BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Seiring denga berjalannya waktu dan perkembangan
zaman, kebudayaan manusia mengalami perkembangan pula. Termasuk perkembangan
hukum. Peradaban yang semakin berkembang membuat kehidupan manusai sangat
membutuhkan aturan yang dapat membatasi prilaku manusia itu sendiri yang telah
banyak menyimpang seiring dengan perkembangan pemikiran manusia yang semakin
maju.
Aturan atau hukum tersebut mengalami perubahan dan
terus mengalami perubahan yang disesuaikan dengan kemajuan zaman. Untuk itu,
suatu negara hukum sangat perlu mengadakan pembangaunan terutama dibidang
hukum.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
penjelasan mengenai bidang Sosiologi Hukum?
2. Bagaimana
penjelasan mengenai bidang Antropologi Hukum?
3. Bagaimana
penjelasan mengenai bidang Psikologi Hukum?
4. Bagaimana
penjelasan mengenai bidang Sejarah Hukum?
5. Bagaimana
penjelasan mengenai bidang Perbandingan Hukum?
6. Bagaimana
penjelasan mengenai bidang Filsafat Hukum?
7. Bagaimana
penjelasan mengenai bidang Politik Hukum?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui penjelasan mengenai bidang
Sosiologi Hukum
2. Untuk
mengetahui penjelasan mengenai bidang Antropologi Hukum
3. Untuk
mengetahui penjelasan mengenai bidang Psikologi Hukum
4. Untuk
mengetahui penjelasan mengenai bidang Sejarah Hukum
5. Untuk
mengetahui penjelasan mengenai bidang Perbandingan Hukum
6. Untuk
mengetahui penjelasan mengenai bidang Filsafat Hukum
7. Untuk
mengetahui penjelasan mengenai bidang Politik Hukum
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sosiologi
Hukum
1. Pengertian
Sosiologi Hukum
Sosiologi
hukum merupakan ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan
gejala sosial secara analitis dan empiris (adanya gejala sosial). Gejala
sosiologi merupakan tanda-tanda yang muncul dalam kehidupan sosial yang disebut
sebagai masyarakat. Dengan konteks yang seperti tu maka dapat dikatakan
sosiologi hukum adalah sebagai alat untuk mengubah dan mengontrol gejala sosial
yang ada di masyarakat. Gejala-gejala sosial itu dapat dipengaruhi dan dapat
pula saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Menurut Satjipto Rahardjo, sosiologi hukum dirumuskan sebagai
ilmu yang mempelajari fenomena hukum. Dari sudut pandang yang demikian itu,
Satjipto Rahardjo memberikan beberapa karakteristik studi secara sosiologis,
sebagai berikut:
·
Sosiologi hukum bertujuan untuk
memberikan penjelasan terhadap praktik-praktik hukum. Apabila praktik itu
dibedakan dalam pembuatan undang-undang dan penerapannya di pengadilan, maka
sosiologi hukum itu mempelajari bagaimana praktik tersebut dapat terjadi pada
masing-masing kegiatan tersebut. Dalam hal ini sosiologi hukum berusaha untuk
menjelaskan mengapa praktik yang demikian itu dapat terjadi, apa sebab-sebabnya
ataupun faktor-faktor yang mempengaruhinya, latar belakangnya. Dan dengan
demikian mempelajari hukum secara sosiologis adalah menyelidiki tingkah laku
orang dalam bidang hukum, baik yang sesuai dengan hukum maupun yang menyimpang
dari hukum.
·
Sosiologi hukum senantiasa mengkaji
kesahian empiris. Sifat khas yang muncul disini adalah mengenai bagaimana
kenyataan peraturan itu, apakah kenyataan seperti yang tertera dalam bunyi
peraturan atau tidak.
·
Sosiologi hukum tidak melakukan
penilaian terhadap hukum terapi hanya memberikan penjelasan dari objek yang
dipelajarinya.
Satjipto Rahardjo juga mengemukakan
objek yang menjadi sasaran studi hukum yaitu mengkasi pengorganisasian sosial
hukum. Objek sasaran di sini adalah badan-badan yang terlibat dalam
penyelenggaraan hukum, yaitu pembuat undang-undang, pengadilan, polisi, dan
advokat.
Sementara bagi Roscoe Pound,
permasalahan utama yang dewasa ini menjadi perhatian dari para praktisi
sosiologi hukum adalah bagaimana mendorong pembuat hukum menafsirkan atau
menerapkan aturan-aturan hukum yang lebih mengacu kepada fakta-fakta sosial.
2. Ruang
Lingkup Sosiologi Hukum
Secara analitis,
sosiologi hukum memiliki lingkup kajian yang tidak hanya mempersoalkan
analisa-analisa normatif, akan tetapi juga memiliki daya jelajah dalam hal
efektifitas hukum itu sendiri. Dengan demikian, dalam konteks ini ruang lingkup
sosiologi hukum dapat meliputi :
·
Dasar-dasar sosial dari hukum (the
genetic sociology of law) dengan anggapan bahwa hukum timbul sebagai hasil dan
proses sosial. Sebagai contoh; Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum, yang mana semua hukum di Indonesia haruslah hukum yang berketuhanan,
yang berkemanusiaan, yang bercorak Bhinneka Tunggal Ika, yang berkerakyatan,
dan yang adil.
·
Efek hukum terhadap masyarakat (the
operational sociology of law). Pada ruang ini dilihat bagaimana pengaruh hukum
terhadap masyarakat. Sebagai contoh;
-
Pengaruh undang-Undang No. 44 Tahun 2008
tentang Pornografi terhadap gejala tindak pidana asusila dan pencabulan;
-
Pengaruh Undang-Undang No. 10 Tahun 2008
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap gejala politik tindak pidana
Pemilu;
-
Pengaruh Undang-Undang No. 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta terhadap gejala sosial budaya.
3. Pembidangan
Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum itu
dapat dibedakan atas:
a. Sosiologi
hukum teoritis, yang dalam kajiannya senantiasa berupaya untuk menghasilkan
generalisasi atau kesimpulan setelah melalui pengumpulan data, pemeriksaan
terhadap keteraturan sosial, dan pengembangan hipotesis.
b. Sosiologi
hukum empirik, yang dalam kajiannya bertujuan untuk menguji hipotesis tersebut
melalui pendekatan yang sistematis dan metodologis. Dengan menggunakan
metode-metode kuantitatif, sosiologi hukum ini mencoba meregistrasi, menata
materi untuk menarik kesimpulan-kesimpulan tentang hubungan antara
kaidah-kaidah hukum dan kenyataan masyarakat. Dengan menggunakan metode ini,
maka akan membuahkan hasil penelitian yang lebih murni atau objektif, karena
teori yang digunakan adalah dengan memakai teori korespodensi. Sebagai contoh;
Ada seorang peneliti yang berpendapat bahwa berdasarkan hasil penelitiannya
dalam upaya menurunkan jumlah korban pencemaran akibat limbah industri di suatu
daerah yakni dengan mengubah ketetapan baku mutu lingkungan setempat dan dengan
memperketat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)-nya. Penelitian itu
menunjukkan bahwa pengusaha-pengusaha industri mematuhi ketentuan-ketentuan
dari penetapan Baku Mutu Lingkungan (BML) dan AMDAL memang telah menunjukkan
jumlah korban pencemaran yang berkurang.
c. Sosiologi
hukum evaluatif, yang lebih memberikan penekanan pada perspektif internal,
yakni perspektif partisipan yang berbicara. Para sosiolog evaluatif ini lebih
jauh mempersoalkan kemurnian hasil-hasil penelitian empirik. Penelitian
sosiologi hukum evaluatif ini menyapa apakah betul penelitian empirik itu tidak
berpihak kepada siapa pun. Sosiologi hukum evaluatif ini merupakan corak
penelitian hukum yang kualitatif. Sebagai contoh apakah betul penelitian hukum
yang menyebutkan bahwa gejala hukum yang terkandung pada undang-undang
ketenagakerjaan telah mencapai dampak yang diinginkan, apakah undang-undang itu
lebih berpihak kepada golongan tertentu.
4. Pendekatan
Terhadap Sosiologi Hukum
Untuk menpelajari
sosiologi hukum dapat didekati dengan tiga pendekatan yaitu:
a. Pendekatan
instrumentalik, yakni pendekatan yang menekankan kepada fungsi hukum sebagai
sarana/alat pengambilan keputusan oleh penguasa. Oleh karena itu, studi
instrumentalik terhadap hukum dan perilaku harus dapat membantu pembentuk hukum
agar dapat mengadakan prediksi terhadap akibat-akibat diberlakukannya
hukum-hukum tertentu. Sebagai contoh
misalnya, ada beberapa fraksi DPR RI yang peduli terhadap anak-anak
korban kekerasan dalam rumah tangga itu maka dibuatkanlah aturan hukum yang
mengatur tentang kekerasan dalam rumah tangga tersebut. Menurut Roscoe Pound,
hukum harus lebih peka terhadap situasi sosial sehingga hukum dapat
dipergunakan untuk menjalankan perencanaan –perencanaan perkembangan ekonomi
dan sosial.
b. Pendekatan
hukum alam, yang menitikberatkan pada proses pembentukan hukum yang seharusnya
didasarkan pada nilai-nilai moral yang didasarkan pada keseimbangan hak dan
kewajiban yang berorientasi pada keadilan. Dalan mengoptimalkan potensi hukum
untuk mengkonkretkan nilai-nilai moral, maka kegiatan-kegiatan ilmiah untuk
menemukan kondisi sosial yang sesuai atau tidak sesuai dengan hukum, serta cara
menyesuaikannya, merupakan tugas utama dari kegiatan ilmiah sosiologi hukum. Menurut
Roscoe Pound, penggunaan hukum itu memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu
yang tidak dapat dilanggar karena sikap tindak yang terlampau ambisius. Oleh
karena itu, setiap masyarakat harus dapat menentukan batas-batas penggunaan
hukum.
c. Pendekatan
paradigmatik, yaitu dengan mempelajari dan mengkritik paradigma yang ada,
mempelajari kenyataan hukum dan membandingkannya dengan paradigma yang berlaku
serta mengadakan rekomendasi untuk merubah norma atau perilaku yang ada, dan
mengajukan paradigma baru.
5. Paradigma
Sosiologi Hukum
Secara umum dalam ilmu
sosiologi, dikatakan bahwa objek dari sosiologi adalah masyakat. Lebih jauh,
masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat dalam arti statis dan dalam arti
dinamis. Dalam arti statis, masyarakat memunculkan gejala sosial dalam bentuk
struktur sosial yang terdiri dari kelompok sosial, lembaga kemasyarakatan,
kekuasaan dan wewenang, stratifikasi sosial, dan kebudayaan. Dalam arti
dinamis, masyarakat memunculkan gejala sosial, dan interaksi sosial.
B. Antropologi
Hukum
Sebagai fitur penting dalam ilmu tentang
kenyataan, antropologi hukum dalam ruang pembahasaannya melihat tentang
bagaimana keterkaitan antara hubungan manusia dengan budaya hukum sehingga turut
pula mempengaruhi hukum itu sendiri. Menurut Hilman Hadikusuma, budaya hukum
itu sendiri merupakan segala bentuk perilaku budaya manusia yang mempengaruhi
atau yang berkaitan dengan masalah hukum. Sorotan utama antropologi hukum
terhadap masalah hukum tersebut berada pada ranah pola-pola sengketa dan
cara-cara penyelesaian sengketa dalam masyarakat.
1.
Ruang Lingkup Antropologi Hukum
Menurut
Laura Nader, dalam bukunya the anthropological study of law (1965) dikemukakan
bahwa ruang lingkup antropologi hukum itu berkisar pada pembahasan tentang:
a. Apakah
dalam setiap masyarakat terdapat hukum,
dan bagaimana karakteristik hukum yang universal.
b. Bagaimana
hubungan antara hukum dengan aspek kebudayaan dan organisasi social.
c. Mungkinkah
mengadakan tipologi hukum tertentu, sedangkan variasi karakteristik hukum
terbatas.
d. Apakah
tipologi hukum itu berguna untuk menelaah hubungan antara hukum dan aspek
kebudayaan dan orgaisasi social. Mengapa pula hukum itu berubah.
Menurut
T.O. Ihromi, antropologi hukum sebagai suatu cabang spesialisasi dari
antropologi budaya yang secara khusus menyoroti segikebudayaan manusia yang
berkaitan dengan hukum sebagai alat pengendalian social, hal mana akan
mempunyai makna bahwa hukum di pandang secara intgrasi dalam kebudayaan, dimana
hukum tidak terpisah dari katagori pengendalian social lainnya dan hukum yang
ditekuni adalah hukum dalam aneka jenis masyarakat. Dengan demikian manusialah
yang merupakan tema pusat dalam penelitian atropologi hukum. Dalam artian
perilaku manusia dalam kaitannya dengan aturan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat.
2. Manfaat
Antropologi Hukum
Studi antropologi hukum
menaruh minat terhadap hukum dari segi intelektual dan filosofis. Antropologi
hukum bukan diarah pada penegetahuan mengenai hukum yang langsung dapat
diterapkan kepada urusan praktis. Dengan begitu manfaat penekunan hukum dari
segi antropologis ini adalah gambaran yang lebih mendalam menegenai bekerjanya
hukum sebagai penegndalian sosial dan bagaimana hal itu berkaitan dengan
nilai-nilai budaya.
3.
Metode Pendekatan
Menurut
Hilman Hadikisuma, car ilmiah untuk melihat pola-pola sengketa dan bagaimana
cara penyelesaian sengketa dalam antropologi hukum ini dapat dilakukan dengan
pendekatan historis dan normatif eksploratif.
a. Metode
Historis
Cara pendekatan dengan metode historis
dengan dimaksud ialah dengan mempelajari perilaku manusia dan budaya hukumnya
dengan kecamat sejarah. Di mana perkembangan manusia dan hukum itu berlaku
secara evolusi, artinya berkembang dengan lambat dan berangsur-angsur.
b. Metode
Normatif-ekploratif
Cara
pendekatan dengan metode normatif eksploratif yang dimaksud ialah mempelajari
manusia dan budaya hukumnya dengan bertitik tolak kepada kaidah-kaidah hukum
yang sudah ada, baik dalam bentuk kelembagaan maupun dalam bentuk perilaku.
Dengan
demikian untuk dapat memahami perilaku manusia yang berkaitan dengan hukum,
maka yang pertama harus dilakukan ialah penjajakan ideologis terhadap
kaidah-kaidah hukum, sehingga memudahkan untuk menemukan jalur pengamatan
terhadap perilaku hukum itu. Atas dasar tersebut, kaidah kaidah hukum yang
dijajaki itu bukan semata-mata untuk mengetahui kaidah-kaidah yang mana yang
akan diterapkan terhadap pelaku peristiwa hukumnya, melainkan kaidah-kaidah
hukum yang mana yang akan digunakan dalam mengamati perilaku-perilaku
kebudayaannya.
c. Metode
Deskriptif Pelaku
Metode
ini bertitik tolak dari hukum eksplisit (terang dan jelas) aturannya, yang
fositif dinyatakan berlaku, tetapi yang diutamakannya adalah
kenyataan-kenyataan hukum yang benar benar nempak dalam situasi hukum atau
peristiwa hukumnya.
Jadi
yang perlu menjadi perhatian bukan hanya melakukan studi tentang bagaiman hidup
manusia itu tunduk kepada aturan-aturan hukum, akan tetapi terutama
mempertanyakan mengapa aturan-aturan hukum itu sesuai dengan hidup mereka.
d. Metode
Studi Kasus
Dalam
pendekatan antropologi hukum dengan metode studi kasus dipelajari kasus-kasus
peristiwa hukum yang terjadi, terutama kasus-kasus perselisihan. Studi kasus
ini sufatnya induktif, artinya dari berbagai kasus yang dapat dikumpulkan, kemudian data-datnya
dianalisis secara khusus lalu dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan yang
umum.
C. Psikologi
Hukum
Psikologi
hukum adalah suatu cabang pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari perkembangan
jiwa manusia. Psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia (human
behaviour) maka dalam kaitannya dengan studi hukum, ia akan melihat hukum
sebagai salah satu dari pencerminan perilaku manusia. Suatu kenyataan bahwa
salah satu yang menonjol pada hukum, terutama pada hukum modern adalah
penggunaannya secara sadar sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang
dikehendaki. Dengan demikian sadar atau tidak, hukum telah memasuki bidang
psikologi, terutama psikologi sosial. Sebagai contoh hukum pidana misalnya
merupakan bidang hukum yang berkait rapat dengan psikologi, seperti tentang
paksaan psikologis, peranan sanksi pidana terhadap kriminalitas dan lain-lain
sebagainya yang menunjukkan hubungan antara hukum sengan psikologi. Contoh
studi yang jelas misalnya yang diketengahkan dalam pendapat Leon Petrazycki (
1867-1931) , ahli filsafat hukum yang menggarap unsur psikologis dalam hukum
dengan menempatkannya sebagai unsur utama. Leon beranggapan bahwa
fenomena-fenomena hukum itu terdiri dari proses psikis yang unik, yang tepat
dilihat dengan menggunakan metode introspeksi. Apabila kita mempersoalkan
tentang hak-hak kita serta hak-hak orang lain dan melakukan perbuatan sesuai
dengan itu, maka semua itu bukan karena hak-hak itu dicantumkan dalam
peraturan-peraturan saja, melainkan karena keyakinan sendiri bahwa kita harus
berbuat seperti itu. Leon Petrazycki memandang hak-hak dan kewajiban sebagai
hal yang hanya ada dalam pikiran manusia, tetapi yang mempunyai arti sosial.
Selain Leon Petrazycki masih ada
beberapa sarjana atau penulis lain yang membicarakan dan mengupas masalah
psikologi hukum, di antaranya adalah Jerome Frank dalam bukunya ‘’Law an the
Modern Mind (1930)’’ yang sangat terkenal bahkan ada yang menamakan suatu karya
klasik dalam ilmu hukum umum. Frank mengupas apa yang disebutnya sebagai suatu
‘’mitos dasar’’ dalam hukum. Sebagai seorang hakim, Frank melihat bahwa hukum
itu tidak akan pernah bisa memuaskan keinginan kita untuk memberikan kepastian.
Dan pada umunya orang akan selalu mengharapkan bahwa hukum bisa memberikan
kepastian yang berlebihan. Menurut Frank masalah ini tentunya tidak akan
berakhir pada sesuatu yang nyata, melainkan menginginkan sesuatu yang tidak
nyata (unreal).
Dalam usahanya untuk menjawab masalah
diatas Frank mulai memasuki bidang psikologi. Dalam hal ini ia menarik
pelajaran dari karya-karya tentang psikologi anak-anak dari Freud dan Piaget,
khususnya yang menyangkut soal ketergantungan kepada sang ayah dari seorang
anak dan hasil dari ketergantungan yang demikian itu, pada saat anak tersebut
menjadi dewasa, berupa kecenderungan (hanker) kepada pengganti sang ayah.
D. Sejarah
Hukum
Sejarah
hukum adalah salah satu bidang studi hukum yang mempelajari perkembangan dan
asal-usul sistem hukum dalam masyarakat tertentu dan memperbandingkan atara
hukum yang berbeda karena dibatasi waktu yang berbeda pula.
Sebagai
suatu cabang ilmu sejarah, sejarah hukum terus berkembang dari zaman ke zaman.
Perkembangan sejarah tentang hukum terjadi dengan berbagai model, sebagai
berikut:
1. Pada
umumnya, perkembangan hukum terjadi secara evolutif linier menuju ke arah yang
lebih baik, logis, efektif, dan efisien.
2. Dalam
keadaan linier, sekali-sekali terjadi perkembangan dengan arah zig-zag, semacam revolusi dalam perkembangan
hukum dengan melaju secara cepat dan linier.
3. Banyak
juga perkembangan hukum terjadi secara evolutif, tetapi dengan arah melingkar,
sehingga menghasilkan hukum yang berorientasi kembali ke masa lalu.
Perkembangan
metode dan ilmu sejarah hukum terbilang relatif lambat, karena sejarah hukum
ini baru dikenal semenjak ahli hukum, yaitu Von Savigny, mencetuskan teori historical jurisprudence. Keterlambatan
lahir dan perkembangan sejarah hukum disebabkan oleh beberapa faktor sebagai
berikut.
a) Kuatnya
pengaruh ajaran hukum alam yang modern maupun klasik, dengan mengandalkan
logika, dengan mengembangkan cara berfikir bahwa seolah-olah semua masalah
hukum dapat dipecahkan dengan akal sehat menuju satu hukum yang rasional yang
dapat berlaku dimana-mana. Dalam hal ini, hukum yang baik dapat direnungkan di
tempat-tempay sepi, tanpa perlu melihat kenyataan dalam sejarah umat manusia.
b) Kuatnya
pengaruh paham agama dalam bidang hukum terjadi sejak dahulu kala. Namun,
terutama dizaman pertengahan, manusia memandang hukum berasal dari atas (dari
Tuhan), dimana manusia wajib mengikutinya tanpa syarat. Hal itu memutus mata
rantai hukum dengan masa lalu secara revolutif.
c) Kuatnya
pengaruh paham positivisme dalam hukum, terutama di abad 18 dan 19, yang
mengarahkan pendangan orang tentang hukum yang terjadi saat itu saja,
sebagaimana yang tertulis dalam undang-undang atau sebagaimana diperintahkan
oleh penguasa. Sikap seperti ini juga tidak memandang penting fakta-fakta atau
kaidah-kaidah hukum yang terjadi di masa lalu.
Sebagian orang menganggapnya sebagai bagian dari sejarah intelektual. Para
sejarawan abad ke-20 telah memandang sejarah hukum dalam cara yang lebih
kontekstual, lebih sejalan dengan pemikiran para sejarawan sosial. Mereka
meninjau lembaga-lembaga hukum sebagai sistem aturan, pelaku dan lambang yang
kompleks, dan melihat unsur-unsur ini berinteraksi dengan masyarakat untuk
mengubah, mengadaptasi, menolak atau memperkenalkan aspek-aspek tertentu dari
masyarakat sipil. Para sejarawan hukum seperti itu cenderung menganalisis
sejarah kasus dari parameter penelitian ilmu sosial, dengan menggunakan
metode-metode statistik, menganalisis perbedaan kelas antara pihak-pihak yang
mengadukan kasusnya, mereka yang mengajukan permohonan, dan para pelaku lainnya
dalam berbagai proses hukum. Dengan menganalisis hasil-hasil kasus, biaya
transaksi, jumlah kasus-kasus yang diselesaikan, mereka telah memulai analisis
terhadap lembaga-lembaga hukum, praktik-praktik, prosedur dan amaran-amarannya
yang memberikan kita gambaran yang lebih kompleks tentang hukum dan masyarakat.
Selanjutnya, dalam sejarah terlihat bahwa kaidah-kaidah hukum dikembangkan
oleh berbagai pihak yang dicatat oleh sejarah, tetapi umumnya tidak tercatat
siapa pengembangnya. Para pengembang kaidah hukum yang kemudian menjadi sejarah
hukum ialah sebagai berikut:
1. Tuhan
dan rasul yang melahirkan kaidah-kaidah hukum agama bagi yang percaya kepada
agama.
2. Orang-orang
bijak dalam sejarah yang melahirkan berbagai hukum adat dan hukum kebiasaan,
tetapi tidak pernah dicatat namanya oleh sejarah.
3. Para
pengomando pembuat undang-undang dan kondifikasi, seperti raja Hammurabi (dari
Kerajaan Babilonia) yang melahirkan yang melahirkan undang-undang Hammurabi.
4. Para
pembuat undang-undang dan peraturan yang berlaku sehari-hari, umumnya mewakili
lembaga tertentu.
5. Para
hakim yang melahirkan hukum yurisprudensi, yang umumnya tidak dikenal dalam
sejarah hukum di negara-nega Eropa Kontinental, meskipun sering kali dikenal
dalam sejarah hukum Anglo Saxon.
E. Perbandingan
Hukum
Perbandingan hukum telah didefinisikan sebagai cabang dari ilmu hukum di
mana tujuannya yaitu untuk membentuk hubungan erat yang terusun secara
sistematis antara lembaga-lembaga hukum dari berbagai negara.
1. Metode
Perbandingan Hukum
Rudolf D. Schlessinger:
Rudolf D. Schlessinger:
· Comparative
Law merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan
yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu;
· Comparative
Law bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum, bukanlah suatu cabang
hukum(is not a body of rules and principles);
· Comparative
Law adalah teknik atau suatu cara menggarap unsur hukuma sing yang aktual dalam
suatu masalah hukum (is the technique of dealing with actual foreign law
elements of a legal problem)
2. Tujuan dan Kebutuhan Perbandingan
Hukum
Menurut Randall tujuan perbandingan hukum :
·
Usaha mengumpulkan berbagai informasi mengenai hukum
asing.
·
Usaha mendalami pengalaman-pengalaman yang dibuat
dalam studi hukum asing dalam rangka pembaruan hukum.
Fungsi Perbandingan Hukum secara berencana :
·
Fungsi perbandingan hukum bagi pengembangan ilmu hukum
Indonesia
·
Fungsi perbandingan hukum bagi praktik dan pembinaan
hukum.
·
Fungsi perbandingan hukum bagi perencanaan hukum (legal
planning)
·
Fungsi perbandingan hukum bagi pendidikan FH
Fungsi perbandingan
hukum bagi pengembangan ilmu hukum Indonesia
Soenarjati H (1986 : 27) mengatakan :
a. Bahwa
fungsi perbandingan hukum memberi manfaat bagi dunia pengembangan
ilmu hukum, karena metode ini menunjukkan :
·
Sistem hukum yang berbeda menunjukkan adanya
kaidah-kaidah hukum, asas-asas hukum, serta pranata-pranata hukum yang berbeda
·
Tidak jarang terjadi sistem-sistem hukum yang sama
sekali tidak ada hubungan atau pertemuan historis
b. Fungsi
Perbandingan hukum bagi pendalaman dan perluasan pengetahuan
dibidang filsafat hukum, sosiologi hukum, sejarah hukum.
Fungsi
perbandingan hukum bagi Praktisi dan pembinaan hukum
Memberikan
manfaat yang besar bagi praktik khususnya dalam applied
research dan pembentukan hukum baru. Dirasakan pula oleh praktisi hukum seperti
lembaga legislatif para hakim, dan arbiter dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi.
·
Bagi Konsultan hukum dan Notaris dalam pembuatan
kontrak-kontrak terutama suatu kontrak yang bersifat internasional
·
Bagi lembaga legislatif sangat bermanfaat dalam rangka
penyusunan hukum.
·
Bagi para pengacara dan arbiter dalam pembelaan dan
penyelesaian perkara.
Fungsi
Perbandingan Hukum sebagai Perencanaan Hukum (legal planning)
Dalam
perencanaan hukum Perbandingan Hukum mempunyai fungsi penting..Hanya Perbandingan
Hukumlah yang dapat menyiapkannya, karena dengan Perbandingan Hukum.
Kebutuhan
Teoritis
Dihubungkan
dengan kebutuhan ilmiah maka Perbandingan hukum :
·
Menunjukkan adanya titik-titik persamaan dengan
titik-titik perbedaan daripada berbagai sistem hukum yang
diperbandingkan.
·
Terkadang masyarakat yang berbeda dan berjauhan
letaknya dapat menyelesaikan kebutuhan yang sama dengan cara yang sama pula,
walaupun antara anggota masyarakat tidak tampak adanya hubungan kebudayaan
apapun
·
Terhadap masalah yang sama, dapat dicapai penyelesaian
yang berbeda-beda
Adanya
Kebutuhan Praktis
Bidang Nasional
Membantu
pembentukan hukum nasional dalam arti seluas-luasnya. Kita memerlukan hukum
nasional yang ke dalam dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan bangsa yang merdeka
dan dapat keluar dapat memenuhi kebutuhan hidup bangsa yang merdeka dan ke luar
dapat memenuhi kebutuhan hidup dunia internasional tanpa mengorbankan
kepribadian bangsa Indonesia. Yang dapat dipenuhi oleh Perbandingan Hukum,
karena dengan Perbandingan Hukum kita dapat mengetahui hukum Negara-Negara
lain, sehingga dapat terbentuk hukum nasional yang dapat memenuhi kebutuhan
pergaulan.
Bidang
internasional
·
Membantu pembuatan perjanjian-perjanjian internasioal
dan perjanjian-perjanjian di bidang HPI. Ex: IMF,GATT,ADB,ILO
·
Dapat menghindari persengketaan &
kesalahpahaman Internasional.Ex: Perjanjian kerjasama antara Malaysia dan
Indonesia dalam pemberantasan penyelundupan.
Hukum Publik
Hukum publik mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur kekuasaan dan
wewenang negara, serta mengatur hubungan hukum antara anggota masyarakat dan
negara. Yang termasuk dalam hukum publik antara lain:
1) Hukum Tata
Negara
Hukum tata
negara adalah hukum yang mengatur tentang negara, yaitu antara lain dasar
pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan
hukum (hak dan kewajiban) antar lembaga negara, wilayah dan warga negara.
2) Hukum Pidana
Hukum yang
mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum serta
perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan
atau siksaan.
Hukum Privat
Hukum privat mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang
hubungan antara individu dalam memenuhi keperluan hidupnya. Yang termasuk hukum
privat antara lain:
1) Hukum
Perdata
Rangkaian
peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu
dengan orang lain dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.
2) Hukum Dagang
Peraturan yang mengatur hukum yang terkait dengan perdagangan.
F. Filsafat
Hukum
Berbicara
tentang filsafat hukum kita uraiankan secara perkata mulai kata filsafat dan
hukum apa, bagaimana dan untuk apa filsafat hukum tersebut,
a.
Filsafat
Adakalanya
orang mengatakan bahwa orang harus berfilsafat. Sehingga untuk dapat
berfilsafat, terlebih dahulu orang harus mengetahui apa yang disebut dengan
filsafat. Sesungguhnya, istilah “filsafat”
merupakan suatu istilah dari bahasa Arab yang terkait dengan istilah dari
bahasa Yunani, yaitu Philosophia.
Kata philosophia
sendiri terbentuk kata jamak atau dari dua kata yaitu philo yang
artinya Cinta, dalam artian luas yaitu ingin dan karena itu berusaha mengejar
yang di inginkan itu. dan Sophia yang artinya kebijaksanaan, dengan
demikian, philosophia atau filsafat secara etimologi, artinya cinta dalam
artian menginginkan kebijaksanaan. Jadi, berdasarkankan kutipan itu dapat
diketahui bahwa dari segi Bahasa filsafat adalah keinginan yang mendalam untuk
menjadi bijak. Merujuk pada Kamus Besar Indonesia filsafat di definisikan
pengentahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang
ada, sebab, asal dan hukumnya.
Dari
sudut isinya, terdapat banyak perumusan yang dikemukakan para penulis filsafat.
Filsafat dapat diartikan sebagai pandangan hidup manusia, yang tercermin dalam
berbagai pepatah, slogan, lambang dan sebagainya. Filsafat dapat juga diartikan
sebagai ilmu. Dikatakan sebagai ilmu karena filsafat adalah pengetahuan yang
metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan dengan kata lain
filsafat memiliki objek, metode, dan sistematika tertentu, terlebih-lebih
bersifat universal. Dalam kaitannya dengan salah satu unsur yang dipenuhi
filsafat sebagai suatu ilmu, yaitu adanya objek
tertentu yang dimiliki filsafat.
Jika
ditelaah lebih mendalam, filsafat memiliki sedikitnya tiga sifat pokok, yaitu:
menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Menyeluruh, artinya cara berfikir
filsafat tidak sempit, dari sudut pandang ilmu itu sendiri (fragmentaris atau sektoral), senantiasa melihat persoalan dari tiap sudut yang ada.
Mendasar, artinya bahwa untuk dapat menganalisa suatu persoalan bukanlah
pekerjaan yang mudah, mengingat pertanyaan-pertanyaan yang dibahas berada di
luar jangkauan “ilmu biasa”.
Untuk
itu, ciri ketiga dari filsafat yang berperan, yaitu spekulatif. Langkah-langkah spekulatif yang dijalankan oleh
filsafat tidak boleh sembarangan, tetapi harus memiliki dasar-dasar yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Di
samping ketiga ciri filsafat tersebut di atas, ada ciri lain yang perlu
ditambahkan, yaitu sifat refleksif kritis
dari filsafat. Refleksi berarti pengendapan
dari pemikiran yang dilakukan secara berulang-ulang dan mendalam (contemplation). Hal ini dimaksudkan
untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan yang lebih jauh lagi dan dilakukan
secara terus-menerus. Kritis berarti analisis yang dibuat filsafat tidak
berhenti pada fakta saja, melainkan analisis nilai. Sebab, jika yang dianalisis
hanya fakta saja, maka subjek (manusia) tersebut baru melakukan observasi, dan
hasilnya ialah gejala-gejala semata. Lain halnya, jika yang dianalisis nilai,
maka hasilnya bukan gejala-gejala melainkan hakikat.
b. Hukum
Perihal
hukum dalam pendefinisiannya sangat lah rumit apabila dijabarkan secara umum,
secara singkatnya kita akan menemukan beberapa alliran yang mendefinisikan
hukum diantaranya,
a) Hukum dalam arti
sebagai tata hukum (hubungan antara manusia dengan individu lainnya, dan
tingkah laku para individu yang mempengaruhi individu lainnya, atau tata
sosial, atau tata ekonomi).
b) Hukum : kumpulan
dasar-dasar kewenangan dari putusan-putusan pengadilan dan tindakan
administratif (harapan/tuntutan oleh manusia sebagai
individu ataupun kelompok manusia yang mempengaruhi hubungan mereka atau
menentukan tingkah laku mereka). “Realitas Sosial” dan negara didirikan demi
kepentingan umum & hukum adalah sarana utamanya.
2. Aliran Realis
b) Llewellyn: apa
yang diputuskan oleh seorang hakim tentang suatu persengketaan, adalah hukum
itu sendiri
3. Aliran
Antropologi
a) Schapera: (hukum
adalah setiap aturan tingkah laku yang mungkin diselenggarakan oleh
pengadilan).
b) Gluckman: (hukum
adalah keseluruhan gudang-aturan di atas mana para hakim mendasarkan
putusannya).
c) Bohannan: (hukum
adalah merupakan himpunan kewajiban-kewajiban yang telah dilembagakan kembali
dalam pranata hukum).
4. Aliran Histori
Karl von Savigny: (Keseluruhan hukum sungguh-sungguh terbentuk
melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian
kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya
dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga negara.
5. Aliran Hukum Alam
a) Aristoteles:
Hukum adalah sesuatu yang berbeda daripada sekedar mengatur dan
mengekspressikan bentuk dari konstitusi; hukum berfungsi untuk mengatur tingkah
laku para hakim dan putusannya di pengadilan dan untuk menjatuhkan hukuman
terhadap pelanggar.
b) Thomas Aquinas:
Hukum adalah suatu aturan atau ukuran dari tindakan-tindakan, dalam hal mana
manusia dirangsang untuk bertindak atau dikekang untuk tidak bertindak.
6. Aliran Positivis
a) Jhon Austin:
Hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung ataupun tidak langsung, dari
pihak yang berkuasa kepada warga masyarakatnya yang merupakan masyarakat
politik yang independen, dimana otoritasnya merupakan otoritas tertinggi.
b) Blackstone: Hukum
adalah suatu aturan tindakan-tindakan yang ditentukan oleh orang-orang yang
berkuasa bagi orang-orang yang dikuasi, untuk ditaati.
c. Filsafat Hukum
Untuk
mengupas pengertian filsafat hukum, terlebih dahulu kita harus mengetahui di
mana letak filsafat hukum dalam filsafat. Sebagaimana telah diketahui bahwa
hukum terkait dengan tingkah laku/perilaku manusia, terutama untuk mengatur
perilaku manusia agar tidak terjadi kekacauan. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa filsafat hukum adalah sub dari cabang filsafat manusia yang disebut
dengan etika atau filsafat tingkah laku. Jadi, tepat dikatakan bahwa filsafat
manusia berkedudukan sebagai genus, etika sebagai species dan filsafat hukum
sebagai subspecies. Hal ini dapat dilihat dalam bagan di bawah ini:
Umum
Ada Ada Mutlak
Ada
Khusus
Alam
Ada
Tidak
Mutlak
Anthropologia
Manusia Etika Filsafat Hukum
Logika
Filsafat hukum
sebagai sub dari cabang filsafat manusia, yaitu etika mempelajari hakikat
hukum. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum
secara filosofis. Rasionya, filsafat hukum adalah hukum dan objek tersebut
dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang disebut hakikat.
Hakikat dari hukum dapat dijelaskan dengan jalan memberikan definisi dari
hukum. Definisi hukum sangat bervariasi tergantung dari sudut pandang para ahli
hukum melihatnya seperti yang dikemukakan oleh beberapa sarjana dalam uraian di
bawah ini.
J. van Kan
mendefinisikan hukum sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang
bersifat memaksa, yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam
masyarakat. Pendapat ini senada dengan pendapat Rudolf von Jhering yang
menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang berlaku
dalam suatu negara. Sementara itu Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari
norma-norma bagaimana orang harus berperilaku. Pendapat tersebut didukung oleh
salah seorang ahli hukum Indonesia Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan hukum
adalah serangkaian peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota
suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin
keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat. Definisi-definisi
hukum tersebut menunjukkan betapa luasnya hukum itu. Dengan mengetahui definisi
hukum yang luas tersebut kita dapat menguraikan definisi dari filsafat hukum.
Uraian tentang
definisi filsafat hukum dikemukakan oleh Rudolf Stammler yang menyatakan bahwa
definisi filsafat hukum adalah ilmu dan ajaran tentang hukum yang adil. Sementara
itu, J.J. Von Schid menyatakan filsafat hukum merupakan suatu perenungan
metodis mengenai hakekat dari hukum (Metodische
bebezinning over het wezen van he recht). Sedangkan D.H.M. Meuwissen
berpendapat bahwa filsafat hukum adalah pemikiran s
istematis tentang
masalah-masalah fundamental dan perbatasan yang berhubungan dengan fenomena
hukum, dan/atau hakekat kenyataan hukum sebagai realisasi dari cita hukum (het systematisch nadenken over alle
fundamentele kwesties en grensproblemen het verschijnsel recht samenhangen;
over de werkelijkheid van het recht als de realisatie van de rechtsidee).
Uraian lainnya tentang definisi dari filsafat
hukum dikemukakan oleh Kusumadi Pudjosewojo yang mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang hukum yang tidak bisa dijawab oleh
ilmu hukum mengenai pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Apakah tujuan dari
hukum itu? Apakah semua syarat keadilan? Apakah keadilan itu? Bagaimanakah
hubungannya antara hukum dan keadilan? Dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang
sifatnya mendasar, dengan sendirinya orang melewati batas-batas jangkauan ilmu
hukum, dan pada saat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, orang sudah
menginjakkan kakinya ke lapangan filsafat hukum. Dengan kata lain, filsafat
hukum berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh
ilmu hukum.
G. Politik
Hukum
1. Pengertian
politik hukum
Menurut Satjipto
Rahardjo, ia mengartikan bahwa politik hukum merupakan suatu bidang studi hukum
yang kegiatannya memilih atau menentukan hukum mana yang sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai oleh masyarakat. Sementara menurut Mahfuf M.D ialah bahwa hukum
merupakan produk politik, sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat
ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang
melahirkannya.
Dengan segenap
cakrawala atas pengertian politik hukum itu, dapat disimpulkan bahwa politik
hukum itu merupakan suatu sistem ajaran hukum khusus yang memanfaatkan sistem
ajaran hukum umum (ilmu hukum dan filsafat hukum) dalam rangka menyediakan
instrumen/alat-alat ataupun sarana yang dapat digunakan sebagai landasan
akademik bagi teknologi hukum yang berupa penelitian hukum, pembentukan hukum,
penemuan hukum, pelaksanaan/penegakkan hukum dan landasan akademik untuk
pemberlakuan tata hukum dalam upaya mencapai tujuan hukum yang dikehendaki oleh
suatu masyarakat hukum.
2. Ruang
Lingkup politik hukum
Ruang
lingkup atau wilayah kajian (domain) disiplin politik hukum adalah
meliputi aspek lembaga kenegaraan pembuat politik hukum, letak politik hukum
dan faktor (internal dan eksternal) yang mempengaruhi pembentukan politik hukum
suatu negara. Tiga permasalahan itu baru sebatas membahas proses pembentukan
politik hukum, belum berbicara pada tataran aplikasi dalam bentuk pelaksanaan
produk hukum yang merupakan konsekwensi politis dari sebuah politik hukum.
Merujuk pada
pengertian politik hukum, maka pilitik hukum adalah suatu ilmu sekaligus seni
yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum
positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya
kepada pembuat undang – undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menetapkan
undang – undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan
pengadilan.
Politik
hukum dalam perspektif akademis tidak hanya berbicara sebatas pengertian an
sich tetapi mengkritisi juga produk – produk hukum yang telah dibentuk. Dengan
demikian, politik hukum menganut prinsip double movement, yaitu selain sebagai
kerangka pikir merumuskan kebijakan dalam bidang hukum (legal policy) oleh
lembaga – lembaga negara yang berwenang, ia juga dipakai untuk mengkritisi produk
– produk hukum yang telah diundangkan berdasarkan legal policy. Berdasarkan
uraian tersebut, dapat ditetapkan ruang lingkup atau wilayah kajian politik
hukum, sebagai berikut:
a)
Proses penggalian nilai – nilai dan aspirasi yang
berkembang dalam masyarakat oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan
politik hukum;
b)
Proses perdebatan dan perumusan nilai –
nilai dan aspirasi tersebut kedalam bentuk sebuah rancangan peraturan perundang
– undangan oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik hukum;
c)
Penyelenggara negara yang berwenang merumuskan dan
menetapkan politik hukum;
d)
Peraturan perundang – undangan yang memuat politik
hukum;
e)
Faktor – faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu
politik hukum, baik yang akan, sedang, dan telah ditetapkan;
f)
Pelaksanaan dari peraturan perundang – undangan yang
merupakan implementasi dari politik hukum suatu negara;
Lembaga kenegaraan yang berwenang menentukan politik hukum atau meminjam
istilah Teuku Mohammad Radhie, legal framework, yaitu sebuah kerangka umum yang
memberikan bentuk dan isi dari hukum suatu negara, bukan lembaga yang genuine
dari berbagai kepentingan. Di dalam lembaga – lembaga negara itu berkumpul
berbagai kelompok kepentingan yang terkadang lebih mementingkan aspirasi
kelompoknya daripada aspirasi masyarakat secara umum.
Dalam khazanah ilmu hukum, suatu peraturan perundang – undangan dapat
diakui eksistensinya bila ia mempunyai keabsahan dari sisi landasan filosofis,
yuridis dan sosiologis. 1) Keabsahan secara yuridis (juritische geltung) adalah
apabila ada kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang – undangan dengan
materi yang diatur terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang –
undangan yang tingkatnya lebih tinggi. 2) Keabsahan sosiologis (seziologische
geltung) adalah apabila berlakunya tidak hanya karena paksaan penguasa tetapi
juga karena diterima masyarakat. 3) Keabsahan filosofis (filosofische geltung)
adalah apabila kaidah hukum mencerminkan nilai – nilai yang hidup dalam
masyarakat yang dalam UUD 1945 nilai – nilai tersebut tercermin dalam apa yang
disebut dengan Cita Hukum (rechtsidee).
Hukum harus dipandang sebagai hasil dari suatu proses politik (law as a
product of political process). Ditambah lagi, subsistem politik dianggap lebih
powerful dibandingkan subsistem hukum. Artinya, subsistem politik memiliki
konsentrasi energi yang lebih besar daripada subsistem hukum. Hal ini
mengakibatkan apabila hukum berhadapan dengan politik, maka ia berada pada
kedudukan yang lebih lemah. Subsistem politik mempunyai tingkat determinasi
yang lebih tinggi daripada subsistem hukum, karena hukum merupakan hasil atau
kristalisasi dari kehendak – kehendak politik yang saling berinteraksi dan
saling bersaing.
Hukum tidak boleh diterima begitu saja secara apa adanya (taken for granted)
tanpa mempertimbangkan latar belakang yang bersifat non hukum yang kemudian
sangat determinan dalam mempengaruhi bentuk dan isi suatu produk hukum
tertentu.
Penghierarkian peraturan perundang – undangan mengingatkan pada gagasan
pertingkatan hukum Kelsen. Kelsen mengatakan, hukum yang lebih rendah harus
berdasar, bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih
tinggi.
3. Tujuan
Politik Hukum
a) Politik hukum adalah
Politik dari Hukum, yaitu suatu
Kajian hukum yang mencoba untuk memberikan
gambaran yang lebih luas eksistensi sistem hukum.
b) Melalui pendekatan politik hukum diharapkan hukum Berfungsi
secara efektif,dipatuhi dan diterapkan dalam tindakan aktual sehari-hari.
c) Politik hukum merespons cita hukum dan
meng-upayakan hukum dapat diwujudkan sebagai
kenyataan sehingga hukum
benar-benar memiliki sifat yang lebih
adil.
d) Berbagai kritik yang diajukan kepada sistem hukum Konvensional
”Ajaran Imperative dari Mazhab
Hukum Positif” dapat di carikan pemecahannya lewat
pendekatan politik hukum.
e) Politik hukum
melihat faktor-faktor yang
mempengaruhi realisasi
f) “Law in the
books “ menjadi “ Law in the actions”.
4. Cakupan
Politik Hukum
1) Tujuan negara atau masyarakat Indonesia
2) Sistem hukum yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu
3) Perencanaan dan kerangka pikir dalam perumusan kebijakan hukum
4) Isi hukum nasional dan faktor yg mempengaruhinya.
BAB
III
PENUTUPAN
A.
Kesimpulan
Ilmu
hukum adalah suatu pengetahuan yang objeknya adalah hukum dan khususnya
mengajarkan perihal hukum dalam segala bentuk dan manifestasinya, ilmu hukum
sebagai kaidah, ilmu hukum sebagi ilmu pengertian dan ilmu hukum sabagai ilmu
kenyataan. Ilmu hukum itu sendiri adalah peraturan-peraturan yang berlaku di
masyarakat, bersifat mengatur dan memaksa.
Ilmu hukum sendiri dibagi lagi menjadi beberapa bidang ilmu hukum,
yaitu:
1.
Sosiologi Hukum
2.
Antropologi
Hukum
3.
Psikologi Hukum
4.
Sejarah Hukum
5.
Perbandingan
Hukum
6.
Filsafat Hukum
7.
Politik Hukum
B.
Saran
Mudah-mudahan makalah
ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan bagi pembaca semuanya.Serta
diharapkan, dengan diselesaikannya makalah ini, baik pembaca maupun penyusun
dapat memahami lebih dalam tentang bidang-bidang ilmu hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar