Minggu, 08 Mei 2016

KINERJA BIROKRASI DI ERA DESENTRALISASI



KINERJA BIROKRASI DI ERA DESENTRALISASI

1.             Dasar Pemikiran
Dengan diimplementasikannya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 pada bulan Januari tahun 2001, Indonesia telah melakukan transformasi tata pemerintahan dari sentralisasi menuju desentralisasi. Dengan ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999, maka akan terjadi perluasan wewenang pemerintah daerah tingkat II, dan dengan UU No. 25 Tahun 1999 akan tercipta peningkatan kemampuan keuangan daerah. Oleh karena itu otonomi daerah diharapkan bisa menjadi formula terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal melalui berbagai efek multiplier dari desentralisasi yang diharapkan bisa terwujud. Secara teoretis, kehadiran kedua undang-undang tersebut cukup menjanjikan bagi terwujudnya local accountability , yakni meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak dari komunitasnya. Meski demikian, perlu disadari bahwa tujuan ideal desentralisasi dan otonomi daerah tidak dengan serta merta dapat dicapai hanya dengan kehadiran kedua UU tersebut.
Untuk mencapai atau paling tidak mendekati tujuan dari proses desentralisasi sedikitnya ada tiga persoalan mendasar yang perlu mendapat perhatian khusus dalam waktu dekat yaitu (1)political commitment dari pemerintah pusat dan political will dari pemerintah daerah itu sendiri untuk menata kembali hubungan kekuasaan pusat-daerah. (2) Pengaturan hubungan keuangan pusat-daerah yang lebih didasari oleh “itikad” untuk memperkuat kemampuan keuangan daerah (bukan sebaliknya). Dan (3) perubahan perilaku elite lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tanpa itu semua tujuan desentralisasi tidak akan pernah tercapai.
Dengan diserahkannya beberapa kewenangan ke pemerintah daerah, diharapkan pelayanan masyarakat semakin efisien dan pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Fenomena di Indonesia menunjukkan bahwa setelah tiga tahun pelaksanaan desentralisasi, banyak masyarakat Indonesia merasa bahwa desentralisasi tidak membawa pada kondisi perekonomian yang lebih baik, bahkan muncul pandangan bahwa desentralisasi hanyalah persoalan hubungan antar pemerintahan tanpa menimbulkan efek positif bagi kesejahteraan masyarakat lokal. Dan sebalikanya pelaksanaan desentralisasi fiskal tersebut juga justru menunjukkan “missing link” antara desentralisasi fiskal dengan pembangunan ekonomi daerah. Sehingga dalam penilitian ini peneliti mefokuskan penelitiannya pada beberapa hal seperti pola pengeluaran dan kapasitas fiskal pemerintah daerah kabupaten Malang yang dilihat dari APBD. Dampak anggaran daerah terhadap pengembangan ekonomi daerah dan juga komitmen pemerintah daerah dalam menggunakan APBD bagi proses pengembangan ekonomi lokal. Dan juga kinerja pelayanan publik sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal baik kuantitas maupun kualitasnya, serta bentuk pertanggungjawaban pemerintah daerah dan DPRD pada masyarakat lokal, terutama dalam proses pembuatan keputusan di daerah.
2.             Permasalahan
2.1.       Sumber Masalah
Reformasi telah menandai perubahan besar sistem politik yang sentralistik dalam negara. Sebagai pilihan politik, desentralisasi merupakan kebutuhan untuk mengatasi masalah-masalah kenegaraan. Meskipun paradigma yang terkandung dalam kebijakan desentralisasi sangat baik, namun tetap membutuhkan prakondisi yang komprehensif agar berjalan optimal. Beberapa prakondisi di antaranya, desentralisasi harus didukung perencanaan yang matang dan ditopang kemampuan atau kapasitas daerah untuk menjalankannya, baik pada tataran individu, organisasi, maupun sistem.
Dengan demikian kebijakan desentralisasi menghadapi tantangan, oleh karenanya butuh komitmen dari seluruh komponen di daerah untuk membuktikan bahwa otonomi daerah benar-benar membawa manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Satu hal yang pasti adalah bahwa desentralisasi dan otonomi daerah tidak dapat ditarik mundur. Satu-satunya pilihan adalah bekerja keras untuk mensukseskan otonomi daerah demi tercapainya peningkatan kualitas hidup bagi seluruh masyarakat di daerah.
Desentralisasi tidak mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek politik, fiskal, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan, dan pembangunan sosial dan ekonomi.
Bertitik tolak dari uraian latar belakang masalah di atas, pokok pembahasan dalam studi ini mendeskripsikan konsep pemikiran teoritis-yuridis korelasi antara desentralisasi dan otonomi daerah, beserta kemungkinan dampak positif dan negatif yang ditimbulkannya. Pokok-pokok masalah tersebut dirumuskan sebagai, ‘analisis mewujudkan desentralisasi dan otonomi daerah agar dapat membangkitkan semangat kompetisi dan inovasi antar pemerintah daerah untuk mencapai kualitas pelayanan masyarakat dan tidak disalahartikan atau disalahgunakan.
Adapun dalam hal ini ada beberapa sumber permasalahan diantaranya :
1)   Terbitnya PP No.8 tahun 2003 dan PP no.41 tahun 2007.
2)   Munculnya beberapa instansi-instansi yang kurang diperlukan.
3)   Tidak mudah menyusun Program Pembangunan Daerah (Propeda).
4)   Lemahnya koordinasi antar daerah dan antar sector.

2.2.       Faktor Masalah
Meskipun memiliki dua sisi manfaat dan kelemahan, namun terdapat sebuah kesepakatan umum bahwa desentralisasi sangat diperlukan untuk mempromosikan model pemerintahan yang lebih baik, lebih efektif, dan lebih demokratis (good governance). Baik di negara maju maupun negara berkembang, desentralisasi merupakan salah satu elemen kunci terhadap agenda reformasi yang dijalankan di negara yang bersangkutan
Beberapa faktor masalahnya diantara lain :
1)      Meresahkan para pejabat di Daerah dengan faktor penyebab kedua PP yang diberlakukan itu mengisyaratkan adanya penggabungan beberapa instansi atau bahkan penghapusan di daerah dengan alasan efektifitas dan efisiensi. Lalu memiliki keterfokusan pada restrukturisasi organisasi dan memikirkan harus dikemanakan orang-orang yang telah menduduki posisi jabatan pada struktur organisasi yang lama.
2)      Untuk menampung anggaran yang dilimpahkan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah maka di beberapa Daerah menambhakan instansi-instansi yang sebenarnya kurang diperlukan.
3)      Terlambatnya propeda di sosialisasikan sebab disesuaikan dengan potensi, sumber daya, dan masalah dearah mengingat kualitas SDM yang maish rendah di daerah.
4)      Terjadinya egoisme karena pembangunan bertumpu pada asas dekonsentrasi dan bersifat sektoral.
2.3.       Dampak Masalah
Dengan sumber dan faktor masalah diatas maka hal tersebut berdampak seperti sebagai berikut.
1)      Adanya kecemburuan sosial terhadap pejabat pada posisi organisasi lama kepada yang baru. Dan dirasa akan menimbulkan dampak masalah sendiri bagi pembangunan sumber daya mansusia di daerah.
2)      Pemerintah pusat sangat kental mewarnai kinerja birokrasi yang membuat tingkat kemandirian daerah semakin rendah.
3)      Harus membutuhkan waktu yang lama dalam penyusunan Program Pembangunan Daerah (Propeda) sehingga pekerjaan lain dapat terbengkalai. Sehingga dapat pula menimbulkan disintegrasi.
4)      Pasca 2001, banyak bupati/wali kota seolah-olah menjadi ‘raja-raja kecil’ yang bebas dari intervensi pemerintah pusat maupun provinsi. Isu putra daerah muncul dalam setiap pemilihan kepala daerah.

3.             Pemecahan Masalah
3.1.       Strategi Pemecahan Masalah
Reformasi birokrasi secara umum bertujuan untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik, didukung oleh penyelenggara negara yang profesional, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sehingga terwujud pelayanan prima. Selain tujuan yang ingin dicapai seperti di atas, reformasi birokrasi mempunyai beberapa sasaran, yaitu
1)      Terwujudnya birokrasi professional, netral dan sejahtera, mampu menempatkan diri sebagai abdi negara dan abdi masyarakat guna mewujudkan pelayanan masyarakat yang lebih baik.
2)      Terwujudnya kelembagaan pemerintah yang profesional, fleksibel, efektif, efisien di lingkungan pemerintah pusat dan daerah.
3)      Terwujudnya ketatalaksanaan (pelayanan publik) yang lebih cepat, tidak berbelait dan sesuai kebutuhan masyarakat.
Untuk menilai apakah program telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, dapat dilakukan dengan cara membandingkan tujuan dengan realita atau kenyataan pelaksanaan pada program kerjanya. Pada organisasi pemerintah daerah tujuan program sering bersifat kualitatif. Sekalipun demikian bukan berarti tidak dapat diukur, pengukuran dapat dilakukan dengan cara menentukan indicator capaian program terlebih dahulu, baru kemudia membandingkannya dengan fakta melalui data riil serta informasi yang mengindikasikan tercapainya tujuan program. Dari pengalamnannya melaksanakan program mungkin akan ditemukan teknik-teknik yang lebih efektif untuk melaksanakan program/kegiatan. Maka penilaian kinerja pada organisasi pemerintah daerah adalah penentuan secara periodic operasional Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) san aparaturnya berdasrkan sasaran, standar, dan kriteria yang ditetapkan sebelumnya oleh kepala daerah. Menginat organisasi pemerintah daerah pada dasarnay dilaksanakan oleh manusia (aparatur daerah) maka penilaian kinerja sejatinya merupakan penilaian terhadap perilaku aparatur pemerintah daerah dalam melaksanakan peran yang ditugaskan oleh kepala daerah dalam rangka pencapaian tujuan organisasi pemerintah daerah. Pemerataan informasi pun menjadi hal yang sangat penting menurut saya pribadi sebab dengan di sosialisasikannya terlebih dahulu mengenai kebijakan-kebijakan yang diinstrusikan oleh pemerintah pusat untuk kemudian di serahkan ke pemerintah daerah, dapat mempermudah jalannya rencana. Sebab rakyat atau masyarakat merasa bahwa dirinya pun memiliki peran penting dan merasa diikutsertakan dalam setiap kebijakan yang mengandung untuk kesejahteraan rakyat. Terakhir mengenai konsep ialah meningkatan kualitas sumber daya manusia di masing-masing daerah dengan cara diadakannya pelatihan, dan hapus paradigm mengenai adanya issu-issu putra daerah atau yang lainnya sehingga dapat menimbulkan adanya issu korupsi, kolusi, nepotimse (KKN).
3.2.       Konsep Pemecahan Masalah
Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam pemecahan masalah tersebut diatas diantaranya :
1)      Pemerataan informasi mengenai kinerja pemerintah. Tidak hanya kepada para pemangku kepentingan, melainkan juga pada masyarakat. Sebab memberikan informasi kepada public bertujuan untuk meyakinkan bahwa sumber daya yang dipercayakan telah dialokasikan secara efektif dan efisien yang dampaknya pun dapat dirasakan masyarakat secara keseluruhnan atau merata.
2)      Pemerintah pusat membatasi kinerjanya terhadap pemerintah daerah dalam artian memberikan kepercayaan penuh agar pemerintah daerah lebih dapat menunjukkan eksistensinya, namun tetap dalam satu komando perintah Permerintah Pusat mengingat Indonesia telah menggunakan desentralisasi dalam sistem birokrasinya.
3)      Pemerintah Daerah perlu melakukan pengkajian yang mendalam mengenai volume pekerjaan dari setiap urusan yang menjadi kewenangan daerah. Berdasarkan volume pekerjaan itulah, baru ditentukan mutu pegawai yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh volume pekerjaan dari setiap urusan yang menjadi wewenangnya.
4)      Menganalisa dan menentukan penyebab timbulnya penyimpangan kinerja dari standar yang ditetapkan. Baik berupa penyimpangan yang menguntungkan maupun yang merugikan. Jika penyimpangan merugikan, maka memerlukan tindakan perbaikan, namun jika penyimpangan menguntungkan, justru dapat dijadikan model, sekaligus untuk mengoreksi.
5)      Pembentukan dewan pertimbangan daerah yang terdiri dari beberapa menteri dan diketuai oleh Menteri Dalam Negeri mengingat penambahan urusan pemerintahan kepada daerah haruslah disertai dengan perangkat, peralatan, dan sumber pengahsilan sehingga urusan pemerintahan yang diserahkan itu dapat dilaksanakan dengan baik. Akan tetapi, ada kalanya penambahan penyerahan urusan pemerintahan kepada pemerintah itu tidak perlu disertai dengan penyeraha perangkat atau karena perangkat itu telah diserahkan sebelumnya.
Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam reformasi birokrasi, yaitu :
1)      Retrospeksi
Retrospeksi adalah menilik ulang dan mengevaluasi semua kebijakan masa lalu secara jujur dan obyektif, sehingga faktor penyebab dapat ditemukan kembali, kemudian menciptakan sistem baru yang lebih baik. Dalam sejarah pemerintahan Indonesia,ternyata pemerintah tidak mampu menjalankan fungsi pelayanan publik dalam tataran yang sederhana sekalipun, misalnya hak masyarakat untuk memperoleh informasi, pembayaran pajak dan sebagainya. Oleh karena itu birokrasi harus dapat mengkaji kembali kinerja masa lalu dan berani melakukan reformasi. Realitas menunjukkan bahwa untuk saat sekarang, pemerintah bukanlah satu-satunya lembaga pelayan publik. Sektor swata dan organisasi nirlaba sudah banyak mengambil alih peran pemerintah, yang lambat laun peran pemerintah akan berkurang dalam memfasilitasi pelayanan publik.
2)      Reorientasi
Reorientasi adalah upaya merubah paradigma, visi, misi dan strategi kebijakan masa lalu ke dalam suasana baru yang lebih aspiratif di mata publik. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, secara filosofis dan politik telah merubah paradigma baru penyelenggaraan sistem pemerintahan dari model konvergensi ke devergensi. Meskipun masih perlu penyempurnaan dalam pelaksanaan otonomi. Konvergensi adalah sistem pemerintahan sentralistik atau dominasi pemerintahahan pusat, sedangkan devergensi adalah desentralisasi atau pemeberian otonomi kepada daerah. Dalam reformasi birokrasi ini, bukan berarti dengan otonomi mengakibatkan intervensi pemerintah tingkat atasnya diabaikan, karena bagaimanapun juga pemerintah daerah merupakan sub sistem dari pemerintahan nasional. Ada lima dimensi yang penting dalam mengadakan perubahan birokrasi pemerintah daerah menuju pemerintahan daerah yang visioner, mandiri, responsif dan produktif dalam semangat integrasi nasional, yaitu dimensi kulturaal, dimensi struktural, dimensi etika pemerintahan dan dimensi globalisasi.
3)      Reposisi
Reposisi adalah kembali kepada peran asli. Karena birokrasi telah menguasai semua lini kehidupan, maka reposisi merupakan kata kunci untuk reformasi birokrasi. Reposisi merupakan kesadaran total atas multi fungsi pemerintah yang hegemonik untuk secara bijak menjalankan fungsi alokasi dan distribusi dalam konteks pelayanan publik.Untuk melakukan reposisi ini, harus ada kemampuan dan kemauan untuk bagaimana merumuskan, menterjemahkan dan melaksanakan visi kolektif antara pemerintah propinsi, kabupaten menjadi visi individu semua warganegara ke dalam posisi atau peran masing-masing.
4.             Penutup
4.1.       Kesimpulan
Dari pandangan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efisien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi dari pada tersentralisasi. Struktur yang desentralistis diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya. Sedangkan dalam konteks persyaratan budaya organisasi birokrasi, perlu dipersiapkan tenaga kerja atau aparat yang benar-benar memiliki kemampuan (capability), memiliki loyalitas kepentingan (competency), dan memiliki keterkaitan kepentingan (consistency atau coherency), proses rekrutmen calon pegawai pun sudah selayaknya mempertimbangkan aspek kualitas. Sehingga penempatan pegawai didasarkan atas kemampuan bukan atas dasar suka atau tidak suka (like and dislike). Dengan demikian, birokrasi akan berjalan dengan baik berdasarkan kualitas kerja dan kinerja aparaturnya. Tanpa hal yang demikian, akan sulit mewujudkan birokrasi tanggap kerja dan prorakat di era otonomi daerah. Kemampuan mencipta kinerja aparatur yang berkualitas merupakan sebuah keniscayaan di tengah semakin meningginya praktek korupsi di negeri ini. Oleh karena itu, keberanian pemerintah pusat dan daerah guna mencipta tatanan yang lebih baik menjadi agenda yang perlu segera diwujudkan.
4.2.       Saran
1)      Diperlukan program-program untuk meningkatkan kemampuan masyarakat agar dapat berpartisipasi secara aktif di dalam proses perumusan kebijakan. Program-program ini seyogyanya difokuskan pada penyusunan rancangan perda, pemahaman terhadap APBD, dan advokasi yang efektif.
2)      Dibutuhkan lebih banyak forum untuk mengorganisir masyarakat di dalam membahas seputar permasalahan dan kebutuhan daerah.
3)      Perlu dibentuk sebuah lembaga penelitian dan layanan informasi yang independent guna membantu DPRD dalam menjalankan fungsinya dibidang penyusunan kebijakan dan pengawasan.
4)      Diperlukan program-program untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai proses tat pemerintahan daerah sehingga civil society organization dapat menemukan cara untuk mewujudkan tanggung jawab para pejabat daerah kepada masyarakat.
5)      Diperlukan sebuah system yang mendukung bagi terlaksananya efisiensi pemerintahan khususnya dalam bidang keuangan/anggaran sehingga dapat meminimalisasi tingkat penyelewengan.



DAFTAR PUSTAKA



Delly Mustafa, Birokrasi Pemerintahan, Bandung : Alfabeta, 2013.
M. Ryaas Rasyid, Desentralisasi dalam Rangka Menunjang Pembangunan Daerah, Jakarta : LP3S, 1998.
Mas’oed, Mohtar,  Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008.
Miftah Thoha, Dimensi Prima Administrasi Negara, Jakarta: Pustaka Jaya, 2001.
Miftah Thoha,  Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar