Jumat, 20 Mei 2016

MAKALAH OBJEK PEMBAHASAN METODOLOGI, TUJUAN, DAN KEGUNAAN ILMU FIQH



A.    Objek Bahasan Ilmu Fiqh
 Dari pengertian Fiqh yang telah dikemukakan pada sebelumnya, Objek bahasan ilmu fiqh adalah setiap perbuatan mukallaf serta dalil dari setiap perbuatan tersebut (dalil Tafshili) yang memiliki nilai dan telah ditetapkan hukumnya. Nilai perbuatan itu bisa berbentuk wajib misalnya dalam melaksanakan shalat dan puasa, sunnah misalnya bersedekah kepada orang yang membutuhkan, mubah misalnya melangsungkan berbagai transaksi yang dibolehkan secara syara’, makruh misalnya menjatuhkan talak tanpa sebab dan haram misalnya berzina, mencuri, dan membunuh seseorang tanpa sebab yang dibenarkan syara’.
Contoh sederhana diantaranya : shalat itu wajib dalilnya “ aqimu al-shalah”. jual beli itu boleh, dalilnya “ahalla Allah Al-bay”. Jadi, melakukan shalat itu (maksudnya yang lima waktu) adalah wajib, melakukan jual beli itu boleh.”Aqimu Al-shalah” dan “Ahalla Allah al-bay”disebut dalil tafshili. Artinya, menunjuk kepada satu perbuatan tertentu, yaitu perbuatan shalat dan perbuatan jual beli ini menjadi objek pembahasan Fiqh.
Yang menjadi bidang bahasan ilmu fiqh hanya mencakup hukum yang berkaitan dengan masalah ammaliyah. Pengetahuan terhadap fiqh bertujuan agar hukum tersebut dapat dilaksanakan para mukallaf dalam kehidupannya sehari-hari. Sekaligus untuk mengetahui niai dari perkataan dan perbuatan para mukallaf tersebut.
Seorang ahli fiqh membahas tentang bagaimana seorang mukallaf melaksanakan Shalat, puasa, naik haji dan lain-lain yang berkaitan dengan fiqh ‘ibadah mahdhah, bagaimana melaksanakan kewajiban-kewajiban rumah tangganya, apa yang harus dilakukan terhadap harta anggota keluarga yang meninggal dunia dan sebagainya.yang menjadi objek pembahasan Al-Ahwal Syakhsyiah (hukum keluarga), mereka juga membahas bagaimana cara melakukan muammalah (hukum perdata), seperti jual beli, sewa-menyewa, patungan dan lain sebagainya. Maksiat apa saja yang dilarang serta sanksinya apabila larangan itu dilarang, atau bila kewajiban tidak dilaksanakan oleh seorang mukallaf dan lain-lain pembahasan yang berkaitan dengan Fiqh Jinayah (hukum pidana), kelembaga mana saja seorang mukallaf bisa mengadukan masalahnya apabila dia merasa dirugikan dan atau diperlakukan secara tidak adil, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan Ahkam Al-qadh’a (hukum acara), dan bagaimana perbuatan mukallaf didalam melakukan hubungan hukum dengan masyarakat, lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat yang berhubungan dengan Fiqh Siyasah.
B.     Metodologi Ilmu Fiqh
  Metodologi Ilmu Fiqh adalah Ushul Fiqh, oleh karena itu apabila kita mempelajari fiqh tanpa ushul fiqh tidak akan tahu  bagaimana caranya mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya itu dan bagaimana mengembalikan hukum fiqh kepada sumber asalnya.
1.    Ushul Fiqh
Objek kajian Ushul Fiqh adalah:
a.       Pembahasan dalil syara’ secara global
Dalil dalam bahasa arab adalah sesuatu yang menunjukan hal-hal yang dapat ditanggap secara indrawi atau secara ma’nawi.
Adapun menurut istilah para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang dipergunakan sebagai petunjuk pandangan yang sehat untuk menetapkan hukum syara’ tentang amal perbuatan manusia secara qath’i (pasti) atau zhanni (dugaan keras).
Dalil syara’ (sumber-sumber hukum) jumlahnya sangat banyak, dari jumlah yang banyak itu ada sebagian yang telah disepakati oleh para ushul fiqh dan ada pula yang sebagian yang belum mereka sepakati.
Ada 4 macam dalil yang berturut-turut adalah sebagai berikut:
·         Al-Qur’an
·         As-Sunnah
·         Al-Ijma’ dan
·         Al-Qiyas
b.      Pembahasan tentang hukum dalam ilmu ushul fiqh adalah secara umum, tidak dibahas secara terperinci hukum bagi setiap perbuatan.
c.       Pembahasan tentang kaidah yang digunakan sebagai jalan untuk memperoleh hukumdari dalil-dalilnya antara lain mengenai macam-macamnya kehujjahannya dan hukum-hukum dalam mengamalkannya.
d.      Pembahasan tentang ijtihad .
Tujuan ushul fiqh adalah mengatur ijtihad dan membimbing fuqaha dalam upaya mendeduksi hukum dari sumber-sumbernya. Selain itu ushul fiqh bertujuan untuk membantu fuqaha untuk memperoleh pengetahuan memadai tentang susmber-sumber syariah dan tentang metode-metode deduksi dan inferensi fiqh.
Pembagian fiqh menurut objeknya adalah sebagai berikut .
1.      Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sang pencipta, seperti shalat, puasa, haji, zakat, dan lainnya yang disebut sebagai ibadah mahdhah.
2.        Hukum-hukum yang mengatur pembentukkan dan pembinaan rumah tangga, seperti masalah perkawinan, talak, rujuk, nafkah, nasab, dan waris yang disebut al-ahwal asy-syahsiyah.
3.        Hukum-hukum yang mengatur hubun.gan manusia satu sama lain, baik yang menyangkut harta kekayaan maupun hak-hak, yang disebut al-mu’amalah
4.        Hukum-hukum yang mengatur hubungan hakim (penguasa)dan rakyatnya secara timbal balik. Hal ini disebut oleh sebagian ulama al-ahkam ash-shulthaniyah atau as-siyasah asy-syar’iyah.
5.        Hukum-hukum yang mengatur sanksi hukum bagi penjahat (‘uqubah), yakni mengatur ketertiban dan ketentraman manusia. Tergolong ke dalam kajian Hukum Pidana Islam atau al-jinayah.
6.        Hukum-hukum yang mengatur hubungan negara dengan negara, seperti masalah perjanjian, perdamaian dan peperangan, yang disebut as-Siyar atau as-siyasah ad-dauliyah, al-huquq ad-dauliyah.
7.        Hukum-hukum yang mengatur norma-norma (ad-akhlaq), masalah baik buruk dan sebagainya yang disebut al-adab.
Adapun objek pembahasan ushul fiqh adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan metode yang digunakan oleh faqih (ahli hukum Islam) di dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya. Jadi, ushul fiqh membahas dan menjelaskan cara-cara ber-istinbath: Bagaimana caranya menetapkan hukumdari dalil-dalilnya.
Dari objek pembahasan tersebut, bisa diuraikan lebih jauh seperti diteukan dalam kitab-kitab ushul fiqh. Oleh karena ushul fiqh berbicara tentang bahgaimana mengeluarkan hukum, maka di dalam ushul fiqh dibicarakan tentang hukum baik takrif-nya maupun pembagiannya, yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i. Hukum taklifi, pada prinsipnya, terdiri  dari: al-ijab, al-nadb, al-tahrim, al-karahah,dan al-ibadah. Sedangkan yang dibicarakan dalam hukum wad’i terdiri dari: sebab, syarat, al-mani, syah, syah, dan bathal. Dan ada pula  yang memasukkan  dalam bab  ini tentang azimah dan rukhshah.
Bagaimana caranya hukum itu dikeluarkan dari dalil-dalilnya? Inilah inti dari pembahasan ushul fiqh. Didalam bagian ini, dibahas tentang dalil-dalil hukum, seperti hal-hal sekitar Al-Qur’an, al-sunnah, Ijma’, Qiyas, Istihsan, al-Mursalah, al-‘Urf, al-Istishhab, “Syara’ umat sebelum kita’, mazhab Shahabi, saddu al-dzari’ah, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan dalil-dalil syara.
Adapun dalam hal yang berkaitan dengan cara mengeluarkann hukum dalil, dibahas tentang kaidah bahasa:
1.             Tinjauan tentang jelas dan tidak jelasnya satu kata yang menunjukan kepada maksud tertentu, seperti ada kata yang dhahir, nash, mufashar, muhkam,  dan adapula yang khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih.
2.             Tinjauan tentang cara memahami kata-kata dalam satu nash, apakah dengan manthuq-nya atau dengan mahfum-nya (dengan tersurat atau yang tersirat).
3.             Tinjauan tentang ruang lingkup satu kata tertentu, seperti lafal yng ‘am atau yang khas.
4.              Tinjauan tentang bentuk katanya, seperti ‘amr (perintah), nahyu (larangan).
5.             Dibahas pula kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam memecahkan masalah-masalah yang tidak ada nash-nya seperti: maqashid al-syari’ah,  hak Allah, dan hak adami. Dan sudah tentu dibicarakan pula hal-hal sekitar ijtihad dan yang berkaitan dengan ijtihad, seperti tingkatan-tingkatan mujtahid, tentang taqlid dan ‘ittiba.
6.             Pembahasan di sekitar Hakim, yaitu pembaasan yang menjelaskan bahwa Allah SWT., sebagai dzat yang menetapkan hukum. Hukum Allah ini disampaikan melalui Rasulullah SAW.
7.             Pembahasan tentang mahkum fih, yaitu pembahasan sekitar perbuatan mukalaf yang diberi hukum (perbuatan hukum). Diantaranya dibicarakan tentang syarat sah taklif, seperti taklif itu harus diketahui oleh mukalaf, harus mungkin dilaksanakan, dan taklif tersebut harus datang dari yang mempunyai kewenangan mentaklif.
8.             Pembahasan tentang mahkumalayh, yaitu orang mukalaf yang dibebani hukum. Singkatnya pembahasan tentang subjek hukum.
9.             Pembahasan yang menjelaskan tentang manusia itu memiliki  ahliyah al-wujub, karena kemanusiaannya, janin sekalipun harus dihormati hak-haknya. Dan pembahsan tentang ahliyah al-ada’, yaitu orang yang mempunyai kewenangan bertindak hukum tertentu; orang mukalaf mempunyai ahliyah al-ada’ secara penuh. Disamping itu dibahas pula tentang orang-orang yang ahliyah-nya kurang, serta hambatan-hambatan ahliyah-nya, seperti orang gila.

Sepintas lalu tidak semua sistematika kitab Ushul Fiqh itu sama, alaupun uraian diatas umumnya menjadi perhatian para ulama ahli Ushul.
Disamping itu kecenderungan kuat para ahli Ushul Fiqh bukan saja memerhatikan cara-cara penarikan hukum dari Al-Qur’an dan Hadits, juga berusaha agar cara tersebut (thuruq al-istinbat) bisa dipertanggungjawabkan. Dalam arti cara-cara tersebut adalah cara berfikir hukum menurut Al-Qur’an dan Hadits. Hal ini dibuktikan dengan selalu ditunjukkannya ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang ijma, qiyas, istihsan, maslahah, mursalah, dan lain sebagainya. Sudah tentu tidak semua ulama setuju dengan seluruh dunia Islam menggunakan Ushul Fiqh dalam penarikan hukum, setidak-tidaknya sebagian dari Ushul Fiqh. Ulama yang tidak menyetujui     Ushul Fiqh pun, apabila diperhatikan hasil ijtihadnya, secara implisit menggunakan Ushul Fiqh.
Banyak sekali kitab Ushul Fiqh yang dikarang oleh ulama-ulama dahulu maupun yang disusun oleh ulama-ulama sekarang diantaranya:
1.             Al-risalah, karangan Imam Syafi’i.
2.             Irsyad al-Fuhul ila Tahqiqi al-Haqq min ‘Ilm al-Ushul , karangan Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syawkani.
3.             Al-Mushtafa min ‘Ilm al-Ushul, karangan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazah.
4.             Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, karangan Abu Ishaq al-Syathibi.
5.             Al-Madkhal ila ‘Ilm Ushul al-Fiqh, karangan Dr. Muhammad Ma’ruf al-Daulabi
6.             Ushul al-Fiqh al-Islami, karangan Zaki al-Din Sya’ban.
7.             ‘Ilm Ushul al-Fiqh, karangan ‘Abd al-Wahab Kholaf.
8.             Ushul al-Fiqh, karangan Muhammad al-Khudlori Byk.
9.             Ushul al-Fiqh, karangan MuhammadAbu Zarah.
Metodologi ushul fiqh sesungguhnya merujuk kepada metode-metode penalaran seperti analogi/qiyas, istishan, istishab, dan aturan-atauran penafsiran dan deduksi.
Kaidah bahasa dan kaidah ushul  lainnya, yang biasa digunakan oleh para ulama di dalam menentukan hukum, patut dipelajari secara saksama.
Di dalam ushul fiqh antara lain ada kaidah bahasa yang berbunyi:
“Pada dasarnya bentuk kata nahyu (larangan) itu menunjukkan haram”
Kaidah ini bisa diterapkan kepada berbagai macam ayat atau hadits yang memakai bentuk kata larangan, seperti ayat:
Janganlah kamu mengatakan ‘ah’ pada ibu bapakmu”. (al-Isra ayat 32)   
Janganlah kamu mendekati zina”. (al-Isra ayat 32)

Kedua ayat tersebut meunjukkkan haramnya membantah dan haramnya mendekati zina.
Kaidah diatas bersifat umum , namun ada kekecualiannya, yaitu apabila bentuk kata larangan tadi mengandung qarinah (tanda) yang menyimpangkan haram pada maksud yang lain. Seperti dalam ayat:
Wahai Tuhan kami janganlah Engkau siksa kami bila          kami terlupa dan tersalah”. (al-Baqoroh ayat 286)
Dalam ayat ini, tidak berarti Allah melarang memberikan hukuman, tetapi berarti do’a, karena berupa permohonan dari yang lebih rendah (manusia) kepada yang Maha Tinggi (Allah SWT).
Kaidah lain:
“Pada pokoknya sesuatu perkataan diartikan dengan arti yang sesungguhnya (hakikatnya).”
Contoh:
Seseorang memberikan hibah kepada anaknya, padahal dia juga mempunyai cucu dan menantu. Maka cucu dan menantu tadi tidak termasuk yang berhak terhadap hibah tersebut. Sebab lafal anak pada hakikatnya tidak termasuk cucu dan menantu.
Apabila tidak bisa diartikan dengan arti yang sesungguhnya, bisa bergeser kepada arti kiasan, sesuai dengan kaidah:
“Apabila sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka sesuatu nash harus diartikan dengan arti kiasan.”
“Istri-istrimu adalah pakaian bagimu (bagi para suami) dan kamu (para suami) adalah pakaian bagi istri-istrimu.” (al-Baqarah ayat 187)
Dalam ayat tersebut bukan mengandung arti yang sesungguhnya (hakikatnya), tetapi diartikan dengan “antara suami-istriharus bergaul dengan baik dan saling menjaga kehormatannya”.
Ada kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
“Hukum itu selalu mengikuti illat hukum. Ada dan tidak adanya hukum tergantung kepada ada dan tidak adanya illat hukum.”
Seperti khamar itu haram karena memabukkan. Dalam hal ini, jadi illat hukum adalah memabukkan.  Maka setiap minuman memabukkan adalah haram.
Dalam ushul fiqh sering satu masalah bisa didekati dengan berbagai cara. Untuk memilih mana yang paling tepat diantara cara-cara tersebut dalam memecahkan satu kasus tertentu sangat tergantung kepada kecermatan dan pengamatan yang tajam dari seorang mujtahid terhadap masalah tersebut dan kepada seni berijtihad. Agar hasil ijtihadnya tidak hanya benar dan akurat, tetapi juga baik dan indah, memiliki kearifan yang tinggi. Oleh karena itu, para mujtahid selalu melakukan shalat istikharah sebelum memberikan fatwanya, sebagai usaha terakhir di dalam proses ijtihad.
Dengan demikian dalam proses ijtihad itu segala potensi insani seorang mujtahid dikerahkan untuk meraih sebanyak mungkin nilai-nilai samawi. Sebab pada akhirnya ijtihad yang paling mendekati kepada kebenaran, kebaikan, keindahan, dan kearifan adalah yang paling banyak meraih nilai-nilaiuluhiyah.
C.    Tujuan Ilmu Fiqh
Asy-Syatibi (wafat 790) mengatakan bahwa tujuan syariat islam atau fiqh atau hukum islam adalah mencapai kemaslahatan hamba, baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan tersebut didasarkan pada lima hal mendasar yaitu: memelihara agama (hifzh ad-din), memelihara jiwa (hifzh an-nafs), memelihara akal (hifzh al-‘aql), memelihara keturunan (hifzh an-nasl) dan memelihara kekayaan (hifzh al-mal).
Pengertian “memelihara” mempunyai dua aspek yang mendasar, yaitu sebagaai berikut:
1.         Aspek yang menguatkan unsur-unsurnya dan mengokohkan landasannya yang disebut hifzh ad-din min janib al-wujud,seperti keimanan mengucapkan dua kalimah syahadah, shalat, zakat, puasa dan ibadah haji; hifzh an-nafs min janib al-wujud dan hifzh al-‘aql min janib al-wujud seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal; hifzh an-nasl min janib al-wujud  seperti aturan-aturan tentang pernikahan;dan hifzh al-mal min janib al-wujud, seperti kewajiban mencari rezeki yang halal dan aturan-aturan dalam bidang muamalah.
2.         Aspek-aspek yang mengantisipasi agar kelima hal tersebut tidak terganggu dan terjaga baik. Aspek ini disebut dengan hifzh ad-din min janib al-wujud,seperti adanya hukum pidana (jinayah). Dengan adanya aturan jinayah, setiap pelaku kejahatan akan diadili dan mendapatkan sanksi hukum dengan adil. Demikan pula, kaitannya dengan pemeliharaan diri, pemeliharaan akal, pemeliharaan keturunan, dan pemeliharaan harta kekayaan. Tujuan hukum islam dari aspek syar’i tersebut diatas tidak terlepas dari cita-cita untuk memperoleh keridhoan Allah SWT. Semua hukum islam dapat ditinjau dari;
a.    Kemaslahatan karena sesuai dengan petunjuk umum hukum islam. Meskipun tidak terdapat nash yang secara langsung dapat dijadikan dalil, jika hal itu diperjuangkan keberadaannya akan maemberikan rasa aman dan damai bagi kehidupan manusia.
b.   Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara yang mengharuskan adanya ketentuan hukum agar tercipta suatu kemaslahatan.
c.    Melihat proses penetapan  hukum terhadap suatu kemaslahatan yang ditunjukan oleh dalil khusus. Maksudnya adalah kemaslahatan yang diciptakan dan diakui legalitasnya oleh salah satu tujuan syara’.

Selain itu ada aturan-aturan yang bersifat hajiyaat yaitu yang bersifat keringanan, aturan ini bertujuan agar hidup ini tidak dirasakan sempit dan sulit, tetapi memiliki keluasan dan fleksibilitas. Contohnya aturan-aturan yang berkaitan dengan aturan rukhshah, boleh jama’ dan qashar bagi yang berpergian, boleh melakukan indent atau bay’ al-salm dalam mu’amalah, adanya aturan membayar diyat bagi orang yang dimaafkan oleh wali hakim didalam pernikahan dan aturan-turan lainnya.
 Dan ada aturan-aturan yang tahsiniyaat yaitu aturan-aturan yang membawa kepada keindahan di dalam hidup. Aturan-aturan ini  terkait erat dengan sikap dan tingkah laku yang terpuji, mendorong manusia untuk berakhlak al-karimah dan menjauhkannya dari al-Akhlaq al-madzmumah (sikap dan tingkah laku yang tercela). Contoh aturan Tahsiniyaat ini adalah aturan-aturan yang berkaitan dengan thaharah dan ibadah-ibadah sunnah dalam ibadah mahdhah; manutup aurat;, sopan santun dalam cara makan, minum, berpakaian,. Larangan membunuh anak-anak, para wanita, dan pendeta didalam peperangan.
Dari maqashidu syari’ah tersebut jelas bahwa fungsi Hukum Islam adalah :
1.             Mengarahkan kehidupan manusia kepada al-maqashid al-khamsah, dalam arti yang seluas-luasnya. Jadi yang termasuk kepada Hifdz al-Din ialah segala usaha dam pengaturan yang mengarah kepada terlaksananya hubungan manusia dengan Tuhan dengan cara yang lebih khusyu dan pengembangan sarana-sarana keagamaan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Termasuk kepada Hifdz al-Nafs, pembangunan nilai-nilai spiritual manusia. Termasuk kepada Hifdz Nasl, usaha-usaha yang mengarah kepada terbentuknya generasi mendatang yang lebih baik. Termasuk Hifdz al-Mal, menyejahterakan kehidupan materiil seluruh manusia, termasuk kebutuhan dasarnya, Hifdz al-Aql mendewasakan manusia di dalam berfikir, bersikap, dan beremosi. Semua ini mengarah kepada terciptanya masyarakat manusia yang sejahtera lahir-batin, stabil, dinamis, dan diwarnai oleh al-Akhlak al-karimah yang indah.
2.             Mengontrol kehidupan masyarakat dengan aturan-aturan terperinci yang telah ditegaskan oleh Al-Qur’an dan Hadits atau hasil ijtihad para ulama.

Lima tujuan syariat (maqasid asy-syari’ah) yang telah dikemukakan tersebut bertitik tolak dari dalil Al-Quran dan As-Sunnah. Dalil tersebut secara fungsional merupakan qawa’id kulliyah  dalam menetapkan  kulliyah Al-khams. Oleh karena itu, dalil yang digunakan diambil dari ayat-ayat makkiyah yang tidak ada yang  manshuk, diperkuat oleh dalil-dalil yang diambil dari ayat-ayat Madaniyah. Lima tujuan syariat tersebut difokuskan menjadi tiga kebutuhan berdasarkan skala perioritasnya masing-masing yaitu;
1.         Kebutuhan dharuriyah;
2.         Kebutuhan hajjiah; dan
3.         Kebutuhan tahsiniyah;
Kebutuhan dharuriyah artinya kebutuhan utama yang menjadi skala perioritas yang paling esensial kelima tujuan syariat itu sendiri. Adapun kebutuhan hajjiah bukan merupakan kebutuhan esensial melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan hidup.apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi tidak akan mengancam terganggunya kebutuhan pokok tersebut, tetapi hanya menimbulkan kesulitan bagi mukallaf. Akan tetapi, karena mukallaf tidak sanggup memenuhi kebutuhan hajjiah-nya, dalam hukum islam ada keringanan yang disebut denga rukhsah. Adapun kebutuhan tahsiniyah adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan taraf hidup manusia dan martabatnya di mata Allah SWT, sesuai dengan ketaatannya. Aturan yang bersifat dharuriyah dimaksudkan untuk menegakkan kehidupan manusia di dunia dandi akhirat. Kebutuhan hajjiyah ditunjukan untuk menghilangkan kesulitan di dalam pelaksanaannya karena hukum islam tidak menghendaki kesulitan yang tidak wajar. Hukum islam tidak menghendaki kesempitan pada manusia yang pada hakikatnya sebagai makhluk yang lemah (al-ihsan dha’ifun). Hukum islam yang berkaitan dengan kebutuhan tahsiniyah ditunjukan untuk mengendalikan kehidupan manusia agar selalu harmonis, serasi, dan penuh dengan nilai-nilai estetika. Dengan demikian, terjaminlah manusia oleh perilaku atau akhlaknya yang terpuji. Kehidupan masyarakat pun terasa lebih damai dan sejahtera.
Memelihara umat atau hifzh al-ummah min janib al-wujud merupakan tujuan syariat islam yang berhubungan dengan memelihara jiwa, tetapi cenderung pada kepentingan politis. Dalam hubungannya dengan antar-umat, yang dilihat bukan kemaslahatan muslim secara individu atau keluarga, melainkan kemaslahatan muslim secara kelompok. Al-quran tidak hanya melihat seorang muslim, melainkan sebagai umat, sebagaimana disebutkan dalam surat Ali ‘Imran ayat 110:Yang artinya:
kamu (umat islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik”. ( QS. Ali Imran:110)
Fungsi Hukum Islam adalah :
1.             Mengarahkan kehidupan manusia kepada al-maqashid al-khamsah, dalam arti yang seluas-luasnya. Jadi yang termasuk kepada Hifdz al-Din ialah segala usaha dam pengaturan yang mengarah kepada terlaksananya hubungan manusia dengan Tuhan dengan cara yang lebih khusyu dan pengembangan sarana-sarana keagamaan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Termasuk kepada Hifdz al-Nafs, pembangunan nilai-nilai spiritual manusia. Termasuk kepada Hifdz Nasl, usaha-usaha yang mengarah kepada terbentuknya generasi mendatang yang lebih baik. Termasuk Hifdz al-Mal, menyejahterakan kehidupan materiil seluruh manusia, termasuk kebutuhan dasarnya, Hifdz al-Aql mendewasakan manusia di dalam berfikir, bersikap, dan beremosi. Semua ini mengarah kepada terciptanya masyarakat manusia yang sejahtera lahir-batin, stabil, dinamis, dan diwarnai oleh al-Akhlak al-karimah yang indah.
2.             Mengontrol kehidupan masyarakat dengan aturan-aturan terperinci yang telah ditegaskan oleh Al-Qur’an dan Hadits atau hasil ijtihad para ulama.
Menurut hemat Prof. H. A. Djazuli, dalam buku Ilmu Fiqh hal 27, bahwa perlunya hifdzu al-umah sebagai salah satu maqosidu syari’ah. Baik umat dalam arti luas yaitu seluruh makhluk Allah, umat dalam arti umat manusia, umat dalam arti komunitas tertentu bukan individu, yang juga banyak disebut dalam al-qur’an dan hadits nabi. Disini letaknya fiqh siyasah dusturiah (tata Negara), dauliyah (hokum inernasional) dan maliyah (kebijakan-kebijakan ekonomi) dan aspek-aspek yang mendukungnya, seperti limgkungan hidup, kelautan, kehutanan dan lainnya baik  yang bersifat min janib al-wujud (menjaga eksistensinya dan mengembangkannya) maupun min janib al’adam (menghilangkan hambatan-hambatan dan gangguan-gangguannya).
Untuk terlaksananya semua itu, terdapat pengaturan tersendiri dan prinsip-prinsipnya ditentukan, yaitu pengaturan yang mengatur hubungan hukum antara pimpinan dan yang dipimpinnya dan antara lembaga-lembaga yang ada di dalam mayarakat dengan masyarakatnya.
Prinsip-prinsip itu antara lain, prinsip musyawarah, persaudaraan sesama manusia dan sesama muslim, tanggung jawab para pemimpin dan ketaatan yang dipimpin, perjanjian-perjanjian antarlembaga dan antarnegara, keadilan social, keadaan perang dan damai, dan lain sebagainya. Pengaturan semacam ini belum banyak mendapat perhatian kita, meskipun para Fuqaha zaman dahulu sudah merintisnya.
D.    Kegunaan Mempelajari Ilmu Fiqh
Kegunaan ilmu ushul fiqh adalah sebagai berikut :
1)      Mengetahui kaidah dan cara yang digunakan mujtahid dalam memperoleh hukum melalui metode ijtihad yang mereka susun.
2)      Memberikan gambaran mengenai syarat- syarat yang harus dimiliki mujtahid, sehingga dengan tepat ia dapat menggali hukum-hukum syara dari nash. Disamping itu, bagi masyarakat awam, melalui ushul fiqh mereka dapat mengerti bagaimana para mujtahid menetapkan hukum sehingga dengan mantap mereka dapat mempedomani dan mengamalkannya.
3)      Menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan para mujtahid, sehingga berbagai persoalan baru yang secara lahir belum ada dalam nash; dan belum ada ketetapan hukumnya di kalangan ulama terdahulu dapat ditentukan hukumnya.
4)      Memelihara agama dari penyalahgunaan dalil yang mungkin terjadi. Dalam ushul fiqh, sekalipun suatu hukum diperoleh melalui hasil ijtihad, statusnya tetap diakui Syara’. Melalui ushul fiqh, dapat diketahui mana sumber Hukum Islam yang asli yang harus dipedomani dan mana yang merupakan sumber Hukum Islam yang bersifat sekunder yang berfungsi untuk mengembangkan syari’at sesuai dengan kebutuhan masyarakat Islam.
5)      Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan guna menetapkan hukum dari berbagai persoalan sosial yang terus berkembang.
6)      Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan dengan dalil yang digunakan dalam berijtihad, sehingga dapat dilakukan tarjih salah satunya dengan mengemukakan alasannya.
Kegunaan mempelajari ilmu fiqh sama pentingnya dengan kegunaan mempelajari ushul fiqh adalah untuk mengetahui hokum dengan jalan yakin dan pasti atau dengan jalan dzan yaitu perkiraan yang lebih kuat pada kebenaran. Di samping itu, mempelajari ushul  fiqh juga sangat berguna untuk menghindarkan diri dari mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui alaan-alasannya. Dengan kata lain untuk menghindarkan diri dari taklid.
        Adapun mempelajari kaidah fiqh berguna untuk menentukan sikap dan kearifan dalam menarik kesimpulan serta menerapkan aturan-aturan fiqh terhadap kenyataan-kenyataan yang ada, sehingga tidak menimbulkan akses yang tidak perlu karena diperhatika skala prioritas penerapannya. Tidak bersikap ifrath yaitu lebih dari batas dan tidak pula bersikap tafrith yaitu kurang dari batas.
Selanjutnya kegunaan mempelajari ilmu fiqh, bisa dirumuskan sebagai berikut:
1.      Mempelajari ilmu fiqh berguna dalam memberi pemahaman tentang berbagai aturan secara mendalam.
Dengan mengetahui ilmu fiqh kita akan tahu aturan-aturan secara rinci mengenai kewajiban dan tanggung jawab manusia terhadap Tuhannya, hak dan kewajibannya dalam rumah tangga dan hak serta kewajibannya dalam hidup bermasyarakat. Kita akan tahu cara-cara bersuci, cara-cara shalat, zakat, puasa, haji, meminang, nikah, talak, ruju, pembagian warisan, jual beli, sewa menyewa, hokum-hukum bagi orang yang melanggar ketentuan ajaran islam, aturan-aturan di pengadilan, aturan-aturan kepemimpinan, dan lain sebagainya.
2.      Mempelajari ilmu fiqh berguna sebagai patokan untuk bersikap dalam menjalani hidup dan kehidupan.

Dengan mengetahui ilmu fiqh, kita akan tahu mana perbuatan-perbuatan yang wajib, sunat, mubah, makruh dan haram, mana perbuatan-perbuatan yang sah dan mana yang batal. Singkatnya, dengan mengetahui dan memahami ilmu fiqh kita berusaha untuk bersikap dan bertingkah laku menuju kepada yang diridhoi Allah SWT., karena tujuan akhir ilmu fiqh adalah untuk mencapai keridhaan Allah dengan melaksanakan Syariat-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar