bersifat otoriter dan yang bersifat fakultatif. Hukum Alam sebagai hukum yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum positif (ius constitutum), di lain sisi Hukum Alam sebagai cita-cita (ius constituendum) dengan mana hukum positif harus disesuaikan;
2.      Hukum Alam yang progresif (maju/ dinamis) dan yang konservatif (kaku/ statis). Teori ini diilhami oleh dua macam cita-cita, pertama, adanya ketertiban/ keteraturan (order) yang menguasai umat manusia yang nantinya melahirkan hukum positif, kedua, hak-hak azazi yang tidak dapat dipisahkan dari orang perorang yang nantinya melahirkan hukum-hukum yang sosiologis.
3.      Hukum Alam yang relijius/ agamis dan yang profane/ rasionalis. Hukum Alam memberi ilham kepada kaum relijius/ agamis, dilain sisi ia juga mengilhami teori-teori kaum Individualistis.
4.      Hukum Alam yang bersifat mutlak/ absolut dan yang bersifat relative/ nisbi. Feodalisme yang mencerminkan hukum absolute atau hukum Jawa Kuno dengan ungkapan “sabda pandhito ratu”.

Para tokoh hukum alam mengungkapkan kenapa manusia tunduk dan taat pada hukum.


Menurut Aristoteles :
1.      hukum berlaku karena penetapan Negara
2.      hukum tidak tergantung pada pandangan manusia tentang baik buruknya
3.      hukum alam sebagai hokum yang asli berlaku dimana saja tidak tergantung waktu dan tempat , orang-orang yang berfikiran sehat merasakan hokum alam selaras dengan kodrat manusia.
Menurut Thomas Aquino : segala kejadian dalam ini di perintah dan dikendalikan oleh suatu UU abadi ( lex eterna) yang menjadi dasar kekuasaan dari semua peraturan lainnya . lex aterna = kehendak pikiran tuhan yang menciptakan dunia ini.
Menurut Thomas Aquino pula hokum alam memuat dua azas yaitu :
1.      azas umum ( principia prima) : azas yang dengan sendirinya dimiliki manusia sejak lahir dan mutlak diterima ( contoh : berbuat baik) .
2.      azas diturunkan dari azas umum ( principia secundaria) : azas yang merupakan tapsiran dari principia prima yang dilakukan manusia.
Hugo De Groot/ grotius dalam bukunya de jure oc pacis bahwa sumber hokum alam adalah akal manusia.


B.     Mazhab Sejarah (Aliran Sejarah)
Mazhab Sejarah lahir pada awal abad ke-19, yaitu pada tahun 1814. Lahirnya mazhab ini ditandai dengan diterbitkannya manuskrip yang ditulis oleh Friedrich Karl von Savigny yang berjudul “Vom Beruf unserer Zeit fur Gezetgebung und Rechtwissenschaft” (tentang seruan masa kini akan undang-undang dan ilmu hukum) . Friedrich Karl von Savigny dipandang sebagai perintis lahirnya mazhab Sejarah .
Mazhab sejarah ini muncul akibat reaksi terhadap para pemuja hukum alam atau hukum kodrat yang berpendapat bahwa hukum alam itu bersifat rasionalistis dan berlaku bagi segala bangsa serta untuk semua tempat dan waktu. Mazhab sejarah ini berpendapat bahwa tiap-tiap hukum itu ditentukan secara historis, selalu berubah menurut waktu dan tempatnya.
Alasan-alasan kritik terhadap rekonstruksi paradigma hukum, menggugat kembali gagasan-gagasan peristiwa teori-teori mazhab sejarah hukum masa lampau tentunya dianggap penting dan bermakna dalam teori hukum kekinian. Hal ini, sebagaimana L.J Van Apeldoorn menyebutkan sejarah adalah:
“Sesuatu proses, jadi bukan sesuatu yang berhenti, melainkan sesuatu yang bergerak, bukan mati melainkan hidup. Segala yang hidup selalu berubah. Demikian masyarakat manusia, dan demikian juga bagian dari masyarakat yang kita sebut hukum. Di tinjau dari sudut ilmu pengetahuan, hukum adalah gejala sejarah: Ia mempunyai sejarah, hukum sebagai sejarah berarti tunduk pada pertumbuhan yang terus-menerus.”[1] Argumentasi ini dipertajam lagi oleh Friederich Karl von Savigny yang melahirkan mazhab sejarah menekankan bahwa:
“Hukum tidak berlaku universal, setiap bangsa memiliki kesadaran hukum, kebiasaan, budaya yang berbeda dengan bangsa lain yang dapat ditemukan dalam jiwa bangsa. Hukum dapat dikenali dalam ciri khas sebuah bangsa, seperti bahasa, tata krama dan konstitusi. Hukum tumbuh melalui sebuah perkembangan dan menguat dengan kekuatan rakyat dan akhirnya lenyap sebagaimana kehilangan rasa kebangsaannya.”
Pemikiran Lawrence Friedman, keberadaan hukum sebaiknya dipahami dalam konteks sistemik. Artinya, hukum harus dilihat sebagai suatu sistem terdiri atas beragam unsur antara lain:
  1. Substansi, merupakan nilai, norma, ketentuan atau aturan hukum yang dibuat dan dipergunakan untuk mengatur perilaku manusia.
  2. Struktur, berupa kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung teraktualisasinya hukum
  3. Kultur, menyangkut nilai-nilai, sikap, pola perilaku para masyarakat dan faktor nonteknis merupakan pengikat sistem hukum tersebut.
Selain itu alasan lahirnya mazhab sejarah ini yaitu:
  1. Adanya rasionalisme abad 18, yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip-prinsip yang semuanya berperan pd filsafat hukum, karena mengandalkan jalan pikiran deduktif tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan dan kondisi nasional
  2. Semangat Revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi cosmopolitan (kepercayaan kepada rasio dan kekuatan tekad manusia untuk mengatasi lingkungannya).
  3. Adanya pendapat yang melarang hakim menafsirkan hukum karena UU dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum.
  4. Kodifikasi hukum di Jerman yang diusulkan Thibaut (guru besar Heidelberg): hukum tidak tumbuh dari sejarah.
Dikotomi pemikiran-pemikiran paradigma teori hukum yang dikemukakan Savigny maupun Friedman, dapatlah dipahami betapa pentingnya budaya hukum dalam hukum adat dan pluralisme hukum. Hukum yang ideal harus sesuai dengan budaya hukum di masyarakat (living law) berupa hukum adat atau hukum kebiasaan dalam pembentukan hukum. Dengan demikian, bila ada hukum dan ketentuan perundang-undangan yang tidak menyatu atau seirama dengan budaya hukum masyarakat, maka hukum tersebut sulit ditegakkan.
Artinya, hukum adat dan pluralisme hukum merupakan kesatuan hukum dan fakta yang tidak dapat dipisahkan dan mengikuti aliran pemikiran teori relisme hukum. Konsekuensinya, hukum memerlukan kesatuan kehendak (unity of will). Sebab, kesatuan dalam penerapan (unity of enforcement) mensyaratkan kesatuan kehendak. Hal ini, tentunya terjadi perbedaan pendapat antara paradigma realisme hukum dengan aliran legisme hukum. Bagi pengikut aliran kaum legisme, hukum itu eksis karena adanya perintah penguasa. Karena hukum bersifat imperatif maka pasti akan implementatif, meskipun masyarakat menolak untuk mematuhi dengan alasan bertentangan dengan budaya hukum.

Hukum saat ini sebagai akumulasi kebijaksanaan dari pemikir besar masa lampau, tetapi hukum juga sangat diwarnai disiplin kontemporer. Hukum sebagai sistem norma dan juga sebagai bentuk kontrol sosial berdasar pada pola tertentu dari perilaku manusia. Hukum bersumber pada hukum yang lebih tinggi dan diarahkan oleh akal dan tidak dibuat tapi hukum harus ditemukan, sebab hukum sudah ada hubungan antara hukum dan moral masih sangat penting.

Paradigma semacam ini melahirkan asas hukum lex superior derogate legi inferior, artinya hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Asas ini didukung lagi oleh asas lex posterir derogat lex prio dan lex specialis derogat lex generalis. Pada hakikatnya, penempatan hukum itu ada untuk diberlakukan. Maka bila hukum yang ada tidak berlaku berarti ketentuan tersebut telah berhenti menjadi hukum. Dengan demikian, hukum tersebut menjadi peraturan tertidur (slapende regeling).


Ada beberapa tokoh mazhab sejarah dalam hal ini, antara lain yaitu:
  1. Frederic Carl Von Savigny
Mazhab sejarah ini timbul dari tahun 1770-1861. Carl Von Savigny menganalogikan timbulnya hukum seperti timbulnya bahasa suatu bangsa dengan segala ciri dan kekhususannya.
Oleh karena hukum merupakan salah satu faktor dalam kehidupan bersama suatu bangsa, seperti bahasa, adat, moral, dan tatanegara. Sehingga hukum merupakan sesuatu yang bersifat supra-individual, suatu gejala masyarakat. Menurutnya hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, tapi karena perasaan keadilan yang terletak didalam jiwa bangsa itu.
Jiwa bangsa merupakan sumber hokum. Hukum tidak dibuat, tapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat, ia mengingatkan untuk membangun hukum studi terhadap sejarah suatu bangsa mutlak dilakukan.
Hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari pembentuk undang-undang. Oleh karena pada permulaan, waktu kebudayaan bangsa-bangsa masih bertaraf rendah, hukum timbul secarah spontan dengan tidak sadar dalam jiwa warga bangsa. Kemudian sesudah kebudayaan berkembang, semua fungsi masyarakat dipercayakan pada suatu golongan tertentu. Demikianlah pengolahan hukum dipercayakan kepada kepada kaum yuris sebagai ahli-ahli bidangnya.
2.      Puchta
Mazhab sejarah ini timbul dari tahun 1798-1846. Puchta merupakan murid dari Carl Von Savigny yang berpendapat bahwa hukum terikat pada Jiwa bangsa yang bersangkutan dan dapat berbentuk adat istiadat, undang-undang dan karya ilmiah para ahli hukum.
3.      Henry Summer Maine (1822-1888).
Mazhab sejarah dari Henry Summer Maine ini lahir pada tahun 1822-1888. Sumbangan Henry Summer Maien bagi studi hukum dalam masyarakat, terutama tampak dalam penerapan metode empiris, sistematis dan sejarah untuk menarik kesimpulan umum. Maine mengatakan masyarakat ada yang statis dan ada yang progresip. Masyarakat progresip adalah yang mampu mengembangkan hukum misalnya melalui Perundang-undangan.


C.    Teori Kedaulatan Tuhan
Teori kedaulatan Tuhan dimana kekuasaan yang tertinggi ada pada Tuhan, jadi didasarkan pada agama. Teori-teori teokrasi ini dijumpai, bukan saja di dunia barat tapi juga di timur. Sehingga dapat dikatakan bahwa kekuasaan teokrasi dimiliki oleh hampir seluruh negara pada beberapa peradaban. Apabila pemerintah negara itu berbentuk kerajaan (monarki) maka dinasti yang memerintah disana dianggap turunan dan mendapat kekuasaannya dari Tuhan. Misalnya jika Tenno Heika di Jepang dianggap berkuasa sebagai turunan dari Dewa matahari.
Teori kedaulataan tuhan menurut sejarahnya berkembang pada zaman abad pertengahan yaitu antara abad ke-5 sampai abad ke-15 di dalam perkembangannya teori ini sangat erat hubungannya dengan perkembangna agama baru yang timbul pada saat itu yaitu agama keristen. Yang kemudian diorganisasikan dalam satu organisasi keagamaan. Yaitu gereja yang dikepalai seorang paus. Tooh-tokoh penganut teokrasi adalah : Augustinus (354-430), Thomas Aquinas (1215-1274),F.Hegel (1770-1831), F.J.Stahl (1802-1861) dan Marsillius.
Sedangkan menurut Ahmad Azhar Basyir, predikat teoraksi tidak dapat diterima, sebab islam tidak mengenal adanya kekuasaan negara yang menerima limpahan dari tuhan. Menurutnya kekuasaan negara berasal dari umat dan penguasaannya bertanggung jawab pad aumat.
Menurut ajaran islam. Kedaulatan hanya milik Allah semata, dan hany Dia-lah pemberi hukum dalam negara islam. Organisasi-organisasi politik itu disebut  khilafah. Manusia merupakan khalifah tuhan di muka bumi dan memiliki tugas untuk melaksanakan dan menegakkan perintah dari pemegang kedaulatan.
Teori kedaulataan tuhan merupakan teori yang mengajarkan bahwa negara dan pemerintah mendapat kekuasaan tertinggi dari tuhan sebagai asal segala sesuatu (causa prima ).menurut teori kedaulatan tuhan, kekuasaan yang berasl dari tuhan itu diberikan kepada tokoh-tokoh negara  terpilih yang secara kodrati diterapkan-Nya  menjadi pemimpin negara dan berperan selaku wakil tuhan di dunia.
Teori ini umumnya di anut oleh raja-raja yang mengaku sebagai keturunan dewa misalnya para raja mesir kuno, kaisar Jepang, Kaisar China, Raja Belanda, Raja Ethiopia,. Demikian pula dianut oleh raja jawa zaman hindu yang menganggap diri mereka sebagai penjelma dewa wisnu. Ken Arok bahkan menganggap dirinya sebagai titisan Brahmana, Wisnu, Syiwa.
Karena berasal dari tuhan  maka kedaulatan negara besifat mutlak dan suci. Seluruh rakyat harus setia dan patuh kepada raja yang melaksanakan kekuasaan atas nama dan untuk kemulaan tuhan. Menurut Hegel raja adalah manifestasi keberadaan tuhan.maka, raja atau pemerintah selalu benar, tidak mungkin salah.



D.    Teori Kedaulatan Rakyat
Teori kedaulatan rakyat berpandangan bahwa rakyatlah menjadi raja sebagai penentu kebijakan publik (public policy). Kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh sistem demokrasi. Demokrasi sendiri berasal dari kata Demos = rakyat dan Cratein = pemerintahan. John Lock sebagai pencetus kedaulatan rakyat sangat mengidam-idamkan terwujudkan kedaulatan rakyat. Dia menggambarkan bahwa terbentuknya sebuah negara berdasarkan kontrak sosial yang terbagi atas dua bagian yaitu factum unionis (perjanjian antar rakyat) dan factum subjectionis (perjanjian antara rakyat dengan pemerintah). Hal inilah yang mendasari teori liberalisme.
Konstitusi RI yaitu UUD 1945 telah menyebutkan dalam Pembukaan UUD 1945: “… susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat…” selanjutnya pasal 1 ayat (2) berbunyi: “kedaualtan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” .
Pernyataan di atas dengan tegas Indonesia menganut kedaulatan rakyat. Salah satu pelaksanaan dari kedaulatan rakyat adalah pemilihan umum yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Pemilu tahun 2004 terakhir kali merupakan pemilu yang baru dilasanakan berbeda dari pemilu sebelumnya. Pemilu 2004 memberikan kebebasan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memilih salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kejadian ini merupakan kejadian yang belum pernah terjadi dalam ketatanegaraan Republik Indonesia.
Dalam isu kedaulatan rakyat, pemikir yang seringkali dirujuk adalah JJ Rousseau. Dalam bukunya Contract ,Sodale (1763), Rousseau berpendapat bahwa manusia dengan moralitas yang tidak dibuat-buat justru waktu manusia berada dalam keluguan. Sayangnya, keluguan ini hilang ketika membentuk masyarakat dengan lembaga-lembaganya. Pada saat itu, manusia beralih menjadi harus taat pada peraturan yang dibuat oleh penguasa yang mengisi kelembagaan dalam masyarakat. Peraturan itu menjadi membatasi dan tidak bermoralitas asli karena dibuat oleh penguasa. Dengan demikian, manusia menjadi tidak memiliki dirinya sendiri.
Bagaimana cara mengembalikan manusia kepada keluguan dengan moralitas alamiah dan bermartabat? Menurut Rousseau hanya ada satu jalan: kekuasaan para raja dan kaum bangsawan yang mengatur masyarakat barus ditumbangkan dan kedaulatan rakyat harus ditegakkan. Kedaulatan rakyat berarti bahwa yang berdaulat terhadap rakyat hanyalah rakyat sendiri. Tak ada orang atau kelompok yang berhak untuk meletakan hukumnya pada rakyat. Hukum hanya sah bila ditetapkan oleh kehendak rakyat.
Faham kedaulatan rakyat adalah penolakan terhadap faham hak raja atau golongan atas untuk memerintah rakyat. Juga, penolakan terhadap anggapan bahwa ada golongan-golongan sosial yang secara khusus berwenang untuk mengatur rakyat. Rakyat adalah satu dan memimpin dirinya sendiri.
Akan tetapi pertanyaan berikutnya adalah: yang manakah kehendak rakyat itu? Bukankah rakyat adalah ratusan juta individu (di Indonesia) yang masing-masing punya kemauan dan jarang sekali atau tak pernah mau bersatu?
Rousseau menjawab pertanyaan ini dengan teori Kehendak Umum. Menurut teori ini: sejauh kehendak manusia diarahkan pada kepentingan sendiri atau kelompoknya maka kehendak mereka tidak bersatu atau bahkan berlawanan. Tetapi sejauh diarahkan pada kepentingan umum, bersama sebagai satu bangsa, semua kehendak itu bersatu menjadi satu kehendak, yaitu kehendak umum.
Kepercayaan kepada kehendak umum dari rakyat itu lah yang menjadi dasar konstruksi negara dari Rousseau. Undang-undang harus merupakan ungkapan kehendak umum itu. Tidak ada perwakilan rakyat oleh karena kehendak rakyat tidak dapat diwakili.
Rakyat sendiri harus berkumpul dan menyatakan kehendaknya melalui perundangan yang diputuskannya. Pemerintah hanya sekedar panitia yang diberi tugas melaksanakan keputusan rakyat. Karena rakyat memerintah sendiri dan secara langsung, maka tak perlu ada undang-undang dasar atau konstitusi. Apa yang dikehendaki rakyat itu lah hukum.
Dengan demikian, negara menjadi republik, res publica, urusan umum. Kehendak umum disaring dari pelbagai keinginan rakyat melalui pemungutan suara. Keinginan yang tidak mendapat dukungan suara terbanyak dianggap sebagai tidak umum dan akihirnya harus disingkirkan. Kehendak yang bertahan sampai akhir proses penyaringan, itulah kehendak umum.
Untuk memahami kehendak umum menurut Rossesau diperlukan virtue, keutamaan. Orang harus dapat membedakan antara kepentingan pribadi dan kelompoknya di satu pihak dan kepentingan umum di lain pihak. Jadi untuk berpolitik dan bernegara diperlukan kemurnian hati yang bebas dari segala pamrih. Berpolitik menjadi masalah moralitas.
Dalam perkembangannya, teori kehendak umum yang digunakan untuk menjelaskan kedaulatan rakyat memiliki dua kelemahan, sebagaimana disebutkan oleh Franz Magnis Suseno (1992: 83-85): Pertama, tidak dikenalnya konsep perwakilan rakyat yang nyata. Rousseau lebih menekankan pada kebebasan total rakyat dan berasumsi bahwa kehendak rakyat tidak dapat diwakilkan. Kedua, tidak adanya pembatasan-pembatasan konstitusional terhadap penggunaan kekuasaan negara
Kedua kelemahan ini telah mengantarkan pada suatu tragisme kehendak umum, sebagaimana terjadi di Perancis, sekitar 200 tahun lampau. Pada saat itu, kehendak bebas dan total rakyat telah menjatuhkan rezim otoriter Louis XVI tetapi di lain sisi melahirkan suatu totalitarisme baru dari yang mengatasnamakan "kehendak murni" rakyat. Totalitarisme itu, di bawah pimpinan Robbespierre, telah menghadirkan suatu teror. Robbespierre mengidentifikasi kehendaknya dengan kehendak rakyat. Ketika itu, kehendak yang tidak sama dengannya, secara sederhana dianggap sebagai kehendak di luar "kehendak murni" rakyat.
Perkembangan tragis dari kehendak umum ke suatu kondisi teror dari kehendak umum terhadap kehendak minoritas, memang acap terjadi setelah fase revolusi dilalui dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, Eric Hoffer (Hoffer: 1951), menyarankan untuk dilakukan suatu peralihan dari fase revolusioner kepada suatu pembentukan konstitusi yang ditaati oleh rezim baru dan rakyatnya.
Prasaran Hoffer pada dasarnya melengkapi asumsi dari Rousseau tentang perlunya suatu moralitas untuk memimpin negara. Jadi moralitas saja tidak cukup. Kalau demikian, ini menjadi menarik. Bagaimana komposisi moralitas masyarakat (dan penyelenggara negara) plus konstitusi dan dasar legal di Indonesia dapat diandalkan untuk terjadinya 2 (dua) hal yang menurut Magnis, menjadi prasyarat kedaulatan rakyat?
1.      Aplikasi Kedaulatan Rakyat di Indonesia
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, rakyat Indonesia telah memiliki UUD'45 yang ditetapkan sebagai konstitusi negara Indonesia. Suasana yang tidak kondusif dalam pembuatan konstitusi tersebut, akibat banyaknya kompromi yang harus dilakukan dengan penguasa militer Jepang serta keterbatasan waktu, menyebabkan konstitusi yang dihasilkan banyak mengandung kelemahan. Kelemahan tersebut bukannya tidak disadari oleh para pemimpin bangsa. Bung Karno yang turut serta dalam penyusunan UUD'45 dengan jelas mengatakan bahwa UUD'45 adalah UUD kilat yang harus disempurnakan nantinya. Namun adanya keinginan kuat dari para pemimpin bangsa dan rakyat untuk mendirikan sebuah negara Indonesia berdaulat, mensyaratkan sebuah konstitusi dari negara Indonesia. Untuk itulah, UUD'45 dengan segala ketidaksempurnaannya diterima dengan gembira oleh para pemimpin bangsa dan seluruh rakyat Indonesia.
Teori kedaulatan rakyat berpandang bahwa kekuasaan tertinggi di suatu Negara ada pada rakyat, bukan Tuhan, Raja, ataupun Negara. Rakyat adalah sumber kekuasaan negara. Penguasa atau penyelenggara negara hanyalah pelaksana dari pada apa yang diputuskan atau dikehendaki rakyat. Munculnya teori kedaulatan rakyat ini merupakan reaksi atas kedaulatan Tuhan, raja, dan Negara.
Teori ini mengajarkan bahwa pemilik sah kedaulatan adalah rakyat. Dari sini muncul istilah demokrasi. Dalam prinsip negara demokrasi atau kedaulatan rakyat ini, kekuasaan perlu dibatasi. Kemudian muncul ajaran Trias Politika yang membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga lembaga. Ketiga lembaga itu, adalah :
a.       Legislatif, yaitu lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menetapkan undang – undang.
b.      Eksekutif, yaitu lembaga yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan undang – undang.
c.       Yudikatif, yaitu lembaga yang memiliki kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang.


E.     Teori Kedaulatan Negara
Ide kedaulatan pertama kali dikemukakan oleh Jean Bodin, sarjana Perancis, dalam bukunya ‘six books concerning on the state’. Jean Bodin hidup pada masa permulaan pertumbuhan negara-negara nasional dan ia melihat dimana-mana kekuasaan sentral dari negara makin lama makin tegas menampakkan diri dalam bentuk kekuasaan raja yang supreme.
Dari keadaan yang dikonstatirnya itu ia menarik kesimpulan bahwa inti dari statehood adalah kekuasaan tertinggi, atau souverainite. Negara merupakan subjek Hukum Internasional yang terpenting (par Excellence) di banding dengan subjek-subjek hukum internasional lainnya, sebagai subjek hukum internasional Negara memiliki hak dan kewajiban menurut hukum internasional.
Menurut R. Kranenburg Negara adalah organisasi kekuasaan yang diciptakan oleh kelompok manusia yang disebut bangsa sedangkan menurut Logeman Negara adalah organisasi kekuasaan yang menyatukan kelompok manusia yang disebut bangsa. (Mochtar Kusumaatmadja, 1981: 89). Selain itu menurut Hans Kelsen Negara adalah komunitas yang diciptakan oleh suatu tatanan hukum nasional yang membentuk komunitas ini.
Oleh sebab itu, dari sudut pandang hukum persoalan Negara tampak sebagai persoalan tatanan hukum nasional maka kita harus menerima bahwa komunitas yang disebut Negara adalah tatanan hukumnya, Hukum Perancis dapat dibedakan dari hukum Swiss atau Meksiko tanpa bantuan dari hipotesis bahwa Negara Perancis, Swiss, dan Meksiko merupakan realitas sosial yang keberadaannya berdiri sendiri-sendiri.
Negara sebagai komunitas dalam hubungannya dengan hukum bukanlah suatu realitas alami atau suatu realitas sosial yang serupa dengan realitas alami seperti manusia dalam hubungannya dengan hukum. Jika ada suatu realitas sosial yang berhubungan dengan fenomena yang disebut Negara dan oleh sebab itu suatu konsep sosiologis yang dibedakan dari konsep hukum mengenai Negara maka prioritas jatuh pada konsep hukum bukan kepada konsep sosiologis (Hans Kelsen,2010: 263).
Pengertian Negara sebagai subjek hukum internasional adalah organisasi kekuasaan yang berdaulat, menguasai wilayah tertentu, penduduk tertentu dan kehidupan didasarkan pada sistem hukum tertentu (Sugeng Istanto 1994: 20-21). Dalam pengertian mengenai Negara tersebut walaupun memiliki banyak pendapat dan perbedaan dalam memberikan pengertian tentang Negara tetapi baik menurut para ahli dan konvensi Montevideo tetap memiliki persamaan bahwa suatu Negara akan berdaulat jika memiliki.
kriteria-kriteria yang di terima oleh masyarakat internasional. Suatu Negara dapat saja lahir dan hidup tetapi itu belum berarti bahwa Negara tersebut mempunyai kedaulatan, kedaulatan ialah kekusaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu Negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya asal saja kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional. 
Menurut teori ini negaralah sumber dan pemegang kedaulatan dalam negara. Kekuasaan negara tidak terbatas terhadap ‘life, liberty, dan property’ warganya. Teori ini sesungguhnya merupakan bentuk baru dari teori kedaulatan raja yang bersifat absolut, yang merupakan manipulasi politik dari teori teokrasi.
Sesuai konsep hukum internasional kedaulatan memiliki tiga aspek utama yaitu:
1.      Aspek ekstern kedaulatan adalah hak bagi setiap Negara untuk secara bebas menentukan hubungannya dengan berbagai Negara atau kelompok-kelompok lain tampa tekanan atau pengawasan dari Negara lain.
2.      Aspek intern kedaulatan ialah hak atau wewenang eksklusif suatu Negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja lembaga-lembaganya tersebut dan hak untuk membuat undang-undang yang diinginkannya serta tindakan-tindakan untuk mematuhi.
3.      Aspek territorial kedaulatan berarti kekuasaan penuh dan eksklusif yang dimiliki olehNegara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah tersebut (Boer Mauna,2005:24).
Hak-Hak Dasar dan Kewajiban-Kewajiban Negara
Upaya masyarakat Internasional untuk mempersoalkan hak-hak dan kewajiban kewajiban Negara-negara telah dimulai sejak abad ke-17 dengan landasan  teori kontrak sosial. Pada tahun 1916 American Institute of International law (AIIL)         mengadakan seminar dan menghasilkan Declaration of the Right and Duties of Nations            yang diusul dengan sebuah kajian yang berjudul Fundamental Right and Duties of            American Republics dan sampai dirampungkannya konvensi Montevideo tahun 1933.            Hasil konvensi Montevideo ini kemudian menjadi rancangan deklarasi tentang hak dan kewajiban.
Negara-negara yang disusun oleh Komisi Hukum Internasional PBB pada tahun 1949, Namun komisi tersebut tidak pernah berhasil menghasilkan usulan yang      memuaskan. Negara-negara. Deklarasi prinsip-prinsip mengenai hak dan kewajiban Negara yang terkandung dalam rancangan tersebut adalah sebagai berikut:(Huala Adolf,1996: 37-38)
Hak-hak Negara:
1.      Hak atas kemerdekaan
2.      Hak untuk melaksanakan juridis terhadap wilayah, orang dan benda yang berada di dalam wilayahnya
3.      Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan Negara-negara lain
4.      Hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif
Kewajiban-kewajiban Negara:
1.      Kewajiban Negara tidak melakukan intervensi terhadap masalah-masalah yang terjadi di Negara lain
2.      Kewajiban untuk tidak menggerakkan pergolakan sipil di Negara lain
3.      Kewajiban untuk tidak menggerakkan semua orang yang berada di wilayahnya dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia
4.      Kewajiban untuk menjaga wilayahnya agar tidak membahayakan perdamaian dan keamanan internasional
5.      Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan Negara-negara lain sesuai dengan hukum internasional.
Menurut G.H. Hackworth, Negara-negara pada umumnya diklasifikasikan di dalam Negara merdeka (independent states) dan Negara yang dinaungi (dependent states) Istilah Negara merdeka menunjuk pada status bahwa Negara tersebut sepenuhnya menguasai hubungan luar negerinya tampa didikte oleh Negara lain, walaupun Negara-negara, pada umumnya berbeda dalam luas wilayah, penduduk, kekayaan, kekuatan, dan kebudayaannya di dalam hukum internasional di kenal ajaran persamaan kedudukan Negara-negara(doctrine of the equality of state) dalam doktrim ini dituntut bahwa kedudukan Negara-negara adalah sama di mata hukum walaupun terdapat             perbedaan-      perbedaan di antara mereka dalam berbagai hal.(Chairul Anwar,1989:30-31)


F.     Teori Kedaulatan Hukum
Kedaulatan hukum adalah sebuah teori kedaulatan yang diungkapkan oleh Krabbe sebagai bentuk penyangkalannya terhadap teori kedaulatan Negara yang terutama diajarkan oleh madzhab Deutsche Publizisten. Teori kedaulatan hukum menunjukkan bahwa kekuasaan yang tertinggi tidak terletak di tangan raja dan bukan juga berada di tangan Negara, melainkan berada di tangan hukum yang bersumber pada kesadaran hukum tiap-tiap orang sebagai anggota masyarakat. Teori ini menyatakan bahwa hukum merupakan pernyataan penilaian yang muncul atau bersumber pada kesadaran hukum manusia itu sendiri.
Kedaulatan hukum menunjukkan bahwa hukum merupakan sumber kedaulatan dimana kesadaran hukum seseorang akan membuatnya mampu membedakan mana sesuatu yang adil dan mana sesuatu yang tidak adil. Teori ini juga dapat dikaitkan dengan prinsip Rule of Law yang dikembangkan oleh seorang A.V. Dicey. Prinsip yang kemudian berkembang di Amerika Serikat juga menjadi jargon The Rule of Law and Not a Man yakni prinsip yang menganggap bukan orang yang menjadi pemimpin tetapi hukum sebagai pemimpin itu sendiri.
Berdasarkan pemikiran teori ini, kekuasaan pemerintah berasal dari hukum yang berlaku. Hukumlah (tertulis maupun tidak tertulis) yang membimbing kekuasaan pemerintahan. Etika normatif Negara yang menjadikan hukum sebagai “panglima” mewajibkan penegakan hukum dan penyelenggara Negara dibatasi oleh hukum. Pelopor teori Kedaulatan Hukum antara lain: Hugo de Groot, Karbe, Immanuel Kant dan Leon Duguit.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Teori hukum terus berkembang dan berevolusi seiring dengan perkembangan dan perubahan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat ataupun negara, teori hukum sendiri telah banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur lain karena kesadaran daripada pembentukan hukum itu sendiri melalui proses yang panjang dan melibatkan kehidupan manusia itu sendiri, penulis secara pribadi berpendapat bahwa dari historisnya teori hukum sebagian besar dijadikan alat justifikasi dan berperan besar dalam social engineering oleh pihak-pihak tertentu namun hal tersebut tidak dapat dihindari karena manusia pada hakikatnya akan terus mencari hukum yang mampu menyesuaikan diri dari zaman ke zaman dan mampu memenuhi kebutuhan manusia untuk hidup, berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Namun pada akhirnya teori hukum akan tetap mencari bentuknya yang mengikuti sifat manusia yang terus berubah-ubah perubahan tersebut tidak dapat dikatakan menjadi lebih baik atau tidak, karena terjadinya pergeseran nilai-nilai yang substansial dan mendasar, namun selama masih bisa memenuhi kebutuhan manusia tersebut, maka teori hukum tersebut dapat berguna untuk manusia.

B.     Saran
Teori hukum sebaiknya selalu dikembangkan oleh para ahli hukum, karena kebutuhan dan perubahan nilai-nilai yang hidup dalam kehidupan manusia selalu berubah-ubah tiap zaman. Hukum selalu dituntut untuk mengikuti perubahan tersebut ataupun manusia harus dibatasi oleh hukum itu sendiri, semua bergantung pada cita - cita dan tujuan manusia yang menciptakan teori hukum itu sendiri.
Maka dari itu sebaiknya teori hukum dapat selalu dikembangkan hanya melibatkan pakar hukum untuk menggali lebih dalam mengenai teori hukum secara fundamental ataupun melibatkan ahli dari berbagai cabang ilmu pengetahuan agar jurang antara idealisme hukum itu tercipta dan kenyataan lapangan dimana hukum itu ditegakan tidak terlalu dalam.


                                   DAFTAR PUSTAKA        
Dirdjosisworo, Soedjono. 1994. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Raja Grafindo.
Ishaq. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Garfika.
L.J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Inleiding Tot de Studio van Net Nederlandse Recht, 2001.
Rasjidi, Lili. 2007. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian I,PT. Pradnya Paramita, Jakarta, cetakan ke delapan, 1997



[1] L.J van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Inleiding Tot de Studio van Net Nederlandse Recht, 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar